Chapter 34

3.1K 614 7
                                    

Oliver tertegun menatapku kemudian berkata pelan, "Baiklah, aku mengerti, kau boleh ikut denganku." Sebelum aku sempat mengucapkan sesuatu, dia mendekat, mengulurkan tangan, lalu dengan lembut mengusap air mata yang entah dari kapan sudah mengalir membasahi pipiku.

Sial! Aku mengumpat pelan dalam hati dengan pipi yang memanas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku cepat-cepat memutar tubuh lalu mengeringkan mataku yang basah dengan punggung tangan. Alice, itu sangat tidak keren. Sejak kapan kau jadi cengeng begitu? Setelah memastikan mataku sudah tidak berair lagi, aku berbalik dan berdeham. "Uh, itu tadi ... mataku kelilipan. Kau tahu, kan, di jalanan banyak debu dan sebagainya. Jadi jangan salah paham."

"Aku tahu." Oliver memalingkan wajah dan kembali ke motornya, tapi aku sempat melihat dia tersenyum. Pasti dia tak percaya, tapi masa bodoh. Yang penting aku sudah berhasil mengubah pikirannya.

Tujuan terakhir kami terletak di suatu kompleks perumahan yang terbengkalai di pinggiran kota. Oliver memelankan laju motornya untuk mencari rumah Stan, sementara aku menatap deretan bangunan bergaya minimalis yang kami lewati sambil bertanya-tanya mengapa tempat ini ditinggalkan oleh seluruh penghuninya. Menurut pengamatanku, rumah-rumah itu masih dalam kondisi bagus meski kotor termakan usia.

Seolah dapat membaca pikiranku, Oliver berkata, "Lima tahun silam, kompleks perumahan ini terjangkit wabah penyakit yang menewaskan sebagian besar penghuninya. Akibat kejadian tersebut, beberapa pemilik rumah yang tersisa memutuskan untuk pindah dan menelantarkan rumah mereka."

"Kenapa tidak dijual saja?" Rasanya sangat disayangkan rumah-rumah ini diabaikan begitu saja.

"Ada terlalu banyak kematian yang terjadi di sini, Alice. Jadi takkan ada yang mau membelinya."

Oliver menghentikan motornya di depan salah satu rumah, kemudian kami turun dan mengamati rumah yang dulunya ditempati oleh Stan Jacoby. Rumah itu terdiri dari dua tingkat dan dikelilingi pagar tinggi yang sudah berkarat. Cat putih di dinding rumah sudah mengelupas di sana-sini, ditambah dengan tanaman rambat yang memenuhi dinding serta rumput liar yang memenuhi halaman membuat rumah itu terkesan seperti rumah berhantu--bukan jenis tempat yang mau kau datangi di malam hari. Bahkan di siang yang terik seperti ini pun rumah itu memberi kesan menyeramkan.

Oliver mendekati pagar dan mendorongnya. Pagar itu tidak dikunci, sama halnya dengan pintu masuk yang kami temukan dalam keadaan terbuka lebar, seolah-olah pemiliknya pergi dengan terburu-buru.

Di dalam sangat berantakan seperti kapal pecah dan lantainya dipenuhi sampah yang berserakan. Tidak hanya itu, debunya juga sangat tebal dan terdapat sarang laba-laba di berbagai tempat. Aku mengangkat tangan ke hidung untuk menutupinya dari bau apak yang menusuk sementara berjalan mengendap-endap mengikuti Oliver memeriksa seluruh kamar hingga ke lantai dua. Hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada jejak yang menunjukkan kalau mereka pernah ada di sini.

"Aneh," gumam Oliver dengan kening berkerut. "Semua perabotnya masih lengkap, tapi tidak ada satu pun benda yang menunjukkan identitas pemiliknya, seakan-akan pemilik rumah ini kabur lantaran ...."

"Dikejar oleh seseorang?" tebakku, teringat akan lemari pakaian yang kami lihat di salah satu kamar. Pintu lemari terbuka lebar dan beberapa helai pakaian wanita berserakan di lantai kamar, mengindikasikan seseorang berusaha mengemasi pakaiannya dengan terburu-buru. "Tapi siapa yang mengejar Mila Jacoby dan kenapa?"

Oliver memikirkan pertanyaanku sambil bersedekap. Beberapa saat kemudian, dia berkata, "Mila memiliki anak di luar nikah, kau ingat? Bisa jadi ayah dari anaknya berusaha menutupi fakta tersebut dan itulah sebabnya Mila harus kabur bersama anaknya."

Tanpa sadar, aku bergidik saat menyadari arti dari ucapan Oliver. "Menutupi? Maksudmu, ada yang ingin membunuh mereka?"

"Itu cuma teoriku." Oliver menghela napas berat. "Dilihat dari keadaan rumah ini, entah mereka berhasil melarikan diri atau ... mungkin mereka sudah dibunuh, dan pelakunya yang melakukan semua ini untuk memberi kesan seolah-olah mereka kabur, supaya tidak ada yang curiga dengan menghilangnya mereka." Teori Oliver terdengar masuk akal, sayangnya tidak ada apa pun yang dapat kami pastikan saat ini.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Sebaiknya kita pulang. Bahkan jika mereka berdua masih hidup, tidak ada apa pun di sini yang dapat memberi kita petunjuk di mana mereka berada. Mudah-mudahan paling tidak Peter menemukan sesuatu."

Aku mengikuti Oliver berjalan ke depan pagar tempat motornya diparkir, lalu meraih helm dan sudah hendak memasangnya ke kepalaku, tapi tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang mencurigakan. Beberapa meter dari kami, ada seseorang yang bersembunyi di balik pohon, kelihatannya tengah mengintai kami. Mataku menyipit memandangnya untuk memastikan. Tidak salah lagi, orang itu tengah memata-matai kami.

"Sepertinya ada seseorang yang penasaran dengan aktivitas kita," bisikku pada Oliver. Ketika dia menoleh dan menatapku penuh tanya, aku mengangguk ke arah pohon di seberang kami.

Oliver berpaling ke pohon yang kumaksud kemudian meletakkan helmnya di atas jok motor. "Kau tunggu di sini, aku akan mengurusnya."

Sayangnya, orang itu terlanjur menyadari rencana kami--mungkin karena kami berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya. Sebelum Oliver sempat menghampirinya, tiba-tiba dia berbalik dan berlari ke arah yang berlawanan dari kami.

Tentu saja kami tidak tinggal diam, melainkan bergegas menyusulnya. Orang itu menghilang ke dalam salah satu rumah kosong yang terletak tidak jauh dari rumah Stan Jacoby, tapi begitu kami hampir tiba di rumah itu, Oliver tiba-tiba berhenti berlari.

"Ada apa?" tanyaku dengan napas tersengal-sengal.

Cowok itu menggeleng dengan ekspresi gelisah. "Lebih baik kita tidak masuk ke sana, Alice. Perasaanku tidak enak."

Aku membungkuk, bertumpu pada lututku sementara mengatur napas dan mencerna ucapan Oliver, kemudian menegakkan tubuh. "Apa maksudmu? Dia pasti disuruh oleh si pembunuh untuk mengawasi kita. Jika kita menangkapnya, kita bisa memaksanya mengatakan sesuatu."

"Aku tahu, tapi ini terasa terlalu gampang. Bagaimana jika--"

"Baiklah," potongku tidak sabar. Oliver selalu terlalu banyak berpikir. Terkadang itu bagus, tapi di waktu-waktu tertentu kau harus bisa berpikir cepat dan mengambil tindakan, atau kau akan kehilangan momennya. "Kau tetap di sini sementara aku akan memeriksa ke dalam. Jika aku tidak keluar dalam waktu sepuluh menit, kau bisa mencari bantuan."

Aku mulai berlari menuju rumah tersebut, tapi Oliver dengan cepat menyusulku dan mensejajarkan langkahnya denganku seraya berkata, "Kau gila? Bagaimana bisa aku membiarkanmu masuk seorang diri? Kita akan masuk bersama-sama."

Rumah yang kami masuki hanya terdiri dari satu lantai, serta ditinggalkan dalam keadaan rapi. Semua perabotnya ditutupi kain putih dan masih terletak di tempatnya masing-masing. Kami segera memeriksa dua kamar yang ada di situ tapi tidak ada siapa pun di sana. Ketika memeriksa halaman belakang, kami menemukan jejak kaki yang mengarah ke tembok setinggi pinggang yang membatasi rumah tersebut dengan tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar di belakangnya.

"Kita terlambat. Dia pasti sudah kabur dari tadi." Oliver menyimpulkan ketika kami berjalan kembali ke dalam. "Kelihatannya dia mengenal perumahan ini dengan cukup baik, mengingat dia tahu rumah mana yang dapat dijadikan jalan pintas."

Oliver benar. Seingatku, tidak ada pintu belakang semacam itu di rumah Stan. "Tunggu, apa tadi kau menutup pintu?" tanyaku heran ketika melihat pintu masuk tertutup rapat di depan kami. Aku yakin betul tadi membiarkannya terbuka.

"Tidak. Kukira kau yang menutupnya?" Mata birunya yang bertemu dengan mataku perlahan melebar panik saat menyadari bukan aku orang yang menutup pintu tersebut, lalu dia menoleh ke belakang dan raut wajahnya seketika berubah pucat. Aku ikut menoleh dan mendapati pintu belakang juga sudah tertutup.

Mataku melebar keheranan. "A-apa yang terjadi?"

Oliver mengepalkan tangan dengan geram di sebelahku. "Ini jebakan, Alice. Kita sudah ditipu."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang