Chapter 42

3K 568 27
                                    

Keesokan paginya, aku bangun dengan kepala berat. Tidurku tidak nyenyak lantaran memikirkan bakal ditegur oleh ibu dan kakekku perihal Sofia--aku memang belum bertemu mereka sama sekali sejak insiden tersebut. Untungnya, mereka takkan tahu kalau Kyle terluka gara-gara aku, sebab Leon Raven mengatakan kalau dia tak berniat memberi tahu kakekku. Jangan tanya aku apa alasannya. Paling-paling supaya tidak merusak hubungan bisnis mereka.

Ibuku memberiku tatapan tajam saat aku menyeret kakiku memasuki ruang makan. "Kau pulang jam berapa tadi malam, Nona muda?" tanyanya setelah aku duduk di kursiku. Menilik dari nada bicaranya, dia sudah kembali ke dirinya yang biasa. Aku tak tahu harus senang atau tidak.

"Uh ... mungkin sekitar setengah sembilan." Atau mungkin jam sembilan lewat, sebab mereka sudah tidur ketika aku tiba di rumah.

"Kau lupa peraturan di rumah ini? Kalau kau berencana pulang telat, kau harus mengabari kami." Tentu saja aku lupa. Kadang aku juga penasaran apa yang dapat diingat oleh otakku.

Gramps menyeruput kopinya. "Dan mengenai Sofia Jarrett ...."

Sudah dimulai. Rasa lapar yang sejak malam menyerangku mendadak lenyap tak bersisa. Saat ini, satu-satunya yang kuinginkan hanyalah mempercepat waktu agar aku tak perlu mendengar mereka mengomeliku.

" ... tindakanmu memang keterlaluan, tapi Miss Jarrett pantas mendapatkannya."

"Namun bukan berarti kami menyetujui perbuatanmu," tambah ibuku cepat.

Aku terperangah. Tidak ada teguran sama sekali? Apa ini mimpi? "Ka-kalian tidak akan menghukumku atau sebagainya?" tanyaku, nyaris tidak memercayai keberuntunganku.

"Hanya untuk kali ini, Alice," tegas kakekku. "Lagi pula, kau akan mendapat hukuman dari tempat lain. Kemarin pagi kepala sekolahmu menghubungiku untuk memberi tahu keputusan mereka terkait dengan kesalahanmu."

Jantungku mulai berdebar kencang. "Apa yang mereka katakan?"

Kakekku menerangkan, "Kau harus menulis surat permintaan maaf untuk Miss Jarrett sebanyak dua ribu kata. Selain itu, kau juga harus membersihkan halaman sekolah selama dua minggu berturut-turut--hukumanmu dimulai usai liburan berakhir."

"Hanya itu?"

"Bukan hanya itu, Alice," tukas ibuku. "Kalau kau sampai mengulanginya lagi, kau akan dikeluarkan dari sekolah."

"Aku tahu, Mom, aku tahu."

Gramps memandangku dari balik kacamata baca yang tersemat di pangkal hidungnya. Dia berkata pelan, "Kuharap kau mempelajari sesuatu dari kejadian ini, Alice."

"Tenang saja, Gramps, aku tidak akan mengulanginya lagi."

"Oh, dan pelatihmu menelepon," kata ibuku. "Dia ingin kau mengikuti pelatihan simulasi. Apa kau setuju?" Aku mengangguk. Ibuku melanjutkan, "Kalau begitu aku akan mengabarinya."

Setelahnya, mereka berdua mengabaikanku dan sibuk membicarakan perihal pekerjaan--seperti biasa. Aku menelengkan kepala. Rasanya seperti ada sesuatu yang janggal. Reaksi mereka sedikit terlalu ... tenang? Terutama ibuku. Sulit dipercaya mereka tidak memarahiku sedikit pun, padahal mereka paling tidak suka kalau aku menggunakan kekuatanku di tempat umum--apalagi kalau sampai menyakiti seseorang.

Well, aku hanya beruntung, kurasa.

Seusai sarapan, Oliver menelepon dan berkata kalau dia akan menjemputku sekitar jam sepuluh. Peter meminta kami berkumpul di rumahnya lantaran ingin memperkenalkan anggota baru dalam 'tim' kecil kami. Rupanya dia bersikeras merahasiakan siapa orang itu hingga detik terakhir.

Oliver datang tepat jam sepuluh, lalu kami melaju menuju rumah Peter yang berjarak setengah jam perjalanan dari rumahku. Terakhir kali aku ke sana adalah sekitar dua atau tiga tahun silam, jadi aku tidak ingat persis bagaimana rumahnya. Yang kuingat hanyalah kesan bahwa rumahnya sangat tinggi.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang