Chapter 68

2.3K 481 10
                                    

"Kau sudah memindahkan mereka semua?"

Jane mengangguk pelan sambil menggigit bibir. Kegelisahan tengah melanda gadis berambut hitam tersebut, tetapi dia tak merasa dapat menyuarakannya. Dia tak ingin merusak suasana hati pemuda di sampingnya hanya karena hatinya sendiri yang terlampau lemah. Jadi, gadis itu mengeraskan hati dan memaksakan seulas senyum.

"Semua sudah kulakukan sesuai perintahmu."

"Bagus. Kita harus menempatkan mereka di satu tempat agar semuanya berjalan lancar. Itu juga untuk memudahkan pekerjaan kita. Yang lain?"

"Nate dan Mia sedang mempersiapkan sisanya, sedangkan Luca akan segera menyusul begitu menyelesaikan terapinya." Jane berdebat dalam hati selama sejenak, dan akhirnya mengambil keputusan. Mungkin dia akan gagal, tapi dia tetap harus mencoba. "Haruskah kau melakukan semua ini?"

Pemuda di sebelahnya menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela sambil menyilangkan lengan di dada. "Apa maksudmu?"

Jane menarik napas dalam-dalam, seakan dengan melakukannya dia akan mendapatkan keberanian untuk melanjutkan. "Aku sangat mengerti mengapa kau membenci mereka. Tapi pernahkah kau berpikir, bagaimana seandainya kau menjalani hidupmu dengan cara yang berbeda? Untukku tak ada pengaruhnya karena aku memang bukan siapa-siapa. Tapi, kau tidak sama denganku. Kau bisa memiliki kehidupan yang lebih baik seandainya kau memilih jalan yang berbeda."

"Well, sudah terlambat untuk memilih jalan yang lain, kan?"

"Belum sepenuhnya," bantah Jane keras kepala. "Masih ada kesempatan. Kita bisa mengakhiri semuanya--saat ini juga. Kau bisa membatalkan rencanamu dan pergi ke suatu tempat untuk memulai hidup yang baru."

"Membatalkan rencanaku ... tepat sebelum babak terakhir dimulai? Kau tahu itu bukan caraku bermain, Jane. Tapi, untuk menjawab pertanyaanmu ...." Pemuda itu berputar hingga menghadap Jane, kemudian berjalan maju hingga gadis itu terpaksa melangkah mundur dengan tergesa-gesa. "Sejujurnya, aku pernah beberapa kali memikirkannya. Mungkin, seperti katamu, aku akan menjalani kehidupan yang lebih baik seandainya aku melupakan dendamku."

Jane menahan napas selagi pemuda itu mendekat. Kemudian, tiba-tiba punggungnya menabrak dinding. Tak ada lagi tempat untuk mundur. Jantungnya berdebar kencang ketika pemuda berambut merah kecokelatan itu berdiri tepat di depannya sambil memajukan tubuh. Jane menyadari kalau untuk sesaat, raut wajah orang itu melembut dan kebencian yang selalu menghiasi sorot matanya menghilang, digantikan oleh kesedihan yang begitu dalam. Namun, secepat kebencian itu menghilang, secepat itu pula kebencian kembali mewarnai sepasang mata birunya.

"Tapi itu sudah lama sekali. Dan aku yakin pada akhirnya aku akan tetap memilih hidup semacam ini." Dia menyeringai, dengan begitu menawan, hingga untuk sesaat Jane merasa jantungnya nyaris berhenti berfungsi. "Kau puas dengan jawabanku?"

Jane menelan ludah dengan gugup dan mengerahkan segenap upaya untuk berbicara. "Masalahnya, mereka semua tidak pantas! Untuk apa kau menyia-nyiakan hidupmu seperti ini?" Dia mencoba sekuat tenaga menjaga agar suaranya tidak bergetar, tapi sia-sia.

Pemuda di depannya menggeleng pelan lantas menyahut dengan suara sedingin es, "Jangan bicara omong kosong, Jane. Bagaimana bisa kau bilang aku menyia-nyiakan hidupku di saat aku memiliki tujuan yang jelas?"

Jane kehilangan kata-kata. Seperti yang sudah dia perkirakan, mustahil untuk mengubah pikiran pemuda itu. Jadi, akhirnya dia menyerah. "Kalau begitu, aku akan kembali untuk mengawasi pekerjaan Nate dan Mia." Bagaimanapun, dia tak bisa berada di tempat itu sepanjang waktu, ditambah lagi ada terlalu banyak mata yang mengawasi. Bahkan tadi dia harus menyelinap dengan susah payah supaya bisa masuk tanpa ketahuan siapa-siapa.

"Sebelum kau pergi ...." Si pemuda tiba-tiba berbalik dan menyambar kotak hitam dengan hiasan pita merah muda dari nakas, lalu mengulurkannya ke Jane.

Jane mengernyit bingung. "Apa ini?"

"Kau lihat saja sendiri isinya."

Tanpa perlu disuruh dua kali, Jane segera membuka kotak di tangannya dengan antusias, dan apa yang dia temukan nyaris membuatnya memekik girang--kalau tidak ingat bahwa pimpinannya membenci reaksi berlebihan. Dalam kotak terdapat sebuah buku karangan penulis ternama di abad ke-19. Buku itu sangat langka, dan kalaupun ada yang mau menjualnya, harganya pasti mahal. Oleh sebab itu, Jane bahkan tidak berani bermimpi untuk memiliki buku tersebut. Namun, kini buku itu ada di depan matanya. Segala kegundahan yang dari tadi dia rasakan pun lenyap seketika, digantikan oleh kebahagiaan yang memenuhi dadanya hingga dia nyaris tak dapat bernapas.

"K-kau masih ingat kalau aku menginginkan buku ini?" tanyanya terbata-bata. Dia hanya pernah menyebut judul buku itu sekali. Itu pun sekitar dua tahun silam.

"Aku punya ingatan yang bagus. Kau suka hadiahmu?"

Jane mengangkat pandang dan menemui mata biru pimpinannya. Di balik ekspresi dingin dan tak berperasaan yang kerap kali ditampilkan pemuda itu di depan orang banyak, sebenarnya tersembunyi sebentuk kehangatan--Jane tahu itu. Pemuda itu hanya tak tahu cara untuk mengekspresikannya, atau terlalu angkuh untuk mengakuinya. Tapi yang mana pun tak masalah; dia menyukai semua sisi orang itu.

Sambil memeluk buku barunya erat-erat, Jane tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. "Sangat. Trims."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang