Chapter 19

3.9K 760 20
                                    

"Di hari pemakaman orang tuaku, aku mendapat pesan misterius dari nomor yang tak kukenal. Pengirimnya memintaku untuk mengingat 'apa yang seharusnya kuingat'. Jika tidak, maka korban akan berjatuhan." Oliver mengaduk-aduk ranselnya lalu mengeluarkan ponsel. "Masalahnya, aku tak tahu apa yang dia maksud, jadi awalnya kukira itu hanya perbuatan orang iseng."

Sebelah alis Peter terangkat. "Sebentar, hari pemakaman orang tuamu? Itu berarti—"

Oliver mengangguk dengan raut wajah tertekan. "Ya, itu dua hari sebelum kasus pembunuhan yang pertama. Sejak itulah aku menyadari kalau orang itu serius dengan ancamannya."

Alice mengerutkan kening selagi menyimak pembicaraan tersebut. "Jadi menurutmu pengirim pesan itu adalah si pembunuh?"

Oliver kembali mengangguk. Awan mendung seolah menyelimuti wajahnya. "Kemungkinannya begitu. Pesan-pesan berikutnya berisi nama para korban, dan semuanya dikirim sebelum mereka ditemukan," tambahnya. Dia membuka daftar pesan singkat yang diterimanya dari si pembunuh, lalu mengulurkan ponselnya pada Peter.

Alice berjalan menghampiri Peter dan berdiri di belakang cowok itu. Sementara dia membaca deretan pesan singkat dari si pembunuh, perlahan wajahnya berubah pucat pasi. "Ini gila," gumamnya.

"Mrs. Murray?" Peter menyebut nama dalam salah satu pesan, lalu mengangkat kepala. Mata birunya memandangi Oliver dengan heran. "Bukankah dia wanita paruh baya yang ditemukan bunuh diri di apartemennya?"

Oliver menggeleng. "Dia dibunuh." Dalam sekejap, ingatan ketika dia menemukan wanita itu dalam kondisi mengenaskan kembali menghantui benaknya. Keputusasaan yang saat itu dia rasakan kini mencengkeramnya begitu kuat hingga dadanya terasa sesak.

Sebelas nyawa telah melayang. Si pembunuh sudah memberinya kesempatan untuk menyelamatkan mereka semua, dengan cara memberitahu nama calon korban. Tapi sayangnya, dia juga memastikan kalau permainan itu tak akan pernah dapat dimenangkan oleh Oliver. Bagaimana caranya dia mengingat sesuatu yang bahkan tak dia ketahui? Itu mustahil.

Alice bertukar pandang dengan Peter, kemudian menghampiri Oliver. "Kematian mereka bukan salahmu," katanya, meletakkan sebelah tangan di pundak kiri pemuda itu.

"Alice benar," Peter menyetujui. "Kita tak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh orang lain, bahkan meskipun mereka mengatasnamakan kita sebagai penyebab mereka mengambil keputusan."

Oliver hanya diam dengan kepala tertunduk. Dia tahu apa yang sedang mereka berdua coba lakukan. Mereka ingin dia berhenti merasa bersalah. Tapi bukan ini yang diinginkannya. Dia tak sedang mencari simpati dari siapa pun, terutama dari Alice. Terlepas dari apa pun ucapan mereka, dia tahu pasti bahwa rasa bersalah akan terus mengikutinya seumur hidupnya--walaupun di satu sisi dia juga tahu itu bukan salahnya.

Oliver memejamkan mata sejenak, berusaha untuk tetap tenang. Dia lalu membuka mata dan tersenyum untuk menunjukkan kalau dia baik-baik saja. "Kalian tak perlu mencemaskanku. Saat ini, yang perlu kulakukan adalah menemukan ingatanku. Hanya itu satu-satunya cara menemukan si pembunuh."

"Jadi itu sebabnya kau pergi? Untuk mencari orang tua kandungmu?" tebak Peter.

Oliver mengangguk sambil menghela napas. "Benar. Kurasa hanya mereka yang dapat memberitahuku apa yang terjadi di masa kecilku. Masalahnya, aku tak dapat menemukan mereka. Kukira jika aku mendatangi panti asuhan yang namanya tertera di dokumen adopsiku, maka aku dapat menanyakan siapa mereka, jadi aku pergi ke sana. Tapi, di alamat tempat itu seharusnya berada hanya ada tanah kosong yang tidak terurus, seolah panti asuhan tersebut tak pernah ada."

Dengan kening berkerut, Peter mengembalikan ponsel Oliver pada pemiliknya. "Aneh. Selain itu, yang tak kumengerti, bagaimana bisa orang itu menggunakan nomor yang berbeda-beda untuk mengirim pesan padamu," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Sambil berkacak pinggang, Alice memutar bola mata. "Menurutku, lebih baik kita menemui detektif dan menceritakan semua yang kita ketahui," sarannya. "Ini terlalu berbahaya."

"Siapa yang akan memercayai remaja berumur enam belas tahun yang mengatakan kalau dia berkomunikasi dengan seorang pembunuh?" tukas Peter. "Lagi pula, Oliver juga tak tahu identitas si pembunuh."

"Nomor yang dia pakai. Kalau detektif melacaknya, mereka pasti dapat menemukannya."

"Kau kira dia semudah itu ditemukan?"

"Di film-film biasanya seperti itu."

Oliver menatap dua temannya bergantian, lantas menghela napas. Entah sudah berapa kali dia menghela napas selama beberapa jam terakhir ini. "Guys, alasanku menceritakan semua ini pada kalian bukan dalam rangka meminta bantuan, melainkan supaya kalian dapat lebih berhati-hati."

"Apa?" Sebelah alis Alice sontak terangkat.

"Ini masalahku, jadi kalian jangan ikut campur," tegas Oliver.

"Tapi dia itu pembunuh gila! Kau pikir kami akan aman hanya dengan mengetahuinya? Lalu, bagaimana denganmu? Mau sampai kapan kau mencarinya?" seru Alice.

Seolah dapat merasakan kalau situasi mulai memanas, Peter berdiri dan menarik lengan Alice. "Sudahlah." Dia berpaling pada Oliver. "Kami akan pergi sebentar untuk makan malam. Kau mau kubelikan sesuatu?"

Oliver menggeleng. "Kurasa aku mau tidur sebentar."

"Baiklah, kami akan kembali sebentar lagi."

Tatapan Oliver mengikuti kedua temannya sampai mereka menghilang di balik pintu, lalu dia melompat turun dari kasur. Dia mencabut infus yang menempel di tangannya, kemudian melesat ke pintu dan menempelkan telinga di situ. Tak terdengar suara apa pun, berarti mereka sudah pergi jauh.

Dia sudah tahu mereka pasti akan ikut campur, dan itu sebabnya dia tak ingin mereka tahu. Jika si pembunuh tak menggunakan Alice untuk memancingnya keluar, hingga detik ini dia masih tak akan muncul di hadapan teman-temannya. Oliver sudah bertekad untuk mencari si pembunuh seorang diri. Dia tak ingin melibatkan orang lain dalam masalahnya. Entah mengapa, dia merasa ini adalah sesuatu yang bersifat personal, antara dia dan si pembunuh.

Dia yakin kalau si pembunuh dapat membunuhnya dengan mudah jika memang orang itu begitu membencinya. Tapi fakta bahwa si pembunuh menghabisi nyawa orang lain agar dia terbebani dengan setumpuk rasa bersalah menunjukkan kalau orang itu bukan hanya membencinya.

Siapa pun orang itu, dia menyimpan dendam yang teramat besar padanya.

Dengan tergesa-gesa, Oliver mengganti baju pasiennya dengan pakaian yang dia ambil dari dalam ransel. Lalu digantungnya ransel itu di bahu kiri, siap untuk pergi. Untuk sejenak, dia mempertimbangkan untuk meninggalkan pesan, tapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya. Toh mereka pasti tahu kenapa dia pergi. Mereka sudah tahu lebih dari yang mereka perlu.

Selagi berada di dalam lift yang membawanya turun ke lantai bawah tanah, Oliver terus menyentuh pundak kanannya untuk mengirimkan energi penyembuhan ke lukanya--yang sudah jauh terasa lebih baik berkat operasi yang dia terima tadi siang. Alice pasti akan membencinya karena pergi dengan cara seperti ini, tapi dia tidak punya pilihan.

Oliver mengangkat kepala ketika lift berhenti. Saat pintu lift perlahan terbuka, di depannya telah berdiri dua orang yang sudah tak asing. Sambil tersenyum mengejek, Mia melambaikan tangan seolah mereka adalah teman lama. Sementara di sebelahnya, Nate menyeringai sambil mengacungkan jari jempol dan telunjuknya ke arah Oliver.

"Gotcha!"

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang