Chapter 71

2.2K 494 22
                                    

Oliver mengangkat kepala ketika mendengar bunyi langkah mendekat, dan mendapati Peter berdiri di ambang pintu kamar, memandanginya dengan raut cemas bercampur gusar. Sewaktu melihat Oliver hanya balas menatap dengan tatapan kosong, cowok itu menggeleng, lalu berderap masuk dan menarik lengan Oliver yang tengah duduk di lantai.

"Bangun, dude," katanya. Tak ada reaksi. Dia melepas tangan Oliver--yang langsung terjatuh ke lantai, kemudian duduk di sebelahnya sambil menghela napas keras-keras. "Inilah sebabnya aku melarang Alice menemuimu. Sebenarnya, apa yang terjadi?"

Oliver hanya diam membisu dan menatap ke depan dengan tatapan menerawang. Dia sudah berada dalam posisi yang sama selama beberapa jam, berusaha memahami apa yang terjadi beberapa tahun silam. Masalahnya, dia ragu dia akan pernah mengerti. Dia dapat menerima dibohongi oleh orang tuanya, tapi dia masih tak dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.

"Aku tahu kau perlu waktu untuk sendirian," lanjut Peter, "tapi kita tak memiliki banyak waktu, kau tahu itu. Aku dan Harry menemukan adanya laporan puluhan remaja berusia 14-16 tahun yang hilang dalam kurun waktu dua minggu terakhir di Andromeda City dan sekitarnya. Nama mereka tidak tercantum dalam daftar nama Anak Spesial yang kita miliki, tapi yang jelas Neil Hayes tidak berbohong."

Perlahan, Oliver menoleh, menemui tatapan Peter. "Apa katamu?"

Peter menghela napas. "Si pembunuh akan membunuh lagi. Cepat atau lambat. Jadi kau harus memberitahuku apa yang kau ingat," desaknya.

Oliver mengernyit, seakan tengah menahan sakit, sembari membenamkan kepala dalam dua tangan. Bagaimanapun, Peter ada benarnya juga. Saat ini ada hal lain yang perlu didahulukan selain perasaannya--dia harus menemukan si pembunuh. Meski demikian, dia tidak melihat bagaimana ingatannya bisa membantu.

Mungkin lebih baik aku menceritakannya ke Peter, dia memutuskan, lantas menarik napas dalam-dalam. "Hari itu, aku sedang bermain petak umpet dengan Dad, kemudian dia menyuruhku bersembunyi di kamar dan menunggunya. Tapi dia tak kunjung datang, jadi aku bosan dan keluar untuk mencari camilan. Saat itulah aku mendengar pertengkaran antara ayahku dengan seorang wanita bernama Mila Jacoby dari arah ruang tamu. Lalu, Dad ... dia ...." Oliver terdiam sejenak, tak sanggup melanjutkan. Bahkan hingga detik ini pemandangan itu masih tampak menyeramkan di matanya. Dia memeluk erat-erat tubuhnya yang gemetaran sembari berbisik, "Dia mencekik wanita itu."

"Kau yakin namanya Mila Jacoby?"

Oliver mengangguk pelan. "Aku mendengar dia meneriakkan namanya sendiri."

"Kenapa ayahmu melakukannya? Kau ingat?"

Oliver menggeleng. "Aku tak mendengar cukup banyak. Sepertinya Mila berniat menemui ibuku, jadi mungkin itu sebabnya." Dia mengusapkan tangan di wajah sambil mendesah letih. "Saat itu, aku tak mengerti apa yang terjadi. Begitu wanita itu tak sadarkan diri, aku berlari kembali ke kamar karena takut akan ditegur ayahku lantaran tidak mengikuti kata-katanya. Setibanya di kamar, aku tertidur dan saat terbangun wanita itu tak ada di mana pun. Jadi kukira semua itu hanya mimpi."

"Artinya ada hal lain yang membuatmu menyadari kalau itu bukan mimpi?" tanya Peter dengan raut prihatin.

Oliver mengangguk. "Kejadian yang sama terulang beberapa bulan setelahnya di rumah Raven--ceritanya panjang. Waktu itu, kebetulan aku berada di sana karena dititipkan ayahku pada ayah Alice, yang membawaku bersama dua anaknya. Keluargaku dan keluarga Alice memang bersahabat," tambahnya sewaktu melihat Peter mengernyit bingung. "Di rumah Raven, aku, Alice, dan Alex bermain bersama Kyle Raven--yang baru pertama kali kutemui hari itu. Selain kami berempat, ada bocah lain di sana yang tak ikut bermain dengan kami. Dialah yang menyebut ayahku pembunuh sewaktu melihatnya."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang