Chapter 47

2.8K 526 19
                                    

Nama Neil Hayes dengan cepat menyedot banyak perhatian. Sebagai satu-satunya korban selamat yang berhasil melarikan diri dari--orang yang dipercaya sebagai--pembunuh berantai Andromeda City, tak heran bila reporter berbondong-bondong datang ke rumah sakit tempatnya dirawat. Saat ini mereka semua tengah berkerumun di depan kamar tempat si korban selamat dirawat, sibuk mengambil gambarnya dari balik dinding kaca yang mengelilingi kamar tersebut. Dia diperlakukan nyaris seperti selebriti.

Oliver memicingkan mata, mengamati sosok bertubuh kurus tinggi itu dengan penuh minat. Neil memiliki kulit putih yang sangat pucat, seakan tak pernah tersentuh oleh sinar matahari. Rambutnya yang sewarna pasir lepek akibat keringat sekaligus dikotori oleh bercak darah yang sudah mengering. Tubuhnya sendiri dipenuhi luka dan lebam di sana-sini, sementara kedua matanya bengkak hingga terlihat kesulitan untuk dibuka.

"Aku penasaran bagaimana caranya dia kabur," bisik Alice yang berdiri di sebelah Oliver. Gadis itu bergidik sebelum memalingkan wajahnya dari Neil.

"Ada banyak yang harus kita tanyakan padanya," sahut Oliver. Nama Neil Hayes tak tercantum dalam daftar nama para Anak Spesial. Mungkinkah dugaan mereka salah dan ternyata si pembunuh juga mengincar orang lain? Tak hanya itu, dia juga penasaran seperti Alice. Bagaimana Neil bisa kabur? Atau ... si pembunuh sengaja membiarkannya pergi? Oliver cukup yakin kalau orang itu tak menginginkan adanya satu pun saksi mata.

"Masalahnya, apa dia mau menemui kita?" Kening Alice berkerut. "Kalaupun dia bersedia, selalu ada kemungkinan dia tak mau membicarakannya. Bagaimanapun, itu pengalaman yang mengerikan."

"Begini saja," ujar Peter, "aku akan meminta bantuan temanku yang bekerja sebagai detektif untuk memberi kita kesempatan bertemu dengan Neil. Kalau memang nantinya dia tak bersedia menjawab pertanyaan kita, baru kita pikirkan langkah selanjutnya."

"Itu ide bagus," komentar Harry. Dia berdiri agak di belakang mereka sampai-sampai kehadirannya sedikit terlupakan.

Alice terlonjak kaget lalu memutar kepala ke belakang. "Kau masih di sini?"

"Memangnya tak boleh?"

Menyadari nada suara Harry yang mulai meninggi, Peter buru-buru menarik Alice ke sebelahnya. "Come on, guys, ini bukan waktunya bertengkar. Harry, bukannya kau perlu memecahkan kode pelindung berkasnya?"

"Berapa lama waktu yang kau perlukan?" tanya Oliver. Beberapa saat yang lalu Peter sudah menjelaskan kalau daftar nama peserta Proyek Penghapus Ingatan yang disalin dari laptop Ms. Connely dilindungi dengan beberapa tingkatan. Bahkan untuk menemukan dan menyalinnya pun sudah memakan usaha yang cukup keras, jadi dia sedikit sangsi Harry mampu membuka dokumen tersebut dalam waktu singkat.

"Entahlah," jawabnya jujur. "Kuusahakan secepatnya."

"Tolong kabari aku begitu kau berhasil membukanya," pinta Oliver.

Setelah Harry pergi, Peter berkata, "Sebaiknya kita juga pulang. Tak ada yang dapat kita lakukan di sini."

Oliver melirik Alice. Wajah gadis itu masih kelihatan masam. Munculnya Neil Hayes sedikit mengalihkan perhatiannya, tapi tak sepenuhnya memperbaiki suasana hatinya yang buruk. "Kau mau pulang?"

"Aku ... tak tahu." Gadis itu mengepalkan kedua tangan, seakan siap untuk meninju sesuatu. "Aku masih sangat, sangat jengkel, sampai kepalaku sakit."

"Kau tak penasaran tentang saudaramu?" tanya Peter.

Alice mengernyit ke arahnya. "Kalau iya, lantas?"

Peter mengedikkan bahu. "Well, bagaimanapun dulu dia tinggal bersamamu sampai berumur tujuh tahun. Kau tak berpikir dia meninggalkan banyak jejak? Tujuh tahun adalah waktu yang cukup lama."

"Jejak?" tanya Oliver.

"Yah, misalnya foto keluarga. Mengingat ibumu masih mencarinya, kurasa dia masih menyimpan semua barang-barang milik saudaramu. Di suatu tempat."

Alice terdiam. Selama beberapa saat, dahinya berkerut penuh pemikiran. Lalu matanya melebar dan dia berkata, "Aku jadi ingat, rasanya ada satu kamar yang selalu terkunci. Letaknya di seberang kamar kakekku. Menurut kalian, mungkinkah itu kamar saudara kembarku?"

Peter nyengir. "Kau harus memeriksanya untuk tahu."

Alice menjentikkan jarinya. "Kalau begitu, kita ke rumahku sekarang. Kalian dapat membantuku."

Tanpa berkata apa pun, Oliver memperhatikan mereka berdua. Seperti biasa, Peter selalu tahu cara membuat gadis itu kembali bersemangat. Wajah Alice yang semula cemberut kini tampak berseri-seri. Mata cokelatnya berbinar penuh semangat. Dia seperti baru saja menemukan peta harta karun. Diam-diam Oliver merasa iri. Dia juga ingin melakukan atau mengatakan sesuatu untuk membuat Alice merasa lebih baik, tapi saat ini pikirannya terlalu penuh dengan berbagai pertanyaan mengenai sosok Neil Hayes.

Bukan berarti dia tak peduli pada Alice. Hanya saja, sering kali dia merasa tak pantas untuk memikirkan hal-hal lain di luar cara untuk menemukan si pembunuh. Sudah ada banyak korban jiwa yang melayang akibat dirinya, jadi tak seharusnya dia memikirkan bagaimana cara untuk menghibur Alice, di saat ada kemungkinan si pembunuh tengah mengintai calon korban yang lain. Saat ini pun seharusnya dia tetap tinggal di rumah sakit, menunggu kesempatan untuk menemui Neil.

Namun, jika dia menolak ikut membantu Alice mencari tahu soal saudara kembarnya, gadis itu akan kecewa. Dan Oliver tak sanggup melihat kekecewaan kembali menghiasi mata cokelat milik Alice.

Sepanjang perjalanan ke rumah Alice, Oliver memilih untuk berdiam diri sementara Peter berusaha membuat Alice tertawa dengan menceritakan berbagai lelucon--yang menurutnya didapat dari berbagai sumber. Kelihatan jelas kalau Peter sedang berupaya keras untuk menghibur Alice. Beberapa saat yang lalu sewaktu mereka tengah menunggu Alice turun dari atap, Peter juga tampak sangat mencemaskan Alice. Dia terus-menerus berjalan mondar-mandir, tak sabar menunggu gadis itu keluar dari lift. Bahkan, dia sudah nyaris menyusul Alice ke atap.

Peter memang lebih dulu mengenal Alice. Ketika Oliver bergabung dalam lingkaran persahabatan mereka, dua orang itu sudah berteman selama dua tahun. Jadi wajar saja kalau Peter lebih tahu bagaimana cara untuk menenangkan emosi Alice yang cenderung sering naik-turun. Dan tentu saja, tak aneh sama sekali kalau pemuda bermata hijau itu sangat memedulikan Alice. Sejujurnya, siapa yang takkan menyukai Alice?

Dari pertama kali mereka bertemu, Oliver sudah merasakan ketertarikan terhadap gadis itu--yang entah sejak kapan berubah menjadi perasaan suka. Alice tak pernah merisaukan opini orang lain tentang dirinya. Dia tak berusaha untuk menjadi pusat perhatian. Dia pemberani dan keras kepala. Di mata Oliver--dan mungkin juga di mata orang yang lain, gadis itu seolah bersinar dengan caranya sendiri. Mungkin itu sebabnya Alice memiliki banyak pengagum rahasia, meski dia tidak pernah berdandan seperti kebanyakan siswi di sekolah mereka. Itu fakta yang tak pernah diketahui oleh Alice.

Setelah Peter memarkir mobilnya di depan pagar rumah Alice, gadis itu keluar dari mobil dan memandang ke arah garasi yang terbuka lebar. Garasi yang kelihatannya mampu memuat sekitar lima-enam mobil itu kosong melompong. "Ayo, guys, kita harus bergerak cepat sebelum Mom dan Gramps pulang."

Dari ruang tamu, mereka menuju lift yang terletak di ujung koridor dan naik ke lantai tiga. Di lantai tersebut terdapat bioskop mini, ruang karaoke dengan dinding kedap suara, dan dua buah kamar yang letaknya saling berseberangan. Alice menunjuk kamar dengan pintu tertutup rapat di sisi kanan.

"Itu kamar yang kubicarakan. Yang satunya kamar Gramps."

Peter mendekati pintu dan mengamatinya. "Kau tak pernah bertanya pada ibumu kamar apa ini?"

Alice menggeleng. "Kukira itu hanya salah satu kamar tamu. Meskipun, kalau dipikir-pikir, memang ada yang aneh dengan kamar itu. Mom sendiri yang selalu membersihkannya sekali seminggu. Kenapa tidak menyuruh asisten rumah tangga saja?"

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang