Jari-jariku mengetuk dasbor, dengan tak sabar menunggu Kyle kembali dari membeli kopi. Apa yang membuatnya sangat lama? Aku berdecak jengkel, lantas melirik ponsel di tanganku yang tiba-tiba menyala dan menampilkan nama Peter di layar. Keraguan serta-merta menyerangku. Biasanya aku takkan berpikir dua kali untuk menjawab telepon darinya. Masalahnya, kalau dia bertanya aku lagi di mana, aku tak yakin bisa berbohong tanpa ketahuan. Sementara, untuk menjawab jujur sepertinya bukan ide bagus sebab--kelihatannya--baik Peter maupun Oliver tak terlalu menyukai Kyle. Aku menghela napas. Entah kenapa, pergi bersama Kyle tanpa bilang-bilang ke mereka terasa seperti berkhianat.
Kyle mendadak masuk ke mobil dan secara otomatis rantai pikiranku terhenti. Dia menyodorkan segelas kopi berukuran jumbo padaku disertai cengiran. "Sori, aku bertemu dengan beberapa penggemar. Mereka meminta tanda tangan dan berfoto bersama, makanya aku sedikit lama."
Aku mengambilnya sambil menggeleng-geleng. "Kenapa juga tadi kau tak membeli kopi di kafe saja?"
"Aku lupa," sahutnya dengan nada tak bersalah, lalu menurunkan pandangan ke ponsel yang masih menyala di tanganku. "Sepertinya ada yang meneleponmu. Kau tak mau menjawabnya?"
Aku buru-buru mematikan ponsel, berusaha mengabaikan sengatan rasa bersalah yang melandaku. "Bukan sesuatu yang penting. Ngomong-ngomong, aku tak mengerti kenapa kau harus menyembunyikan Alex di tempat sejauh ini." Sebelum keluar untuk membeli kopi, Kyle memasukkan alamat yang hendak kami datangi ke GPS mobilku, dan jaraknya sangat jauh. Bahkan boleh dibilang hampir mendekati perbatasan Andromeda City.
"Untuk alasan yang sama kenapa keluargamu merahasiakan keberadaannya." Jawaban itu sontak membuatku terdiam. "Selama dia bersamaku, aku harus memastikan dia tetap aman. Pertama, dia temanku. Kedua, kau akan membenciku jika terjadi sesuatu dengannya, dan tentu saja aku tak ingin itu terjadi."
"Oke, oke, aku mengerti. Jangan mengajakku bicara selagi aku menyetir." Aku mengingatkannya. "Aku perlu konsentrasi."
Dia memberiku senyum innocent-nya. Senyum yang pernah kulihat sekali, ketika dia menolongku dari kejaran Luca. "Kalau begitu, aku akan tidur. Bangunkan aku kalau kita sudah sampai."
Selama berkendara, jantungku terus berdebar kencang. Aku penasaran apa Alex benar-benar akan ada di tempat yang kami datangi. Dan jika iya, apa yang akan kukatakan padanya? Hei, apa kabar? Lama tak bertemu. Aku menggeleng sambil bergidik. Itu terlalu klise. Sejujurnya, kurasa aku takkan bisa berkata-kata ketika bertemu dia nanti. Dia memang saudaraku, tapi bagaimanapun kami sudah terpisah selama sembilan tahun, dan kenyataan tersebut cukup untuk membuat kami menjadi asing satu sama lain. Besar kemungkinan suasananya bakal canggung daripada akrab.
Mengikuti petunjuk dari GPS, aku mengemudikan mobil berbelok memasuki jalan berbatu-batu di sisi kanan jalan. Di sepanjang jalan tak terlihat satu pun bangunan--hanya ada tanah kosong yang ditumbuhi rumput setinggi pinggang. Aku mengerutkan kening, tapi memutuskan untuk terus menyetir hingga menemukan satu-satunya bangunan di ujung jalan. Menurut GPS, seharusnya ini tempatnya.
Kuguncang pelan bahu Kyle yang tengah tertidur pulas. "Bangun, kita sudah sampai--kurasa," kataku ragu. Tempat ini tak terlihat seperti apartemen.
Dia membuka mata dan mengucek-nguceknya sebentar, lalu menegakkan tubuh, melayangkan pandang ke rumah tiga lantai di depan kami. "Benar, kok, ini tempatnya."
Aku keluar dari mobil dan mengamati bangunan tersebut sambil memicingkan mata, silau akibat sinar matahari. Desainnya minimalis dengan cat putih. Tak ada balkon ataupun jendela sama sekali--dan menurutku itu cukup aneh. Di lantai dua, sisi dinding yang menghadap ke luar terbuat dari kaca, tapi kami tak dapat melihat ke dalam lantaran kacanya gelap. Aku menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit gugup sampai-sampai perutku mulas dan telapak tanganku berkeringat. Apakah akhirnya aku akan bisa bertemu dengan saudara kembarku?
"Ayo," ajak Kyle, menggandeng tanganku menuju pintu. Dia menekan bel lalu menunggu, masih menggenggam tanganku. Aku mengernyit, heran saat mendapati tangannya terasa dingin dan lembap. Seakan dia lebih tegang daripada aku.
Pintu bergeser membuka, memperlihatkan seorang wanita muda berperawakan langsing berdiri di baliknya. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum kaku pada Kyle sembari memberi kami tempat untuk melangkah masuk. Di dalam sejuk dan hidungku samar-samar mengendus aroma mawar.
"Anda tak mengabarkan kalau mau datang, Mr. Raven," ujar wanita itu. Nada bicaranya sangat sopan. "Apa Anda akan makan malam di sini?"
Mendengar kata 'makan malam' membuatku spontan mendelik ke arah Kyle. Dia tak bilang apa pun sebelumnya jika memang berniat begitu. Untungnya, Kyle menggeleng. Aku pun mengembuskan napas lega.
"Aku cuma kebetulan mampir, kok. Kau boleh pergi," sahut Kyle. Begitu wanita itu meninggalkan kami, dia berpaling padaku dan memasang seulas senyum mengejek di wajahnya. "Kau sudah cemas aku bakal mengiakan, ya kan?" Tebakan yang tepat. Aku penasaran bagaimana dia bisa tahu.
"Well ... masalahnya, tempat ini kan jauh, jadi kalau kita makan malam di sini artinya aku bisa telat sampai di rumah." Pulang larut malam bukan hal yang akan diterima dengan baik di keluargaku, apa pun alasannya.
"Dan tentu saja aku takkan membuatmu diomeli ibumu, tenang saja." Dia berdeham beberapa kali--seolah tiba-tiba ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya--kemudian melanjutkan, "Kau siap untuk menemui Alex sekarang? Kamarnya ada di lantai dua." Aku mengangguk dan kami pun menaiki tangga kayu hingga ke atas. Ada dua kamar yang saling berhadap-hadapan di sana. Kyle mendekati pintu yang tertutup rapat di sebelah kiri kami dan menunjuk pintu. "Masuklah. Dia ada di dalam."
Karena sudah sampai di sini, tak mungkin dia membohongiku, kan? Jantungku berdegup kencang dan tubuhku membeku di tempat lantaran merasa terlalu bersemangat--dan juga gugup. Sulit rasanya memercayai kalau Alex berada di balik pintu ini. Ini terasa nyata sekaligus bagaikan mimpi. Di satu sisi, aku sangat tak sabar untuk melihatnya. Tapi di sisi lain, aku takut kalau-kalau pertemuan kami takkan semenyenangkan yang kuharapkan.
"Kenapa kau diam saja? Buka pintunya," ucap Kyle. "Atau kau mau aku yang membukanya?"
"Tidak--tunggu, nanti dulu," sahutku, menghalangi tangannya yang sudah terulur untuk membuka pintu. "Aku perlu waktu." Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan-lahan untuk menenangkan jantungku yang masih berdebar dengan ritme lebih kencang dari ukuran normal. Kemudian aku mengangguk, Kyle membuka pintu, dan kami pun melangkah masuk.
Begitu berada di dalam, tatapanku langsung tertuju ke kursi roda yang menghadap ke dinding kaca--sepertinya inilah ruangan yang kulihat dari luar sewaktu datang tadi. Apakah orang yang duduk di sana adalah Alex? Aku tak yakin, sebab dia duduk membelakangi kami dan kepalanya yang terlihat di atas sandaran kursi ditutupi dengan topi rajut. Tapi Kyle tak mengatakan apa pun dan hanya berdiri mematung di dekat pintu selagi aku mendekati sosok tersebut, jadi harusnya itu memang dia, meski aku heran kenapa Alex harus menggunakan kursi roda. Jangan-jangan ... dia sedang sakit?
"Alex?" panggilku lirih. Suaraku terdengar nyaris seperti bisikan, berlawanan dengan yang kuinginkan. Jadi aku memanggilnya lagi, kali ini dengan lebih keras. "Alex?"
Tak ada respons. Aku melangkah ke sebelah kursi roda, menunduk untuk melihat wajah orang yang duduk di sana, dan tertegun. Alih-alih remaja cowok seumuranku, orang yang ada di kursi itu adalah seorang wanita dengan rambut panjang sebahu yang sudah memutih seluruhnya. Tidak terlihat alami, sebab wajahnya tidak terlihat setua seharusnya--bahkan hanya ada sedikit kerut di sekitar matanya. Yang lebih aneh adalah, sorot matanya tampak begitu kosong, seolah-olah hanya raganya yang berada di sini, tapi tidak dengan jiwanya. Kelihatannya dia bahkan tak menyadari kehadiranku sama sekali.
Merasa dongkol akibat telah dibohongi, aku pun menegakkan kepala dan melemparkan tatapan berapi-api ke Kyle. "Apa-apaan ini, Raven? Di mana Alex?"
Bukannya menjawab, Kyle malah mengunci pintu di belakangnya lalu berjalan ke arahku. "Aku bisa menjelaskannya, Alice."
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystery / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...