Chapter 15

4.1K 744 20
                                    

Hari peresmian pewaris RavenCorp, tiga puluh menit sebelum jam dua belas.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Oliver merasakan ketakutan yang luar biasa mencekam. Jantungnya terus berdebar kencang selagi dia duduk di dalam taksi yang membawanya melaju di jalanan Andromeda City yang terlihat padat siang itu.

"Tolong lebih cepat, Sir," ujarnya pada sopir taksi.

Keringat terus membasahi keningnya meskipun layar yang terletak pada dasbor menunjukkan suhu 16 derajat Celcius. Dengan gelisah, dia mengusap keringatnya menggunakan punggung tangan, lantas melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Di saat-saat seperti ini, dia sangat berharap kemampuan spesial yang dia miliki bukanlah healing, melainkan teleport. Kemampuan untuk berpindah tempat dalam sekejap pasti akan sangat membantu.

Oliver menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tetap tenang, tapi isi pesan singkat yang sebelumnya dia terima terus menghantui benaknya. Aku turut berduka atas kematian Mrs. Murray. Tapi jangan cemas, aku akan mengirimkan teman agar dia tidak kesepian. Besok, tepat jam dua belas siang, aku akan membunuh Alice Sheridan untuk meramaikan pesta peresmian pewaris RavenCorp.

Si pembunuh bahkan mengirimkan alamat tempat diadakannya pesta tersebut. Oliver tahu betul bahwa ini hanyalah taktik si pembunuh untuk memancingnya keluar dari tempat persembunyiannya. Siapa pun orang itu, dia tak sungguh-sungguh berniat membunuh Alice--setidaknya itulah harapan Oliver.

Namun, bagaimana jika si pembunuh serius?

Pertanyaan mengerikan itu tak mau hilang dari kepalanya. Bagaikan tikus yang terperangkap di labirin, dia tak punya pilihan. Dia tak dapat mengabaikan kemungkinan terburuk. Dia tak bisa mengambil risiko mempertaruhkan nyawa Alice, bahkan jika itu berarti dia harus mati.

Begitu taksi yang ditumpanginya berhenti di depan gedung RavenCorp, Oliver langsung melompat keluar dan secepat kilat berlari memasuki gedung. Di mana pestanya diadakan? Dia menoleh ke sekeliling, dengan panik mencari-cari petunjuk sembari berlari menyusuri koridor. Matanya berhenti di meja resepsionis. Mungkin dia bisa mendapatkan jawabannya di sana. Tanpa menunda sedetik pun, dia berderap menghampiri meja tersebut.

"Pesta Raven ... Di mana?" tanyanya dengan napas putus-putus.

Wanita berambut kuning keemasan yang berdiri di balik meja menatapnya penuh selidik. "Bolehkah saya melihat kartu identitas Anda?" Tampak jelas wanita tersebut tidak bersedia langsung menjawab pertanyaan yang diajukan padanya.

Oliver menunduk dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya, merasa frustrasi sekaligus letih. Dia benar-benar tak punya waktu untuk ini. Kenapa mereka harus mempersulitnya?

Tenang, Oliver, tenang. Dia berusaha menenangkan dirinya, kemudian mengangkat kepala dan kembali bertanya, "Tolong katakan, di mana pesta Raven diadakan?"

Wanita itu tersenyum. "Apa Anda salah satu tamu undangan? Jika benar, tolong tunjukkan kartu identitas Anda." Walaupun wajahnya tersenyum pada Oliver, tapi matanya mengatakan bahwa dia tahu Oliver bukan datang sebagai tamu undangan.

Dan Oliver pun mengetahui hal itu. Dia tahu wanita itu mencurigainya, tapi dia tetap harus mencoba. Oliver mencondongkan tubuh dan dengan tak sabar berkata, "Dengar, Miss, saya memiliki urusan mendesak. Saya harus pergi ke sana saat ini juga, sebab nyawa seseorang mungkin berada dalam bahaya. Jadi tolong, tolong katakan pada saya di mana tempat pestanya berada." Sebelah tangan Oliver yang terkepal menggebrak meja. "SEKARANG."

Resepsionis tersebut memandang Oliver tanpa berkedip. "Maaf, tapi Mr. Raven sudah menginstruksikan agar tak ada siapa pun yang boleh masuk selain para tamu undangan," ujarnya dengan nada tegas.

Oliver melirik pintu yang tertutup rapat di belakang wanita itu. Dari sikap wanita itu, hanya ada satu kesimpulan: tempat yang dicarinya ada di balik pintu tersebut. Dan itu berarti dia harus menghadapi resepsionis itu terlebih dahulu.

Ketika melihat Oliver masih juga tak beranjak dari tempatnya, wanita itu melanjutkan, "Silakan pergi, atau saya akan memanggil sekuriti." Dia lantas mengangguk ke belakang Oliver.

Oliver menoleh, mendapati dua sekuriti berbadan tinggi besar tengah menatap ke arahnya dengan curiga. Gerak-gerik mereka menunjukkan kalau mereka tak akan segan-segan melemparnya keluar jika dia membuat keributan. Oliver menghela napas berat, tahu bahwa berdebat tak ada gunanya. Dia harus mencari jalan lain untuk masuk, tapi bagaimana caranya?

Dengan frustrasi dia melangkah keluar gedung dan berjalan mondar-mandir di teras sambil berpikir, tapi tak ada satu pun solusi yang muncul. Beberapa orang memandanginya heran--mungkin mengira dia adalah orang gila, tapi dia tak peduli. Dia hanya memiliki waktu kurang dari dua puluh lima menit, dan dia harus bisa menerobos masuk ke dalam sana apa pun yang terjadi.

Oliver berhenti melangkah dan berdiri sambil berkacak pinggang. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Oliver pun tertegun, merasa orang itu terlihat familier. Dia mengamati orang itu selama beberapa saat hingga benar-benar yakin, lalu otaknya mulai menyusun rencana.

Jika hanya tamu undangan yang diperbolehkan masuk, mungkin ini bisa menjadi jalan baginya.

Oliver membulatkan tekad, kemudian bergegas menghampiri orang tersebut. "Jason," panggilnya.

Teman sekolahnya itu menoleh, tampak terkejut melihatnya ada di situ. "Oliver?" Dia mengamati Oliver sejenak untuk memastikan dia tak salah lihat, lalu menyeringai lebar. "Astaga, benar kau Oliver rupanya. Ke mana saja kau selama ini? Kami kira kau sudah ...." Sebelah tangan pemuda berambut pirang itu membuat gerakan mengiris leher.

"Ceritanya panjang." Oliver mencoba bersikap sesantai mungkin. "Well, untuk apa kau ke sini?"

Jason mengangguk ke arah kedua orang tuanya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam. "Menemani mereka ke pesta pewaris RavenCorp."

Oliver mengangguk pelan. Hal tersebut sesuai dengan perkiraannya. "Bisa kau ikut aku sebentar? Ada yang ingin kutanyakan, tapi bukan di sini."

Tanpa curiga, Jason mengikutinya berjalan memutari gedung menuju area belakang gedung yang cukup sepi. Setelah memastikan tak ada siapa pun di sekitar mereka, diam-diam Oliver mengambil stun gun dari ranselnya, lalu secepat kilat menyetrum leher Jason yang berjalan di sebelahnya. Mata Jason melebar kaget, lalu dia rebah dan tak bergerak lagi.

"Maafkan aku," bisik Oliver dengan nada penuh penyesalan. Dia sungguh tak berniat menyakiti temannya, tapi hanya ini satu-satunya cara yang dapat dia pikirkan.

Oliver meraih ke dalam ransel dan mengeluarkan sekaleng cat rambut, lantas dengan cepat menyemprotkan cat berwarna kuning itu ke rambutnya. Sambil menunggu cat rambut itu kering--yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima menit--dia melepaskan setelan jas milik Jason dan mengenakannya. Jaketnya sendiri dia masukkan ke dalam ransel bersama dengan dompetnya, lalu dia menyembunyikan ransel itu di tengah rimbunan semak, aman dari jangkauan siapa pun.

Oliver menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu merapikan jasnya dan mengenakan kacamata hitam yang dia temukan di saku jas. Seusai memastikan kartu identitas Jason berada dalam dompet yang telah diambilnya, Oliver berjalan kembali menuju pintu masuk. Dengan jantung berdebar kencang, dia berderap cepat melintasi dua penjaga yang dia lihat sebelumnya, sambil berharap penyamarannya tak terbongkar. Dia sudah berjalan cukup jauh ketika seseorang memanggilnya.

"Hei, Nak!"

Deg! Jantung Oliver terasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Apakah orang itu memanggilnya? Perlahan, dia berputar menghadap si pemilik suara--salah satu dari dua penjaga, lalu menatap pria tersebut dengan tatapan penuh tanya.

"Ya, kau, berhenti di sana," ujar laki-laki itu. Dengan cepat dia berjalan mendekati Oliver.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang