Chapter 45

2.8K 539 8
                                    

Sambil bersedekap, aku menatap mata Peter melalui kaca spion. "Kau yakin?"

Harry menoleh ke belakang, mengambil alih tugas menjawab pertanyaanku. "Semua tergantung dari usahamu, Sheridan. Kau hanya perlu mengawasinya paling lama sepuluh menit—itu waktu maksimal yang kami perlukan." Dengan kata lain, kalau kami gagal, itu semua salahku.

Aku berusaha menahan dorongan untuk membentaknya. Tenang, Alice, tenang. Aku menarik napas dalam-dalam dan bertanya, "Lantas, dari mana aku tahu kalau kalian sudah selesai?"

Cowok dengan rambut berwarna tembaga itu mengangsurkan wireless earphone padaku. "Pasang ini di telingamu, lalu tutupi dengan rambut." Dia menunjukkan earphone miliknya yang berwarna hitam. "Kami semua juga akan memakainya. Earphone itu sudah terhubung satu sama lain serta dilengkapi dengan mikrofon, jadi kita dapat saling berkomunikasi."

Sementara aku menyematkan perangkat tersebut di telingaku, Oliver yang duduk di sebelahku berkata pelan, "Jika kau tidak mau melakukannya, katakan saja, Alice. Bagaimanapun, Ms. Connely adalah teman ibumu, jadi aku mengerti kalau ini akan seperti mengkhianatinya."

Entahlah apa ini bisa disebut berkhianat, terutama setelah kemarin mendapati kalau dia adalah ketua tim peneliti Proyek Penghapus Ingatan. Jika ternyata ingatanku memang sengaja dihapus, bukankah berarti wanita tersebut ikut terlibat? Dan selama ini dia berlagak tidak tahu apa-apa di depanku, jadi aku benar-benar tak peduli jika ketahuan olehnya. Daripada dia, yang lebih membuatku ragu adalah reaksi ibuku kalau sampai dia tahu aku mencurigai temannya--terutama jika kecurigaanku tak terbukti.

"Aku akan melakukannya," tegasku, lalu—agar Oliver tak merasa bersalah kalau terjadi kesalahan dalam 'misi' kami hari ini--buru-buru menambahkan, "Ini bukan hanya untukmu. Aku juga punya kepentingan, jadi kau tak perlu merasa tak enak."

Harry menutup ritsleting ranselnya. "Bagus, kalau begitu kita bisa bergerak sekarang. Peter akan ikut bersamaku, sementara Oliver akan berjaga di depan pintu untuk mengabari kami kalau ada yang datang."

Peter menarik tanganku ketika kami sudah keluar dari mobilnya. "Aku ingin bicara sebentar, Alice," ujarnya, nyaris seperti berbisik. Aku mengerutkan kening tapi mengikutinya tanpa bertanya. Begitu kami sudah berada di luar jarak pendengaran yang lainnya, dia berkata, "Bagaimana jika kebenaran yang kau temukan tidak sesuai ekspektasimu? Kau yakin siap menghadapinya?"

Kata-katanya mengingatkanku akan peringatan dari Kyle. Kau yakin kalau kau siap untuk menghadapi kebenarannya ... serta penyebab kebenaran itu harus disembunyikan? Mata kehijauan milik Peter mengamatiku, menungguku menjawab. Ada sebersit kecemasan dalam sorot matanya, seolah dia takut aku bakal terluka. Aku tersenyum tipis lalu berucap, "Bagaimana aku mempersiapkan diri jika aku bahkan tak tahu apa yang akan kutemukan? Kita berjalan maju bukan lantaran siap menghadapi apa pun, tapi karena diam di tempat bukanlah pilihan."

"Terkadang diam di tempat lebih baik daripada terluka."

Aku memandangnya heran. Dia tidak bersikap seperti Peter. Kutinju pelan lengannya. "Ada apa denganmu, dude? Peter yang kukenal tak akan bermain aman seperti itu."

Dia tertawa kecil. "Peter seperti apa yang kau tahu?"

Aku berpikir sejenak. "Hm ... Peter Eckhart yang kutahu akan menyemangatiku untuk melakukan apa pun yang ingin kulakukan, sejauh itu hal yang positif."

"Dan menurutmu ini adalah sesuatu yang positif?"

"Well, yeah, tentu saja. Coba kau pikir, kalau memang benar ingatanku dihapus, berarti ada kemungkinan aku bisa mendapatkan kembali ingatanku. Kau masih ingat, kan, Harry bilang ingatan yang dihapus dapat dikembalikan." Aku menatapnya lekat-lekat dan memelankan suaraku. "Aku akan melakukan apa saja jika bisa memperoleh kembali ingatan tentang ayahku. Apa pun."

Peter mendesah sambil menggeleng. Dia pasti tahu, sekali aku membulatkan tekad, nyaris mustahil untuk membuatku berubah pikiran. Cowok bertubuh jangkung itu meletakkan dua tangan di pundakku. "Kalau begitu, ingat satu hal, jika kebenaran yang kau temukan terlampau berat untukmu, kau bisa selalu membaginya denganku."

Aku terdiam, tak mengerti kenapa hari ini dia bersikap sangat serius. Maksudku, awalnya dia terlihat sama bersemangatnya seperti kami, tapi tiba-tiba dia berubah seratus delapan puluh derajat, dan aku tak mengerti kenapa. Tapi sebelum aku sempat bertanya, dia menarik tangan dari pundakku dan memaksakan seulas senyum di wajahnya. "Ayo, mereka sudah menunggu kita."

Kami melangkah cepat-cepat memasuki Omnia Hospital—rumah sakit terbesar kedua di Andromeda City setelah Andromeda Central Hospital--dan menaiki lift menuju lantai sepuluh. Sesuai harapan kami, tidak terlihat satu pun resepsionis di balik meja yang disediakan di depan tiap ruang praktek dokter, mungkin karena kami datang saat jam makan siang. Walaupun demikian, kami tetap memiliki satu hambatan.

Aku menunjuk CCTV di depan ruang praktek Ms. Connely. "Bagaimana kalian akan menghindarinya?"

"Kalau itu kau, tak mungkin bisa," sahut Harry dengan nada mencemooh. Mengabaikan pelototanku, dia berjalan ke tempat yang merupakan titik buta CCTV tersebut, lalu melambai pada Peter. Setelah cowok berambut pirang itu berdiri di sebelahnya, dia memandang berkeliling lalu melanjutkan, "Pegang pundakku, Peter. Dan kau, Sheridan, perhatikan. Beginilah caranya kami masuk."

Dalam satu kedipan mata, mereka berdua lenyap dari pandangan. Mataku melebar keheranan. Ke mana mereka pergi? Kemudian suara serak milik Harry muncul di telingaku, sangat kencang dan jernih sampai-sampai aku harus mengecilkan volume earphone-ku.

"Ini pertama kalinya kau melihat seseorang melakukan teleport, kan?" katanya. Aku memutar bola mata. Begitu rupanya. Dasar tukang pamer. "Sekarang, lakukan tugasmu dan halangi dokter itu kembali ke ruangannya sebelum kami selesai di sini."

"Oke, Tuan Sombong," sahutku, sengaja meledeknya. Dia mengumpat, tapi aku hanya mentertawakannya sambil melambaikan tangan ke Oliver, lalu melangkah menuju lift dan menekan tombol untuk menuju ke atap rumah sakit. Di sana ada sebuah taman--tempat Ms. Connely suka menghabiskan waktu istirahat siangnya. Setidaknya, begitulah menurut ibuku.

Setibanya aku di atap, ternyata psikiater itu tidak sendirian. Dia berdiri membelakangiku bersama seorang wanita berambut cokelat sebahu. Mereka tengah mengobrol sambil menumpukan lengan di pagar setinggi dada yang mengelilingi area atap rumah sakit. Ini di luar perkiraan. Siapa yang sedang bersamanya? Aku buru-buru jongkok dan menyembunyikan diriku di balik salah satu pot tanaman berukuran besar. Tempatku bersembunyi cukup dekat tapi tidak mudah terlihat--sempurna untuk menguping.

"Sudah berapa tahun ... sembilan?" tanya Ms. Connely. "Itu waktu yang cukup lama."

"Kau benar." Mataku melebar ketika mendengar suara lawan bicaranya--itu suara Mom. Aku menggeser daun yang menggantung di depan wajahku agar dapat melihat dengan lebih jelas, tepat ketika wanita itu menoleh ke samping untuk tersenyum pada Ms. Connely. Benar, itu ibuku. "Tapi tidak cukup lama untuk menghapus kesedihanku, Louisa."

Ms. Connely meremas lengan ibuku. "Ini waktunya untuk move on, Dakota. Pikirkan Alice." Apa mereka lagi-lagi membicarakan soal kecelakaan ayahku? Kukira Mom sudah berhasil mengatasi kesedihannya akibat kepergian beliau, tapi kayaknya aku salah. Apa selama ini dia hanya berpura-pura kuat?

Ibuku menghela napas. "Aku seperti ini justru karena memikirkannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku setiap kali aku melihat Alice."

"Itu bukan salahmu, kau tahu itu." Tentu saja. Mana mungkin kecelakaan yang menimpa Dad terjadi akibat ibuku, ya kan?

"Bagaimana bisa itu bukan salahku?" tukas ibuku dengan suara tercekat, seakan tengah berusaha menahan tangis. Dia melanjutkan dengan penuh emosi, "Seharusnya aku tidak melakukannya!"

"Dengar, jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku. Jika aku tidak menawarimu untuk--"

"Tidak, Louisa. Itu keputusanku, jadi aku takkan menyalahkan orang lain. Aku hanya ... well, melihat bagaimana Alice tak mengingat apa pun tentang Nick sungguh-sungguh menyiksaku." Sekarang aku benar-benar penasaran. Apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh ibuku, dan kenapa dia harus tersiksa lantaran aku mengidap amnesia?

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang