Chapter 36

2.9K 580 16
                                    

Oliver bergidik ngeri, lalu mengalihkan pandangan dari pemandangan mengerikan di depan matanya sambil berusaha mengabaikan jeritan kesakitan yang terdengar dari balik pintu. Setelah mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, dia pun menghampiri Alice yang masih belum sadarkan diri.

"Bertahanlah, Alice ... aku akan menyelamatkanmu." Pemuda itu bergumam selagi dengan hati-hati memutar kepala gadis itu hingga bagian yang terluka dapat terlihat jelas olehnya. Dia berusaha mengumpulkan konsentrasi lalu mengangkat tangan kanannya dan mengamati telapak tangannya memancarkan sinar redup kemerahan yang berangsur-angsur berubah menjadi merah terang. Kemudian dengan lembut dia meletakkan tangannya di atas luka di kepala Alice.

Sementara menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan Alice, dia baru menyadari kalau tidak terdengar suara apa pun dari luar. Bukannya tenang, Oliver malah menjadi curiga. Dia menoleh ke arah pintu melalui bahunya. Kesunyian yang mengelilinginya terasa tidak nyaman. Rasanya mustahil Nate membiarkan mereka begitu saja, terutama setelah insiden yang terjadi barusan. Orang itu pasti merencanakan sesuatu. Aku harus mengeluarkan Alice dari sini secepatnya, Oliver bertekad.

Sinar merah yang merembes keluar di sekeliling telapak tangannya perlahan memudar. Oliver mengangkat tangannya dari kepala Alice. Lukanya telah sembuh, menyisakan darah kering yang mengotori rambut pirang gadis tersebut.

Dengan perlahan dia menggoyang bahu Alice. "Alice?"

Kelopak mata gadis itu mengerjap pelan, kemudian dia membuka mata, memandang lurus ke langit-langit selama beberapa saat sebelum beralih menatap Oliver. "Apa ... yang ... terjadi?" tanyanya lirih. Dia mengangkat tangan untuk menyentuh bekas luka di kepalanya sambil mengernyit. "Kepalaku ... sakit ...."

Oliver membantu gadis itu duduk. "Nate memukul kepalamu. Aku sudah menyembuhkan lukanya, tapi sebaiknya kau tetap pergi ke rumah sakit setelah keluar dari sini."

"Oh ... benar juga, samar-samar aku ingat. Kau tidak terluka, kan?" Gadis itu menatapnya dengan saksama, lalu setelah memastikan Oliver baik-baik saja, dia mengangguk. "Bagus."

"Lain kali," kata Oliver pelan, "jangan lakukan itu lagi."

"Menyelamatkanmu, maksudnya? Kenapa tidak?" Gadis itu menegakkan kepala. "Kau juga melakukannya untukku, ingat?"

"Itu ... berbeda."

Mata Alice menyipit memandangnya dengan sorot tidak mau mengalah terpancar kuat dari kedua matanya. Dengan sungguh-sungguh dia berkata, "Aku tidak melihat di mana bedanya."

Oliver nyaris lupa betapa keras kepalanya gadis itu. Menyadari dia tidak akan menang berdebat melawan Alice, dia beranjak bangkit dan mengulurkan sebelah tangan pada Alice. "Ayo, kita perlu melakukan sesuatu untuk keluar dari sini."

Alice meraih tangannya, bangkit, lantas memandang sekeliling dengan pandangan menilai. "Aku tak mengerti bagaimana masuk ke sini dapat membantu kita kabur."

"Kita perlu lebih banyak waktu. Dengan mengunci diri di dalam sini, mereka tidak akan dapat menyentuh kita--setidaknya untuk sementara."

"Lantas? Bagaimana cara kita keluar?"

Jari telunjuk Oliver menunjuk tangga besi yang menempel di dinding di dekat mereka. "Aku melihat tangga itu sewaktu kita masih di luar kamar."

Mata Alice mengikuti arah yang ditunjuk cowok itu, lalu kepalanya perlahan mendongak memandangi ujung tangga yang mengarah ke langit-langit, di mana terdapat sesuatu yang menyerupai pegangan jendela menempel di sana. "Tangga ... tunggu--" Matanya melebar dan bersinar oleh harapan saat memahami makna di balik perkataan Oliver. "Maksudmu, rumah ini memiliki loteng?"

Oliver mengiyakan. "Sebelum masuk, aku melihat jendela ventilasi di bawah atap. Jendela itu tidak terlihat dari dalam, padahal rumah ini hanya terdiri dari satu lantai. Ditambah lagi, di dalam kamarnya terdapat tangga. Kesimpulannya hanya satu : rumah ini didesain memiliki loteng."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang