Chapter 38

2.8K 568 8
                                    

Aku berlari secepat mungkin menjauhi tempat tersebut. Kemudian, setelah kurasa aman, aku berhenti di salah satu rumah untuk memeriksa ikon sinyal di ponselku. Sudah muncul. Tanpa menunda-nunda, aku segera menghubungi Peter. Dia menjawab telepon di dering kedua.

"Alice, kenapa kalian sulit sekali dihubu--"

Aku memotong ucapannya. "Tolong kami, Peter! Oliver dalam bahaya!"

"Tunggu, di mana kalian? Dan apa yang terjadi?"

"Kami bertemu dengan anak buah si pembunuh di dekat rumah Stan Jacoby. Aku sudah berhasil kabur, tapi Oliver belum." Selagi berbicara, aku menyadari suatu hal yang tidak terlalu menguntungkanku. Jika Luca berhasil mengejarku sampai sini, ada kemungkinan dia dapat mendengar suaraku. Jadi aku pun merendahkan suaraku, "Aku mengandalkanmu, oke?"

Seusai memutus sambungan telepon, aku berpikir sejenak. Dalam situasi seperti ini, apa sebaiknya aku bersembunyi di sini dan menunggu pertolongan, atau pergi ke jalan raya di luar perumahan? Bagaimanapun, selalu ada kemungkinan Luca menemukanku, jadi bersembunyi di sini tidak sepenuhnya aman.

Di sisi lain, berdasarkan pengalamanku di area parkir rumah sakit beberapa waktu yang lalu, sepertinya komplotan si pembunuh tidak menjalankan aksinya saat ada orang lain yang dapat melihat mereka. Jadi, jika aku bisa mencapai jalan raya, mungkin dia akan berhenti mengejarku--setidaknya kuharap begitu. Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk mengambil pilihan kedua.

Aku keluar dari tempat persembunyianku dan mulai berlari. Setelah beberapa menit, pintu gerbang perumahan yang menjulang tinggi sudah terlihat di depan mata. Namun, tiba-tiba seseorang melesat ke depanku dari celah antar rumah di sebelah kananku. Aku buru-buru berbalik arah ketika menyadari siapa dia, tapi sudah terlambat.

Luca mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku dengan kasar sampai aku terjatuh. Lalu dia menodongkan pisau ke arahku. "Kalau kau mencoba kabur lagi, kau akan menyesalinya. Sekarang, bangun dan ikuti aku," katanya dengan nada memerintah.

Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya. Sepanjang jalan, sekujur tubuhku gemetar ketakutan tanpa dapat kukendalikan. Aku benar-benar takut. Bagaimana jika dia membunuhku? Pikiran-pikiran yang melemahkan semangat seperti itu terus berlari-lari di benakku sementara kami berjalan.

Kami berhenti di garasi salah satu rumah kosong yang terletak di belakang deretan rumah Stan Jacoby. Sebuah mobil hitam terparkir di sana. Dia mendorongku ke pintu penumpang di sisi sebelah kiri. "Masuk," perintahnya.

Tatapanku terkunci pada pintu mobil di depanku. Kalau aku masuk, aku takkan bisa keluar lagi. Apa pun yang terjadi, aku harus kabur--saat ini juga.

"Kau tuli?" bentak Luca. "Cepat masuk!"

"Uh ... pintunya macet." Aku menarik-narik pegangan pintu, membuatnya seolah-olah tidak mau dibuka.

Cowok itu menatapku dengan penuh selidik, lalu mengeluarkan kunci mobil dan menekan sebuah tombol. Pintu bagasi terbuka. Cowok itu lantas menunjuk bagasi dengan pisaunya. "Kalau begitu, masuk ke dalam sana."

Sial. Sambil terus memutar otak, aku berjalan ke belakang mobil. Ketika sudah berdiri di depan bagasi, aku menyadari kalau aku bisa melarikan diri melalui celah antara sisi kanan mobil dengan dinding garasi--dan itulah yang kulakukan.

"Hei, berhenti kau!" teriak Luca sambil mengejarku. Suaranya terdengar murka seolah dia akan mencincangku hidup-hidup kalau berhasil menangkapku lagi.

Aku berbelok dan menghadapi persimpangan jalan yang terbagi dua. Arah yang mana yang mengarah ke luar? Aku mengelap peluh di keningku dengan punggung tangan. Aku harus berpikir cepat. Kanan atau kiri?

Namun, sebelum otakku mampu mengambil keputusan, seseorang menarikku dari belakang lalu membekap mulutku dengan tangannya. Aku tersentak kaget, tapi instingku untuk mempertahankan diri masih berfungsi. Dengan sekuat tenaga, kuinjak kaki penyerangku.

Tanpa melepasku, orang itu mengeluarkan erangan kesakitan yang tertahan, lantas berbisik pelan di telingaku, "Jangan berteriak kalau kau masih ingin hidup, Sheridan."

Aku terperangah begitu dia berbicara lantaran mengenali suaranya. Aku pun mengangkat dua tanganku, pertanda menyerah, lalu dia melepasku.

"Ikuti aku," katanya.

Dengan setengah ragu, aku mengikutinya menuju sebuah rumah berwarna kuning pucat yang dikelilingi pagar beton setinggi satu setengah meter. Mataku terus mengawasi cowok itu dengan curiga selagi melangkah ke balik tembok pagar. Tidak seperti biasanya yang selalu mengenakan setelan berpotongan mahal--setidaknya setiap kali kami bertemu, kali ini dia mengenakan kemeja cokelat dan jins biru muda yang tampak kusam.

"Kata-katamu barusan sangat tidak lucu, Raven. Kau sengaja menakut-nakutiku atau apa?" Aku langsung mengutarakan keberatanku tanpa basa-basi.

Kyle duduk bersandar di tembok sambil mengatur napas, selama beberapa saat bersikap seolah aku tak ada di situ. Setelahnya, dia menoleh ke arahku dengan senyum miring terbentuk di sudut bibirnya. Dia berkata, "Kukira kata-kata pertama yang seharusnya kau ucapkan pada penolongmu adalah terima kasih?"

Aku menatapnya sinis. "Tergantung."

"Pada apa?"

"Apa kau itu lawan atau kawan."

Dia tertegun, matanya terbuka lebar, mulutnya sedikit menganga. "Kau--barusan itu maksudnya kau mencurigaiku?"

Aku mengedikkan bahu. "Kalau aku tidak seharusnya curiga padamu, sebaiknya kau mengklarifikasinya. Misalnya, menjelaskan kenapa kau bisa ada di sini."

Kyle memutar bola mata, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. Mata birunya berkilat-kilat dan seulas senyum menghiasi wajahnya. Senyum licik yang penuh makna. "Seandainya aku adalah lawan, bukankah artinya kau ada dalam bahaya dengan duduk bersamaku saat ini? Kau terlalu ceroboh, Alice. Jika kau mencurigaiku, tidak seharusnya kau mengikutiku dengan begitu mudahnya."

Duh, dia ada benarnya juga. Aku memaki diriku sendiri dalam hati. Dasar bodoh.

"Well, itu menunjukkan kalau kau tidak sepenuhnya yakin," tambahnya dengan nada riang. "Untuk menghapus kecurigaanmu, aku di sini atas perintah kakekku. Beliau ingin membeli lahan perumahan ini dan menjadikannya sebuah pusat perbelanjaan, jadi dia menyuruhku datang melihat-lihat. Sewaktu berjalan, aku melihatmu sedang dikejar oleh seseorang yang memegang pisau. Kupikir kau dalam bahaya jadi aku berusaha menolongmu. Sisanya kau sudah tahu sendiri."

Aku mengerutkan bibir. Ceritanya terdengar sungguhan dan aku tak dapat menemukan kejanggalan apa pun. Tapi sejak kapan perusahaan teknologi seperti RavenCorp berminat pada bisnis semacam itu?

"Aku tidak mengira ahli waris RavenCorp akan datang sendirian ... dan dengan pakaian seperti itu."

Dia menunduk untuk mengamati pakaiannya, lalu mengangkat kepala, melontarkan tatapan bingung ke arahku. "Apa yang salah dengan pakaianku? Kau tidak berpikir aku harus selalu mengenakan setelan jas dua-puluh-empat-jam-tujuh-hari-seminggu, kan? Sesekali aku juga ingin berpakaian kasual, kau tahu," protesnya.

Rasanya sukar membayangkan Raven muda ternyata tidak suka berpakaian formal sepanjang waktu. Perkatannya membuatku geli--walaupun itu benar-benar masuk akal. Untungnya, aku masih dapat menahan tawaku.

"Lalu? Kenapa kau datang tanpa satu pun pengawal?"

Dia menggeleng dengan ekspresi bagaimana-bisa-kau-tidak-mengerti. "Membawa pengawal bakalan terlihat terlalu mencolok, Sheridan. Untuk pebisnis seperti kakekku, setiap langkah yang diambilnya akan menjadi sorotan publik. Jadi dia harus selalu menjaga kerahasiaan rencana-rencana bisnisnya sebelum semua itu terlaksana."

Penjelasannya terdengar masuk akal sekaligus membuatku merasa bodoh. "Well, kalau begitu ... uh ...." Kenapa susah sekali mengucapkan terima kasih padanya? Lidahku seakan macet, tidak dapat kugunakan untuk menuturkan kalimat. Aku menelan ludah dan kembali mencoba lebih keras. "Thanks."

Senyum cerah mengembang di wajahnya dan matanya berbinar. Untuk sesaat, dia memperlihatkan kesan yang belum pernah kulihat. Dia tampak seperti ... anak-anak? Polos dan innocent.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang