Aku mengerutkan kening saat Peter memarkir mobilnya di area parkir Laboratorium Omnia. Cowok itu melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh memandangiku yang masih duduk bersandar di kursi penumpang.
"Kita sudah sampai." Dia menyatakan fakta yang sudah kuketahui.
"Kenapa kau tak bilang dari tadi kalau kita mau ke sini?" protesku. Di luar jadwal latihanku yang padat, aku berusaha menghindari laboratorium itu. Bagiku, gedung sepuluh lantai itu terlihat begitu ... entahlah, aku hanya tak terlalu suka berada di situ. Mungkin bosan adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya—aku mengunjunginya sebanyak empat kali seminggu selama sembilan tahun terakhir.
"Kau sendiri yang bilang mau ikut."
"Kalau begitu, jelaskan padaku bagaimana pergi ke sini dapat membantumu untuk membuktikan teorimu."
Peter hanya tergelak. "Kau lihat saja nanti." Dia membuka pintu mobil dan melompat keluar.
Aku bergegas menyusulnya. "Tunggu!" Aku menarik lengan Peter, membuat langkahnya terhenti. "Apa rencanamu?"
"Kita akan mengunjungi perpustakaan," jawabnya santai, lalu melirik jam tangannya. "Ini masih jam makan siang, jadi kita punya waktu sekitar tiga puluh menit."
Aku terkesiap. "PERPUSTAKAAN? Peter, kau sudah gila? Kita tak bisa masuk ke sana!"
"Kenapa tidak? Karena kita bukan pegawai di situ? Jangan terlalu banyak berpikir. Kau putuskan saja, mau ikut atau tidak."
"Oh, baiklah, aku ikut!" seruku kesal. Kami berjalan melewati pintu kaca yang otomatis terbuka begitu kami mendekat, lalu berhenti sebentar di meja resepsionis untuk mendaftarkan nama kami di alat pemindai yang disediakan. "Bagaimana kita bisa masuk ke sana?" tanyaku pada Peter yang tengah mengambil kartu identitasnya dari dompet.
Dia menyodorkan kartu identitasnya ke alat pemindai, mengembalikannya ke dompet, kemudian menarik kartu lain. Kartu itu jauh lebih tipis daripada kartu identitas kami, berwarna gold, dan di permukaannya tertera nama ayahnya. "Dengan ini," ujarnya, menjawab pertanyaanku.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanyaku curiga.
"Aku meminjamnya dari ayahku."
Aku memutar bola mata. Benar juga, ayahnya kan penanam modal terbesar Laboratorium Omnia. Wajar saja kalau beliau memiliki akses masuk ke semua ruangan di laboratorium tersebut.
Kami berbelok ke kanan, menyusuri koridor berdinding kaca menuju perpustakaan yang terletak di ujung koridor. Karena saat itu jam makan siang, tak ada siapa pun di situ. Dalam beberapa menit, kami tiba di depan pintu baja yang tampak kokoh. Peter menempelkan kartu berwarna gold milik ayahnya ke slot yang disediakan, lalu pintu pun bergeser membuka.
Setelah kami masuk, dia menekan tombol bertuliskan 'CLOSE' di sebelah pintu, dan pintu pun bergeser menutup. Ruangan itu lebih luas dari apa yang tampak di luar. Semua dindingnya terbuat dari kaca tebal berwarna kehitaman yang memungkinkan orang di dalam dapat melihat ke luar, tapi tidak sebaliknya. Sebuah meja besar berbentuk lingkaran diletakkan di tengah ruangan, dengan sekitar sepuluh tablet di atasnya. Sebuah monitor touch screen berukuran paling sedikit lima puluh inci terpampang di seberang kami, sementara di sebelah kanan dan kiri kami terdapat beberapa rak-rak tinggi berisi puluhan buku atau map tebal.
Desainnya sangat berbeda dengan perpustakaan di Andromeda High. Di sekolah kami, semua koleksi buku sudah disimpan dalam bentuk digital, jadi kami dapat mengaksesnya melalui komputer atau smart gadget kami. Makanya, tidak ada rak buku di sana, melainkan puluhan komputer.
Di sebelahku, Peter merogoh kantong hoodie-nya, mengeluarkan sebuah flash drive, lalu berjalan menuju meja di tengah-tengah ruangan. Beberapa saat kemudian, kulihat jarinya sibuk menyapu permukaan layar salah satu tablet, kemudian dia memasukkan flash drive-nya ke slot di sisi kanan tablet tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]
Mystery / Thriller[Ambassador's Pick Oktober 2024] [Cerita ini akan tersedia gratis pada 6 Agustus 2021] *** Pembunuhan berantai di Andromeda City mengincar nyawa para Anak Spesial. Oliver harus menemukan kembali ingatannya yang hilang agar dapat menghentikan aksi se...