"Tapi, kenapa orang itu mengejarmu?"
"Hah?" Aku tersentak kaget akibat pertanyaannya yang begitu mendadak. Kesan polos dan innocent yang semula muncul darinya langsung menguap tak bersisa ke udara. Dia hanyalah seorang cowok yang penuh rasa ingin tahu, titik. Aku mengangkat bahu dan berkata, "Entahlah, aku juga tidak tahu." Mana mungkin aku menjelaskan bahwa orang itu adalah anak buah seorang pembunuh berantai.
Kyle mengamati wajahku dengan kedua alis bertaut. Kelihatan jelas kalau dia tidak percaya dengan jawaban yang kuberikan. "Lalu," katanya lambat-lambat, "apa yang kau lakukan di sini?"
Aku menunduk sambil menggigit bibir lantaran kehilangan kata-kata, tapi kemudian aku menyadari bukan kewajibanku untuk menjawab semua pertanyaannya. Jadi aku menegakkan kepala dan berucap, "Aku yakin aku tidak perlu menjelaskannya padamu."
"Tapi barusan kau menanyakan hal yang sama padaku," protesnya.
"Yah, kalau kau bersedia menjawabnya, itu masalahmu. Aku tidak pernah bilang kau harus menjawabku, kan?"
Selama sejenak, cowok itu merenungkan ucapanku. Lalu dia menyeringai. "Harus kuakui, Alice, kau adalah gadis yang sangat menarik. Belum pernah aku bertemu dengan orang sepertimu. Baiklah, karena hari ini kebetulan kita bertemu, kau boleh menanyakan satu pertanyaan padaku."
Kejutan. Aku bersedekap sambil mengerutkan kening. Apa yang sebaiknya kutanyakan padanya? Kesempatan berharga ini harus digunakan sebaik-baiknya. Tetapi, begitu aku membuka mulut, dia memberiku isyarat untuk tidak bersuara. Mataku menatapnya penuh tanda tanya, tapi dia mengabaikanku dan malah beranjak bangkit. Sambil mengendap-endap, cowok berambut ikal itu berjalan menuju pintu pagar, menjulurkan leher ke luar, dan secepat kilat menarik lagi lehernya.
Sambil berlari ke arahku, dia berseru, "Kita harus pergi. Orang yang mengejarmu ... dia sedang menuju ke sini!"
Aku melompat berdiri dengan panik. Masalahnya, satu-satunya jalan keluar hanyalah pintu pagar--artinya kami bakal berpapasan dengan Luca. Namun, untuk tetap bertahan di sini bisa dibilang menjemput kematian. Ini sungguh-sungguh dilema.
"Bagaimana kalau kita bersembunyi di dalam rumah?" usul Kyle.
Teringat akan pengalamanku dan Oliver yang beberapa saat lalu terperangkap, aku menggeleng. Kalau Luca mengejar sampai ke dalam rumah, bisa gawat. Aku mengembuskan napas dengan frustrasi, lalu berkata cepat, "Kau harus pergi. Sekarang juga. Bagaimanapun, kau tidak ada hubungannya dengan semua ini."
Dia tampak tersinggung mendengarnya. "Aku bukan dibesarkan untuk menjadi seorang pengecut, Miss Sheridan."
Aku memutar bola mata. "Lantas? Kau mau ikut mati bersamaku?"
"Sebenarnya, aku punya ide." Matanya melirik ke suatu arah dan sorot matanya pun berubah gelisah. Aku mengikuti arah tatapannya. Melalui tembok yang hanya setinggi satu setengah meter, kami dapat melihat kepala Luca. Dia benar-benar menuju ke rumah ini--dengan mimik penuh amarah.
Kyle mengajakku ke halaman belakang. Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja dia berlutut dan meletakkan kedua telapak tangannya di tanah, tepat di sebelah tembok pagar yang berbatasan dengan jalanan. Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat heran. "Kau sedang apa?"
"Anggap saja aku tangga."
"Kau bercanda."
"Aku serius."
"Lalu, kau bagaimana?"
"Aku bukan targetnya, jadi dia takkan menyakitiku. Sekarang, cepat naik."
Merasa tidak punya pilihan lain, aku menurut. Sambil berpegangan pada tepi atas tembok, aku menginjak punggungnya dan menggunakannya sebagai batu pijakan untuk memanjat ke atas.
"Aku sudah berhasil naik."
Cowok itu berdiri sambil mengusap kedua tangan di jinsnya. Butiran tanah berjatuhan di dekat kakinya. "Aku akan segera menyusulmu."
"Apa pun yang terjadi, kau harus selamat."
"Kau mencemaskanku?"
Aku mengedikkan bahu. "Hanya tidak ingin merasa bersalah kalau kau sampai terluka gara-gara menolongku. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada kakekmu?"
Sorot matanya sekilas tampak kecewa--atau aku salah lihat? Namun aku tidak sempat memastikan, karena dia buru-buru membalikkan tubuh lalu mengibas tangan dengan gerakan mengusir. "Sudahlah, cepat pergi."
Entah mengapa aku jadi merasa tidak enak terhadapnya, seolah-olah aku mengorbankannya demi menyelamatkan diriku sendiri. Tapi kalau dipikir, tidak ada untungnya bagi Luca dengan mencelakai Kyle Raven, jadi mungkin keselamatannya cukup terjamin.
Aku melompat turun, mendarat dengan dua kaki, dan bergegas pergi dari situ. Ketika secara kebetulan melewati rumah Stan Jacoby, aku menyadari kalau motor Oliver masih terparkir di sana, dan kecemasan sontak melandaku. Bagaimana jika Peter terlambat dan terjadi sesuatu pada Oliver? Aku meraih ponsel untuk menelepon Peter, tapi seseorang memanggilku.
"Alice!"
Aku menurunkan ponsel lalu menoleh ke sumber suara, memandang pemilik suara itu dengan penuh kelegaan. Oliver berdiri beberapa meter jauhnya dariku. Rambut cokelatnya awut-awutan, ada sedikit lebam di wajahnya, dan darah menetes-netes dari ujung lengan jaketnya, tapi selain itu dia tampak baik-baik saja. Sembari berjalan menghampiriku dengan napas tersengal-sengal, mata birunya mengunci tatapanku.
Dipandangi seperti itu membuatku gugup, jadi aku berdeham dan menyeringai dengan canggung. "Di sana kau ternya--"
Tanpa berkata apa pun, dia meraihku ke dalam pelukannya. "Syukurlah ... syukurlah kau baik-baik saja. Aku mencarimu ke mana-mana dari tadi."
Dipeluk secara mendadak seperti itu membuat jantungku berdebar sangat kencang dan napasku sesak hingga aku tidak dapat berkata-kata ataupun bergerak sedikit pun. Pipiku juga terasa panas--bahkan mungkin sudah memerah seperti kepiting rebus. Untuk sejenak, keheningan mengisi ruang di antara kami, kemudian Oliver melepas pelukannya. Wajahnya kelihatan serba salah.
"Uh ... maaf, aku ... itu tadi ... maksudku ...," ujarnya gelagapan. Dia tidak menyelesaikan kalimatnya dan hanya dapat tertunduk dengan wajah memerah.
Aku juga tak tahu harus berkata apa, jadi aku berdeham sambil berpura-pura batuk untuk menyembunyikan kegugupanku. Di saat-saat seperti itu, sebuah mobil silver berhenti di dekat kami, memberi kami sesuatu untuk mengalihkan perhatian dari peristiwa barusan.
Peter keluar dari dalam mobil dan langsung mencecar kami dengan banyak pertanyaan. "Kalian baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana mereka sekarang?"
"Panjang ceritanya," sahutku, lalu terdiam lantaran tiba-tiba teringat akan suatu hal. Ada yang aneh. Seharusnya Raven sudah menyusulku. Apa yang membuatnya begitu lama? Aku memandang dua sahabatku bergantian. "Kyle Raven--kita harus mencarinya. Dia membantuku kabur dari Luca, dan bisa jadi dia sekarang dalam bahaya."
Aku memimpin jalan menuju rumah tempatku dan Kyle bersembunyi beberapa saat yang lalu. Luca tidak ada di sana, tapi kami menemukan ahli waris RavenCorp duduk bersandar di tembok pagar--nyaris kehilangan kesadaran. Rasa bersalah menerpaku sembari mengamati baju Kyle yang berlumurah darah.
Ini buruk. Kurasa Luca menusuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystery / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...