Chapter 61

2.6K 508 6
                                    

Sinar matahari pagi menembus masuk melalui jendela dan menyinari wajah Oliver. Pemuda itu mengernyit akibat kesilauan, lantas memalingkan wajah dan membenamkannya di bantal dalam-dalam. Dia tak ingin bangun--dia ingin kembali tidur dan melupakan semua yang kemarin didengarnya dari Kai. Semua itu terasa bagaikan mimpi buruk yang mengerikan hingga mustahil untuk menjadi kenyataan.

Akan tetapi, ada terlalu banyak bukti yang menunjukkan kalau semua itu nyata.

Begitu banyak, hingga Oliver merasa hidupnya selama ini hanyalah kepalsuan.

Sekarang dia mengerti kenapa dia tak dapat menemukan panti asuhan yang tertera di surat adopsinya. Tempat itu memang tak pernah ada. Kai-lah yang membuatkan surat adopsi tersebut untuk orang tuanya.

Sama halnya kenapa pasangan Myers tak memiliki keluarga. Karena tak mungkin bagi mereka untuk mengunjungi keluarganya, di saat mereka sudah memiliki wajah dan identitas yang baru. Bagaimana mereka dapat menjelaskan bahwa mereka adalah pasangan Miller yang seharusnya sudah tewas dalam kecelakaan pesawat?

Dan Kristy Murray ... ternyata dia adalah suster yang membantu Dr. Rhett mengoperasi pasangan Miller. Saat dia menghubungi Oliver waktu itu, dia pasti berniat menceritakan bahwa pasangan Myers sesungguhnya adalah orang tua kandungnya. Dan itulah sebabnya dia dibunuh. Oliver menduga sejak saat itulah Dr. Rhett mulai merasa bahwa nyawanya terancam, makanya beliau menghubungi Kai.

Dia bangkit dan duduk di kasur. Matanya terpaku pada pigura berukuran besar yang tergantung di seberang tempat tidur. Gambar dalam pigura itu adalah foto Oliver bersama pasangan Myers, yang diambil saat hari ulang tahunnya yang keenam belas. Orang tuanya duduk di kursi, sementara Oliver berdiri di belakang mereka, mengenakan setelan jas berwarna hitam--setelan jas pertama yang dibelikan oleh sang ayah. Oliver menatap potret tersebut lekat-lekat. Kenapa kalian harus menyembunyikan kenyataannya dariku? Apakah kenangan yang kumiliki bersama kalian bahkan bisa disebut nyata?

Dia tak tahu apa yang harus dia rasakan saat ini. Haruskah dia kecewa lantaran dibohongi? Atau senang karena ternyata orang tua kandungnya tak pernah menelantarkannya? Tak pernah sekali pun tebersit dalam benaknya bahwa selama ini ternyata mereka berada begitu dekat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kami menyayangimu bagaikan anak sendiri, Oliver. Itulah yang selalu mereka katakan.

Oliver bangkit dari tempat tidur dan menuju wastafel. Ketika dia mengangkat kepala usai membasuh wajahnya, seraut wajah pucat dengan kening berkerut balas menatapnya di cermin. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam kepalanya, dan kini dia sungguh berharap orang tuanya berbohong soal amnesianya, sebab tak ada jalan lain untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sembilan tahun silam.

Masalahnya, jika ingatannya memang sengaja dihapus, apa alasannya? Jika hanya untuk kabur dari seseorang--seperti yang dibilang Kai--mereka tak perlu sampai menghapus ingatannya, kan? Kecuali, kalau memang ada sesuatu yang terjadi. Suatu hal yang menghubungkan dia dengan si pembunuh. Masalahnya, apa itu?

Oliver masih tenggelam dalam pemikirannya ketika bel pintu berbunyi. Dia tersentak kaget, meraih tongkat bisbol dari sebelah TV, lalu mendekati pintu dengan langkah waspada. Dia yakin tak sedang menunggu siapa pun.

"Oliver, kau di rumah, kan?" seru seseorang sambil menggedor pintu. "Buka pintunya!"

Kaki Oliver terhenti beberapa langkah dari pintu begitu mendengar suara Alice. Dia tak yakin sanggup menemui gadis itu hari ini. Kenyataannya, dia tak merasa ingin bertemu siapa pun hingga dia dapat menjernihkan pikirannya dan memahami semua yang baru diketahuinya. Matanya tertuju ke pintu. Haruskah dia berpura-pura tak ada di rumah?

"Aku akan menunggu di sini sampai kau membukakan pintu," seru gadis itu lagi.

Oliver menggeleng letih. Dia tahu betapa keras kepalanya Alice, jadi bukan tak mungkin gadis itu menunggu seharian di depan rumahnya. Jadi--sambil menghela napas berat--dia berjalan ke pintu dan membukanya. Alice yang tadinya berdiri membelakangi pintu segera membalikkan badan begitu mendengar pintu dibuka.

"Kenapa kau tak menjawab teleponmu?" tanyanya gusar. "Kau juga tak membalas pesan teks sama sekali, makanya aku datang ke sini," tambah gadis itu seraya mengamati wajah Oliver, kecemasan terpancar dari matanya. "Kau baik-baik saja? Kau kelihatan pucat."

Tak pernah sebaik ini, pikir Oliver getir. Dia memaksakan diri tersenyum. "Seperti yang kau lihat. Pulanglah, aku akan meneleponmu nanti." Dia hendak menutup pintu, tapi Alice lebih cepat. Gadis itu secepat kilat mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar, lalu menyelinap masuk dengan gesit.

"Kita mau ketemu Neil Hayes. Kau tidak lupa, kan?" tanyanya sewaktu Oliver hanya berdiri diam sambil menatapnya.

Oliver benar-benar tak ingat sama sekali. Tadi malam Peter mengiriminya pesan teks dan mengatakan kalau mereka bisa menemui orang itu hari ini. "Aku ingat, kok," ujarnya, berharap Alice tak menyadari kalau dia berbohong. "Kau bisa pergi duluan, aku akan menyusul nanti."

Gadis itu tak beranjak dari tempatnya. "Well .... Begini, mobilku sudah selesai dibersihkan dan kelihatannya kondisimu tidak terlalu baik akibat hujan kemarin, jadi kupikir, kenapa kita tidak pergi bersama-sama saja? Aku sengaja menolak tumpangan dari Peter agar dapat menyetir mobilku. Sudah lama aku tak mengendarainya, kau tahu." Dia lantas berjalan ke kulkas di sudut dan meraih sekaleng soda dari dalamnya. "Gara-gara Jarrett, kalau kau belum dengar, atau sudah?"

"Peter sudah menceritakannya padaku," sahut Oliver.

Alice membuka kaleng soda sambil menuju sofa merah tua di ruang tamu. "Benarkah? Dia selalu bersikap cool, tapi rupanya dia hobi bergosip juga." Sebelah alisnya terangkat tinggi ketika melihat Oliver masih berdiri mematung. "Kenapa kau tak bersiap-siap?"

Oliver belum mengiakan tawaran Alice, tapi tampaknya dia tak punya kesempatan untuk menolak. Lagi pula, memang tak sebaiknya dia mengendarai motor di saat pikirannya dalam kondisi tertekan seperti saat ini. Jadi, tanpa berkata apa pun, dia bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian.

Ketika dia kembali ke ruang tamu, Alice tengah duduk bersandar dengan tatapan menerawang. "Oh, kau sudah selesai," ujar gadis itu saat Oliver duduk di sebelahnya. "Ada yang ingin kukatakan. Tentang bocah yang kau tanyakan itu ... ibuku bilang, orang tuanya--termasuk si anak--sudah tewas akibat kecelakaan pesawat sembilan tahun yang lalu." Kekecewaan terlukis di wajah Alice. "Kukira akhirnya aku bisa membantumu mendapatkan informasi yang berharga. Maaf."

Tentu saja Oliver sudah tahu soal itu. Dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering, lalu tersenyum tipis pada Alice. "Tak apa. Aku sudah tahu, kok."

"Benarkah?" Gadis itu menatapnya dengan mata melebar keheranan, tapi nampaknya mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak, mungkin karena melihat raut wajah Oliver yang tampak letih. Dia berdeham, lalu memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. "Dan ngomong-ngomong ... ibuku sudah memberitahuku soal Alex. Rupanya dia menghilang saat kecelakaan ayahku--dia juga di sana saat itu. Artinya, satu lagi alasan untuk mendapatkan kembali ingatanku."

"Karena kau orang yang terakhir melihatnya?"

Alice mengangguk, matanya berkobar oleh semangat. "Kuharap Harry segera memecahkan kode pelindung daftar nama peserta Proyek Penghapus Ingatan. Semuanya akan jadi lebih mudah seandainya ingatan kita memang dihapus, karena itu berarti besar kemungkinan kita bisa memperolehnya lagi. Kau menemukan si pembunuh, aku menemukan Alex."

Ucapan gadis itu benar, tapi entah kenapa Oliver ragu semuanya akan semudah itu. Bukan tak mungkin si pembunuh telah memperkirakan kalau mereka akan menemukan soal Proyek Penghapus Ingatan--barangkali ternyata itulah yang dia inginkan. Terkadang, ketakutan menyelinap di benaknya sewaktu memikirkan kemungkinan bahwa selama ini mereka hanya mengikuti permainan yang telah dibuat oleh si pembunuh. Bagaimana jika selama ini orang itu mengarahkan mereka untuk menemukan hal-hal yang dia ingin mereka temukan?

Sewaktu mereka memasuki lobi Omnia Hospital, Peter langsung berderap menghampiri mereka. "Akhirnya kalian datang juga," ujarnya dengan nada terburu-buru. "Kita harus cepat, temanku tak bisa memberi banyak waktu." Sebelumnya, Peter telah meminta izin dari salah satu detektif--yang merupakan kenalannya--supaya dibiarkan menemui Neil Hayes. Dulu dia pernah membantu detektif tersebut memecahkan sebuah kasus penting, makanya detektif itu mengiakan permintaannya tanpa bertanya apa pun.

Neil tengah berbaring dengan mata terpejam saat mereka bertiga masuk. Kondisinya sudah membaik sejak pertama kali mereka melihatnya. Matanya tak lagi bengkak dan luka-lukanya sudah mulai sembuh. Mulanya, Oliver mengira orang itu sedang tidur, tapi begitu mereka menghampiri tempat tidurnya, pemuda itu membuka mata dan menatap mereka satu per satu dengan pandangan penuh tanya.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang