Chapter 20

3.9K 717 38
                                    

Kami langsung berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Area parkir bawah tanah gedung rumah sakit seluruhnya dipenuhi mobil. Tidak terlihat seorang pun di situ.

"Di mana dia?" tanyaku, jengkel bercampur khawatir. Ketika aku dan Peter kembali ke rumah sakit usai makan malam, kami mendapati Oliver sudah tak ada di kamarnya. Baju pasiennya tergeletak di atas ranjang dan ranselnya menghilang. Tentu saja hanya ada satu kesimpulan : dia telah pergi.

Peter mengamati peta yang terpampang di ponselnya. Ada satu titik berwarna hitam yang terus bergerak di layar. "Seharusnya dia ada di dekat sini," ucapnya. Sebelumnya, dia telah menyematkan alat pelacak di ransel Oliver tanpa sepengetahuan cowok itu, makanya kami dapat melacaknya dengan cepat.

"Lukanya bahkan belum sembuh. Bagaimana kalau lukanya semakin parah?" ujarku cemas, lantas berpaling pada Peter, menatapnya gelisah. "Seharusnya kita tak memaksanya menceritakan masalahnya. Dia pasti pergi karena kita terlalu ikut campur."

Peter menggeleng. "Aku yakin dia pergi karena tak ingin melibatkan kita." Matanya menatap sesuatu di belakangku, kemudian dengan cepat dia menarikku ke dalam pelukannya. Bersamaan dengan itu, sebilah pisau tiba-tiba melesat entah dari mana dan menancap di ban belakang mobil merah di sampingku.

Mataku melebar menatap pisau itu dengan jantung berdebar kencang. "A-apa itu?" Pisau itu pasti sudah menembus kakiku jika Peter terlambat menarikku beberapa detik saja. Ada dua pisau yang ditujukan padaku hanya dalam selang waktu beberapa jam--rasanya sulit kupercaya. Tanpa kusadari, tubuhku gemetaran dan keringat dingin membasahi keningku.

Peter mengeratkan pelukannya selama beberapa saat. "Tenanglah, semua baik-baik saja," katanya, mencoba menenangkanku.

"Siapa sebenarnya yang berniat membunuhku, dan kenapa?" bisikku. "Ini mengerikan, Peter! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."

"Kita akan menemukan siapa otak di balik semua ini, Alice. Aku janji." Nada bicaranya terdengar penuh tekad hingga membuatku heran. Aku tak menyangka dia benar-benar terobsesi dengan kasus ini.

Aku menarik napas dalam-dalam. Kau harus tenang, Alice, bersikap lemah seperti ini takkan membantu siapa pun. Setelah merasa lebih baik, kudorong Peter menjauh. "Sekarang, kita harus menemukan Oliver," kataku.

Peter menatapku. "Kau yakin kau baik-baik saja? Aku bisa menemanimu kembali ke rumah sakit."

Aku sudah mau menyahut ketika tiba-tiba melihat seorang cowok bergelantungan di salah satu palang besi yang melintang di langit-langit area parkir. Saat menyadari aku tengah memandanginya, dia melompat turun ke hadapan kami dengan bersalto dua kali.

Cowok itu memiliki rambut berwarna biru gelap dengan panjang sedikit melebihi telinga dan sebelah tangannya memegang sebuah pisau pendek. Tatapannya terus tertuju padaku selagi dia menghunus pisau di tangannya.

Pisau yang tadi itu! pikirku, dengan cepat menyadari dialah orang yang melempar pisau barusan. Aku bertukar pandang dengan Peter, lalu dia menyelipkan ponselnya ke dalam tanganku. "Kau cari Oliver. Aku akan tetap di sini dan menghalanginya."

Tak merasa punya pilihan lain, aku pun berbalik dan berlari meninggalkannya. Menurut petunjuk di ponsel, seharusnya Oliver berada tak jauh dariku, tapi di mana? Aku berbelok di tikungan, berlari melewati beberapa mobil, lalu mendengar suara teriakan yang membuatku berhenti berlari.

"Siapa orang yang memerintahkan kalian melakukan semua ini? Katakan!"

Suara itu--Oliver! Aku mengedarkan pandang ke sekeliling dan menemukan cowok itu sejauh beberapa meter dariku. Di hadapannya berdiri sepasang cewek-cowok dengan ekspresi wajah tak bersahabat. Aku mencium ada sesuatu yang tak beres, jadi aku segera bersembunyi di balik salah satu mobil, lalu mengawasi pemandangan di depanku dengan was-was.

"Kau tak perlu tahu siapa dia," ujar si cowok berambut spike.

"Kenapa kalian ingin membunuh Alice?" tanya Oliver lagi.

Si cewek berambut bob menelengkan kepala dengan ekspresi mencemooh. "Dia terlalu banyak bertanya, little brother. Haruskah kita memberinya pelajaran lagi?" tanyanya sambil memutar-mutar pisau di tangannya dengan gerak-gerik tak sabaran.

"Tentu saja, sis," sahut cowok di sebelahnya.

Apa? Mereka bersaudara? Mataku melebar sewaktu melihat mereka maju menyerang Oliver secara bersamaan. Dalam sekejap, mereka sudah terlibat baku hantam yang tidak seimbang. Tentu saja Oliver berada di pihak yang dirugikan.

Aku beringsut maju sedikit, ingin membantu tapi tak yakin apa yang bisa kulakukan. Akal sehatku berbisik untuk pergi mencari pertolongan, tapi aku tak merasa meninggalkan Oliver adalah ide yang baik.

Tanganku menyentuh bumper mobil di depanku. Seandainya aku bisa menerbangkan mobil ini. Aku cepat-cepat menggeleng. Tidak, kalaupun aku bisa, itu akan terlalu berbahaya bagi Oliver. Aku harus mencari cara lain.

Aku menatap sekeliling, mencari-cari sesuatu yang bisa kugunakan, lalu tiba-tiba ....

KLONTANG!

Rupanya pisau si cewek terlempar dari tangannya dan mendarat tak jauh dari tempatku bersembunyi. Aku mengamati pisau tersebut. Jika cewek itu kehilangan senjatanya, maka risiko Oliver terluka akan lebih kecil. Aku pun mengulurkan tangan, memutuskan untuk menggunakan telekinesis melalui tanganku--lebih mudah dan lebih cepat--selagi tak ada siapa pun. Dengan mudah aku menggerakkan pisau itu menyelinap masuk ke bawah mobil di seberangku.

Sayangnya, aku tak memperhitungkan keselamatanku sendiri.

"Well, lihat siapa yang ada di sini."

Ketika aku mendengar suara itu dan mendongak, pemilik pisau itu tengah berdiri di sebelah mobil tempat persembunyianku sambil bersedekap menatapku tajam. Riasan di wajahnya begitu tebal hingga membuatku teringat pada Sofia. Bedanya, yang ini dapat membunuhku saat ini juga. Nyaliku pun menciut seketika.

"Kali ini tak ada yang dapat menyelamatkanmu," lanjutnya, pelan tapi dingin, tanpa sedikit pun emosi. Dia berbicara seolah membunuh orang adalah hal yang biasa baginya.

Mungkinkah dia adalah pembunuh di pesta Raven?

Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah memanggil Oliver. Kemudian aku teringat bahwa dia hampir mati akibat menyelamatkanku dan aku tak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Jadi aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha tampak berani, meski sebenarnya aku takut setengah mati. Rencanaku yang pertama : mengulur waktu sebisa mungkin.

"S-siapa kau?" Suara yang keluar dari mulutku ternyata jauh lebih kecil dari yang kuinginkan. Aku berdeham dan berbicara lebih keras, "Kenapa kau ingin membunuhku?"

Cewek itu mentertawakanku, sepertinya dia menyadari bahwa aku--sebenarnya--ketakutan. "Aku tak perlu menjawab pertanyaan pengecut sepertimu."

Dengan cepat ketakutanku berganti menjadi amarah--aku paling benci dikatai pengecut. Aku menggigit bibirku dan berusaha tetap tenang. "Kenapa tidak?" Diam-diam, kusembunyikan salah satu tanganku di belakang punggung, siap untuk menjalankan rencanaku yang kedua. "Aku berhak mendapat penjelasan."

"Aku tak punya waktu untuk berbicara denganmu, Miss." Cewek itu menarik sebilah pisau dari balik jaket-kulit-tak-berlengan yang dikenakannya. "Sebenarnya ini di luar rencana, tapi membunuhmu akan mengurangi pekerjaan yang harus dia selesaikan."

Aku bertanya-tanya siapa dia yang dimaksudnya, tapi aku tak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut. Tatapanku terus tertuju pada pisau di genggaman tangan cewek itu. Dia pasti mengira dapat menghabisiku dengan mudah, tapi dia salah.

Kali ini aku tak akan diam saja dan membiarkannya membunuhku.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang