Chapter 17

4K 761 23
                                    

Ketika melihat pisau itu meluncur ke arahku, aku tahu aku harus melakukan sesuatu jika ingin tetap hidup. Sama halnya seperti aku tahu pasti bahwa aku akan mati jika pisau itu mengenaiku. Tapi ....

Sial!

Seolah tersihir, tubuhku bagaikan membeku. Aku tidak dapat bergerak maupun bernapas. Aku tak dapat mengalihkan pandangan dari pisau tersebut. Waktu seakan berhenti di sekelilingku.

Dalam waktu sepersekian detik itu, aku benar-benar mengira aku akan mati, meski tak pernah sekali pun tebersit di benakku bahwa umurku begitu pendek. Ini tak adil. Aku belum melakukan semua hal yang kuinginkan. Aku bahkan tak sempat melihat Oliver untuk terakhir kalinya.

Samar-samar terdengar suara seseorang memanggil namaku--aku tak yakin. Kemudian seseorang melesat ke depanku dan memelukku erat. Semua terjadi begitu cepat hingga aku tak sempat memikirkan apa yang dia lakukan di saat-saat genting seperti ini. Namun, dengan cepat aku memahami apa yang tengah berlangsung.

Orang itu sedang melindungiku.

Siapa pun itu, dia baru saja menyelamatkan nyawaku, dengan mengorbankan hidupnya sendiri.

Mendadak, waktu kembali berputar. Suara riuh rendah dan teriakan-teriakan penuh ketakutan terdengar di seantero ruangan. Mom menjerit histeris, Gramps melompat dari kursinya untuk memeriksa keadaanku, dan para tamu di sekitar kami meninggalkan meja mereka dan berlarian menuju pintu, saling mendorong satu sama lain. Beberapa orang terjatuh dan terinjak-injak, tapi tak ada yang memedulikan mereka. Semua mencemaskan keselamatan mereka masing-masing.

"Alice! Kau tak apa-apa?" tanya kakekku.

Aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku--kurasa aku masih terlalu kaget untuk bersuara, jadi aku hanya mengangguk, sambil bertanya-tanya apakah mungkin semua ini hanyalah mimpi, sebab rasanya sungguh tidak nyata. Lalu cowok yang memelukku merintih kesakitan, membuatku tersadar bahwa ini realita, dan penyelamatku masih hidup.

Dengan takut-takut, kutepuk pelan pundaknya, tapi dinginnya pisau yang menancap di situ bersentuhan dengan jemariku. Sontak, kutarik kembali tanganku. "H-hei, kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?" tanyaku panik, dengan susah payah akhirnya dapat berbicara. Tak ada jawaban selain erangan lemah. Aku berpaling pada kakekku. "Dia perlu pertolongan, Gramps!"

"Aku sedang menghubungi ambulans," jawab kakekku, sebelah tangannya menempelkan ponsel ke telinganya. "Ah, halo? Di sini ada seorang pemuda yang terluka. Alamatnya di ...."

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan dengannya sambil menunggu?" gumamku cemas, lantas melirik ibuku. Keningku seketika berkerut ketika melihat keadaannya.

Aku selalu berpendapat Mom adalah orang yang berkepala dingin dan selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi suatu masalah, sama seperti Gramps. Tapi kini ibuku tak terlihat seperti biasanya. Dia hanya dapat duduk di kursinya dengan wajah sepucat kertas, tangannya tergeletak di pangkuannya, meremas saputangan dengan jari-jemari gemetar. Tidak, tak hanya jarinya yang gemetaran, sekujur tubuhnya juga.

Sejujurnya, ini pertama kalinya aku melihat ibuku dalam keadaan seperti itu, dan aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya. "Tenanglah, Mom, aku baik-baik saja," ujarku, mencoba menenangkannya. "Sebaiknya Gramps membawa Mom keluar. Pelakunya mungkin masih berkeliaran di sini."

"Dan meninggalkanmu?!" teriak ibuku. Matanya melebar menatapku tak percaya, seolah aku baru saja mengatakan hal yang tak masuk akal.

"Entahlah, Mom, kurasa aku tak dapat bergerak untuk sementara," sahutku pelan. Aku bahkan tak berani meluruskan punggungku, khawatir apa pun tindakan yang kulakukan dapat berakibat buruk terhadap penyelamatku. Jadi lebih baik aku tetap diam, menunggu petugas paramedis tiba.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang