Chapter 75

2.2K 475 21
                                    

Oliver mengelap keringat yang membasahi keningnya dengan punggung tangan. Kafe itu dingin, tetapi dari tadi dia terus berkeringat, disertai detak jantung yang lebih kencang dari seharusnya. Pesan teks dari si pembunuh terus menghantui benaknya, ditambah lagi Alice masih belum dapat dihubungi. Bagaimana jika dia diculik? Oliver tak mau memikirkan sesuatu yang buruk, tapi otaknya benar-benar tak mau diajak bekerja sama.

Mata cokelat kehijauan Harry melirik Oliver sekilas sebelum kembali berkonsentrasi pada layar laptop di depannya. "Tenangkan dirimu, dude. Tingkahmu bisa memancing kecurigaan yang tak diinginkan."

"Harry benar," timpal Peter. "Lagi pula, jika memang Alice diculik oleh si pembunuh, kecemasan berlebihan takkan membantunya."

"Maaf, guys." Mata Oliver beralih mengamati sekelilingnya. Kafe itu kini ramai, jadi tak ada pegawai kafe yang memperhatikan mereka. Selain itu, mereka juga sudah memilih kursi di pojok ruangan agar aktivitas di layar laptop Harry luput dari pantauan CCTV. Seharusnya mereka cukup aman, tapi harus diakui, ucapan Harry ada benarnya juga. Kalau dia terus-terusan kelihatan gelisah, hal itu bisa menarik perhatian orang lain, dan tentu saja dia tak menginginkannya.

Peter mengamati tingkah lakunya. "Well, seperti inilah perasaan Alice."

Oliver balas menatap Peter dengan bingung. "Maksudmu?"

"Sewaktu dulu kau menghilang tanpa kabar dan tak menjawab satu pun telepon maupun pesan dari kami, Alice juga sangat mencemaskanmu. Dan sekarang kau tahu sendiri bagaimana rasanya, kan? Jadi kuharap lain kali kau takkan membuatnya cemas lagi."

Oliver tak menyahut. Tentu saja dia tak dapat menjamin bahwa hal itu takkan terulang lagi. Kenyataannya, Alice kerap berada dalam bahaya akibat dirinya. Jadi, sejujurnya, dia lebih memilih menghilang dari kehidupan Alice jika itu berarti kehidupan yang lebih aman bagi gadis itu.

"Guys, lihat ini." Suara Harry yang penuh semangat mengindikasikan bahwa dia menemukan sesuatu.

Oliver dan Peter serempak memajukan tubuh, mata tertuju ke layar yang menampilkan rekaman CCTV kafe. Di situ terlihat Alice duduk bersama seorang pemuda yang membelakangi kamera CCTV--sesuai dengan informasi yang diberikan karyawan kafe kenalan Peter. Mereka mengobrol selama kurang lebih setengah jam lalu berdiri. Oliver mengepalkan tinju dengan geram ketika wajah pemuda itu akhirnya terlihat jelas sewaktu berjalan menuju pintu.

"Kyle Raven," bisiknya dari balik gigi yang terkatup rapat.

"Aku sudah berusaha melacak ponsel Alice, tapi dia mematikan ponselnya. Lokasinya yang terakhir"--Harry mengetik sesuatu di laptop--"sekitar tiga puluh menit dari sini."

"Kau bisa melacak ponsel Kyle juga?" tanya Oliver penuh harap. Jika mereka bisa menemukan Kyle, mungkin mereka juga dapat menemukan Alice.

Harry menggeleng. "Lokasinya yang terakhir terdeteksi berasal dari Omnia Hospital. Setelah itu, kelihatannya dia sengaja mematikan ponselnya agar tak bisa dilacak. Dia pasti sudah mempersiapkan segala sesuatunya."

Oliver meninju meja sekuat tenaga lantaran marah pada dirinya sendiri yang—lagi-lagi—mengakibatkan Alice berada dalam bahaya. Kenapa dia selalu tak dapat melakukan sesuatu yang berguna? Bagaimana dia bisa menghentikan si pembunuh jika orang itu selalu satu langkah di depannya seperti ini? Tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan. Oliver meraihnya dari atas meja dan mendapati satu pesan baru--dari nomor yang sama seperti sebelumnya. Waktunya permainan petak umpet dimulai. Temukan Alice sebelum pukul lima sore ini.

Oliver segera menunjukkan pesan teks yang baru dia dapat ke dua temannya. Waktu yang mereka miliki hanya kurang lebih tiga jam, padahal Alice bisa berada di mana saja dan mereka tidak memiliki satu pun petunjuk. Tadi Harry sudah mencoba melacak nomor pengirim pesan, tapi ternyata kali ini nomor ponsel itu dilindungi oleh semacam perangkat lunak yang mengakibatkan lokasinya tak bisa dilacak sama sekali. Menurut Peter, besar kemungkinan si pembunuh menggunakan ponselnya sendiri, makanya dia memastikan nomornya tak bisa dilacak.

"Ada tempat apa saja dalam radius tiga puluh menit dari sini?" tanya Oliver.

"Sebentar," sahut Harry. Selama beberapa menit, hanya terdengar bunyi jari-jemarinya beradu dengan tuts keyboard, kemudian dia berkata, "Gedung perkantoran, sekolah, kedai kopi, dan swalayan."

"Dan tempat apa yang paling dekat dengan lokasi ponsel Alice terakhir kalinya aktif?" tanya Peter.

Harry menatap layar dan kembali sibuk mengetik di laptop. "Ada tiga kedai kopi. Aku sedang memeriksa CCTV-nya."

"Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Alice, aku akan memastikan Kyle membayarnya," gumam Peter, tidak terlalu keras tapi cukup jelas untuk didengar oleh Oliver.

Untuk pertama kali sejak Oliver mengenalnya, suara Peter mengandung kemarahan--sekaligus kebencian--jadi dia pun menoleh, dan mendapati amarah berkobar di mata kehijauan Peter, menggantikan ketenangan yang dari tadi berusaha dia pertahankan. Oliver tahu betul kalau saat ini, sama seperti dirinya, Peter juga sangat mencemaskan keselamatan Alice, terutama usai mereka memastikan bahwa gadis itu berada di tangan si pembunuh. Fakta kalau mereka tidak sempat memperingatkan Alice soal Kyle juga tidak menolong sama sekali, malah memperburuk keadaan. Jika mereka bertindak lebih cepat, barangkali semua ini takkan terjadi.

"Aku dapat sesuatu!" seru Harry, kemudian merendahkan suaranya begitu pegawai kafe yang melintas menoleh ke arah mereka dengan tatapan curiga. "Mereka pernah berhenti di kedai kopi yang terletak tak jauh dari persimpangan lampu merah. Aku tahu kedai kopi itu, jadi kita bisa ke sana dengan teleport kalau kalian mau."

Peter menggeleng. "Terlalu banyak orang yang akan melihat. Kita tak punya pilihan selain menggunakan mobilku."

Mereka tiba di persimpangan yang dimaksud hanya dalam waktu dua puluh menit lantaran Peter mengebut. Harry tetap tinggal dalam mobil dan mencoba mengakses CCTV yang terpasang di lampu lalu lintas, sedangkan Oliver masuk ke kedai kopi bersama Peter, berharap bisa menemukan sesuatu yang berguna--meski tak tahu apa itu.

Setelah memesan kopi, Oliver mengamati sekeliling. Menurut Harry, cuma Kyle yang masuk, jadi dia harus mencari benda yang mungkin pernah dipegang oleh Kyle sewaktu orang itu berada di sana. Jika mereka menemukannya, Peter bisa melihat masa lalu dari benda itu dan barangkali mereka bisa mendapat petunjuk. Matanya kemudian berhenti pada pulpen yang tergeletak di salah satu meja di dekatnya. Pada pulpen itu tertera tulisan 'RAVENCORP'. Dia segera meraih pulpen itu dan memanggil Peter yang sedang berbicara dengan salah seorang karyawan.

"Lihat," katanya, menunjukkan pulpen tersebut ketika Peter menghampirinya dengan ekspresi penuh tanya. "Sepertinya ini milik Kyle."

Tanpa berbicara, Peter mengambil pulpen lalu mengangguk beberapa saat kemudian. "Benar, ini miliknya. Sekelompok siswi SMA memintanya menandatangani buku mereka, dan setelahnya dia lupa mengantongi kembali pulpennya. Lalu ...." Dia membisu sejenak, kemudian mendadak berlari ke luar.

Tahu kalau Peter pasti menemukan sesuatu, Oliver buru-buru membayar pesanannya dan menyusul Peter yang sudah berada di dalam mobil. "Kau tahu ke mana mereka pergi?" tanyanya, menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman.

Di sebelahnya, Peter mengangguk. "Aku sempat melihat peta yang tercantum di GPS mobil Alice sebelum Kyle keluar untuk membeli kopi. Pegangan, guys," ujarnya, menginjak pedal gas.

Mereka berkendara dalam keheningan, dan sudah hampir mencapai perbatasan Andromeda City ketika Peter mengurangi laju kecepatan mobilnya. Oliver mengerutkan kening seraya mengamati area di sekitar mereka. Nyaris tak ada gedung apa pun di sepanjang jalan selain beberapa motel yang terlihat bobrok. Pembangunan belum meluas hingga ke sana, jadi Oliver tak mengerti untuk apa Alice dan Kyle melewati jalan tersebut. Jangan bilang kalau mereka berkendara hingga ke luar kota. Akan lebih sulit untuk mencari mereka jika itu benar.

Peter tiba-tiba membelokkan mobil memasuki jalan berbatu-batu di sisi kanan jalan dan terus berjalan lurus sebelum akhirnya berhenti di belakang sebuah mobil merah. "Itu mobil Alice, jadi kurasa ini tempatnya," ujarnya, beranjak keluar.

Oliver menyusul dan melayangkan pandang ke bangunan di hadapan mereka. Gedung tiga lantai itu tampak mencolok lantaran merupakan satu-satunya bangunan di sana. Apakah Alice ada di dalam? Rasanya dia ingin langsung mendobrak masuk dan mencari tahu, tapi dia menahan diri. Tempat itu terlampau sepi dan mencurigakan lantaran tak terlihat seorang pun berjaga di sana, padahal tak mungkin Alice disekap tanpa penjagaan sama sekali sementara si pembunuh tahu kalau mereka akan datang untuk menyelamatkan gadis itu. Bagaimana jika ini jebakan?

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang