Chapter 4

11.8K 1.5K 43
                                    

Aku baru saja selesai menyantap sarapan pagi dan hendak menyalakan televisi, ketika Peter menelepon dan memintaku menemuinya di Luxury Park, taman yang terletak di tengah-tengah kawasan Luxury Green. Ada yang mau dia bicarakan, katanya. Dengan malas-malasan, aku menyambar jaket abu-abu yang tersampir di sofa, mengikat rambutku, lalu berjalan lambat-lambat menuju pintu.

Ibuku mengangkat kepala dari majalah yang tengah dibacanya. "Alice, kau mau ke mana?"

"Jalan-jalan ke taman, Mom."

"Tunggu sebentar." Dia bangkit lalu berjalan menghampiriku yang sudah berdiri di dekat pintu. "Di mana mobilmu? Aku tak melihatnya di garasi."

Bagaimana bisa aku lupa memberitahunya tentang mobilku kemarin? Aku menelan ludah dengan gugup. "Kutinggal di sekolah, Mom, soalnya kaca depannya dicoret-coret oleh--"

"DICORET?" Nada suara ibuku meningkat satu oktaf disertai tatapan tajam ke arahku. "Jangan-jangan ... ulahnya Sofia lagi?" Sebelum aku dapat menyahut, ibuku sudah berderap menuju kamarnya. Kurasa beliau akan menelepon Mrs. Jarrett untuk meminta ganti rugi.

Aku melanjutkan rencanaku semula, dan tiba di Luxury Park kurang lebih sepuluh menit kemudian. Taman itu terlihat sepi pagi ini, padahal ini hari Minggu. Di salah satu bangku panjang, Peter sudah duduk menungguku. Dia tak mengenakan hoodie hitamnya yang biasa, melainkan jaket biru tua yang terlihat baru. Aku menghampirinya, kemudian duduk di sebelahnya.

"Jaket baru?" tanyaku.

Dia hanya menyeringai. "Baru kupakai. Ini sudah kubeli beberapa bulan yang lalu, kok."

"Stok hoodie hitam favoritmu pasti lagi dicuci semua," ucapku asal-asalan. "Kenapa kau memintaku ke sini? Harusnya kau ke rumahku saja, Mom pasti senang melihatmu."

"Karena aku ingin membicarakan sesuatu yang serius. Kau sudah dengar berita? Jenazah yang kemarin ditemukan itu--"

"Bukan Oliver, kan?" tebakku. "Aku tak perlu nonton televisi untuk tahu."

Peter membelalak heran. "Lalu kau tahu dari mana?"

Aku berdecak tak sabar. "Kau lupa? Dia kan bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Setidaknya, aku yakin luka bakar takkan sampai membunuhnya. Mungkin hanya membuatnya berada dalam kondisi kritis? Semacam itulah." Aku menjelaskan teoriku.

Mata hijau Peter berbinar senang. "Pemikiran yang cerdas," pujinya.

Aku memutar bola mata. Terkadang, reaksi--atau pujiannya--terlalu berlebihan. "Hanya karena aku mengoleksi nilai E dan F, bukan berarti aku bodoh. Jadi, apa korban adalah seseorang yang kita tahu?"

Peter mengangguk. "Toby Gibson. Dia tewas akibat luka bakar."

Wajah Toby seketika melintas di benakku. Cowok bertubuh kurus tinggi itu hanyalah remaja pendiam yang gemar bermain game. Setahuku, dia tak pernah mencari masalah dengan siapa pun, jadi aku tak dapat memikirkan siapa yang mungkin membencinya hingga membunuhnya dengan begitu sadis.

"Toby yang malang," gumamku prihatin.

"Dia adalah korban kesepuluh."

Aku menoleh menatap Peter. "Maksudmu?"

"Dengarkan ini." Dia menyalakan siaran berita di ponselnya, lalu mengeraskan volume.

"Seperti yang telah diketahui, sepanjang bulan lalu telah ditemukan sembilan korban pembunuhan dengan modus yang sama. Para korban dilaporkan menghilang sebelum akhirnya ditemukan tewas beberapa hari kemudian dengan luka bakar parah sebagai penyebab kematian mereka."

"Salah satu kenalanku bekerja sebagai detektif yang ikut menyelidiki kasus ini, dan dia memberitahuku kalau mereka semua dibakar hidup-hidup," lanjutnya, sambil menatapku gelisah. "Bukan dibakar setelah dibunuh. Dan kau tahu? Semua korban berusia antara empat belas hingga enam belas tahun. Ada yang tak beres di sini. Aku yakin."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang