Chapter 28

3.4K 692 35
                                    

Oliver berdiri di depan mesin penjual minuman otomatis, tengah menimbang-nimbang minuman apa yang akan dia beli ketika ponselnya bergetar pelan. Dia menekan tombol untuk membeli sebotol air mineral, lalu mengambil ponselnya dari saku jins dan melihat nama Peter muncul di layar. Dia menjepit ponsel di antara pundak kanan dan telinganya, sementara tangannya terulur untuk meraih botol air yang muncul di sebuah nampan yang menjorok keluar dari sisi kanan mesin.

"Alice--apa dia ke sana?" tanya Peter begitu dia menjawab panggilan telepon tersebut. Suaranya terdengar panik, dan itu aneh, sebab Peter hampir selalu berbicara dengan tenang dalam segala situasi.

"Tidak, dia belum datang. Bukankah kalian akan datang bersama-sama?" tanya Oliver heran. Di ujung telepon tak ada jawaban, melainkan hanya terdengar helaan napas, jadi dia kembali bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"

"Dia bertengkar dengan Sofia Jarrett di Laboratorium Omnia."

Karena sangat mengenal temperamen Alice, Oliver tahu ceritanya tak berhenti sampai di situ. Alice pasti melakukan sesuatu setelahnya. "Lalu?"

"Well ...dia melempar Sofia. Saat ini aku menemaninya di rumah sakit. Tulang rusuknya patah dan dia trauma."

Itu lebih buruk dari perkiraan Oliver. Dia tak menyangka gadis itu akan menggunakan kekuatannya untuk menyakiti orang lain. Di beberapa kesempatan, Alice mungkin kesulitan mengendalikan amarahnya, tapi dia bukanlah orang yang jahat. Pasti ada sesuatu yang mendorongnya melakukan semua itu.

"Keadaannya kacau di sini ... aku khawatir aku tak bisa pergi untuk sementara waktu. Tolong temukan Alice, dude," lanjut Peter.

"Baiklah, kurasa aku tahu ke mana dia pergi."

Oliver menyimpan ponselnya dengan gelisah. Di situasi seperti sekarang, tak seharusnya Alice pergi sendirian. Bagaimana jika ada yang membuntutinya? Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke luar, mencegat taksi, lalu menyebutkan tempat yang dia tuju.

Begitu tiba di tempat tujuannya, dia segera menyapukan pandang ke jendela kaca sepanjang beberapa meter di hadapannya, berharap orang yang dia cari memang ada di situ. Matanya lantas berhenti pada sosok yang duduk di salah satu meja yang menghadap ke luar--Alice. Gadis itu tengah menyendok es krim ke mulutnya terus-menerus tanpa henti, bagaikan gerakan robot yang sudah terotomatisasi.

Untuk sejenak Oliver berdiri diam di tempatnya, tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Ekspresi gadis itu--alis yang bertaut dan bibir mengerucut--mencerminkan suasana hatinya yang buruk, dan terkadang itu artinya dia perlu diberi waktu untuk menenangkan diri. Tapi, Oliver terlampau cemas untuk mengabaikan gadis itu, jadi dia memutuskan untuk masuk ke dalam kedai es krim tersebut, meskipun ada risiko kehadirannya hanya akan membuat gadis itu semakin kesal.

"Uh, Alice? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sambil beranjak duduk di kursi kosong di sebelah Alice, bersikap seolah pertemuan mereka adalah kebetulan.

Gadis itu menyipitkan mata curiga ketika tatapan mereka bertemu. "Seharusnya aku yang bertanya. Peter menghubungimu, kan?"

Merasa tak ada gunanya berpura-pura bodoh, Oliver memutuskan untuk berterus terang. "Apa yang dia katakan itu benar?"

"Yang mana?"

"Sofia. Kau menyakitinya?"

"Mungkin."

"Tulang rusuknya patah."

"Benarkah? Baguslah, dia pantas mendapatkannya." Hening sejenak sementara gadis itu kembali menyendok es ke mulutnya. "Kalau kau datang untuk menasehatiku, lebih baik kau pergi. Aku ingin sendirian."

Pada dasarnya, apa yang diucapkan Alice ketika lagi kesal adalah kebalikan dari apa yang ada di hatinya, jadi sekarang Oliver tahu pasti apa yang harus dia lakukan. Hanya saja, dia harus memikirkan suatu alasan agar dapat tetap di situ tanpa menyinggung harga diri Alice yang tinggi.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang