Chapter 41

2.8K 548 18
                                    

Peter menggeleng. "Kita memang tidak bisa. Tapi, ada seseorang yang bisa."

Sebelah alis Oliver terangkat. "Maksudnya, kau ingin melibatkan orang lain lagi?" Dia tampak keberatan.

"Kita tidak punya pilihan. Untuk bergerak maju, terkadang kita harus menerima kenyataan kalau kita membutuhkan bantuan orang lain." Peter berhenti sejenak untuk menghabiskan jus jeruknya. "Jadi, siapa yang setuju denganku?"

Sementara Oliver masih tampak bimbang, tanpa ragu aku mengangkat tangan. Karena sudah telanjur menyelidiki kasus ini, lebih baik kami berusaha mendapat bantuan sebanyak mungkin agar penyelidikan ini cepat tuntas.

"Dua lawan satu. Aku akan segera menghubunginya."

Aku bersandar di kursi. "Siapa pun orang itu, kau yakin dia bersedia membantu kita? Kau tahu sendiri betapa berbahayanya masalah ini."

"Dia juga Anak Spesial, jadi dia pasti mau."

"Siapa dia?" tanya Oliver dengan suara yang memancarkan keingintahuan.

Peter hanya tersenyum misterius. Sepertinya dia bertekad untuk membuat identitas orang itu menjadi kejutan, karena alih-alih menjawab dia malah berkata, "Nanti juga kalian tahu."

Kalau Peter sudah berkata seperti itu, tak ada gunanya berusaha mengorek info darinya, jadi aku mengubah topik pembicaraan. "Omong-omong, apa Dr. Rhett sudah siuman?" Dokter tersebut memang dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kyle, jadi selagi aku menjenguk Kyle, mereka pergi menjenguknya.

Ekspresi dua cowok itu langsung berubah murung. Peter menjawab dengan lirih, "Kondisinya masih belum menunjukkan peningkatan. Dokter yang merawatnya berkata mungkin kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk."

Aku melirik Oliver. Di wajahnya terlukis jelas penyesalan dan rasa bersalah. Karena tak tahu apa yang harus kukatakan untuk menghiburnya, aku hanya menepuk pelan pundaknya. Dia menoleh dan tersenyum tipis padaku.

Peter berdiri. Matanya tertuju padaku. "Bagaimana kalau kita menjenguk Kyle lalu pulang? Ini sudah hampir jam delapan. Ibu dan kakekmu pasti sudah menunggumu di rumah. Mereka dijadwalkan tiba tadi siang, kan?" Kadang aku bertanya-tanya bagaimana bisa Peter mengingat jadwal semua orang. Bahkan aku sendiri lupa kalau ibu dan kakekku akan pulang hari ini usai pergi mengunjungi salah satu cabang Sheridan Group di luar negeri sejak kemarin.

Dalam perjalanan menuju kamar tempat Kyle dirawat, tepat sebelum berbelok memasuki koridor, mataku menangkap sosok yang familier keluar dari salah satu kamar dan berhenti di depan lift. Aku berhenti untuk memastikan. Tidak salah lagi, itu ibunya Sofia. Kenapa wanita itu ada di sini? Mungkinkah ...?

"Kalian duluan saja, guys, aku mau ke toilet," kataku pada dua temanku.

Aku berderap menghampiri kamar tempat Mrs. Jarrett keluar barusan, kemudian berhenti di depan pintu, termangu memandangi layar LED di depanku. Dugaanku benar. Di sana terpampang nama 'Sofia Jarrett'. Aku mendesah kesal. Dari semua rumah sakit, kenapa dia harus dirawat di sini?

Ingat, Alice, kau mematahkan tulang rusuknya, bisik hati nuraniku. Kau berutang permintaan maaf padanya. Harus kuakui, meminta maaf mungkin memang sesuatu yang seharusnya kulakukan. Tapi aku kan tak sengaja. Aku tak pernah bermaksud untuk mematahkan tulang siapa pun. Apa yang Sofia dapatkan adalah akibat dari ulahnya sendiri. Dia memintanya--well, secara tidak langsung.

Bagaimana dia bersikap tidak dapat membenarkan perbuatanmu terhadapnya. Aku menggigit bibir sementara kata-kata Oliver terngiang di benakku. Aku bisa saja memikirkan sejuta alasan untuk membenarkan tindakanku, tapi aku tak dapat membohongi diriku sendiri. Faktanya, walaupun Sofia pantas mendapatkannya, tapi tetap saja, apa yang kulakukan itu salah, dan jauh di dasar hatiku aku tahu akan hal itu.

Aku menarik napas dalam-dalam. Pundakku terasa berat seperti ditimpa berton-ton batu saat membayangkan bagaimana reaksi cewek itu jika melihatku, tapi pada akhirnya aku membulatkan tekad dan menekan tombol di samping pintu.

Begitu pintu bergeser, aku melangkah masuk. Kamar itu didominasi warna merah muda dan berukuran sedikit lebih luas dari kamar Kyle. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur. Di sanalah cewek itu berbaring dengan mata terpejam.

Penampilannya tidak seperti Sofia. Tidak ada makeup dan dress, melainkan seragam pasien berwarna putih dengan motif bunga-bunga. Wajahnya pucat dan secara keseluruhan dia tampak lemah tak berdaya. Melihatnya dalam kondisi seperti itu mau tak mau menimbulkan rasa bersalahku. Mungkin apa yang kulakukan memang sudah melewati batas.

Ketika aku mendekatinya, cewek itu terbangun lantas membuka mata. Begitu menyadari kehadiranku di ruangan itu, matanya melebar. Mulanya, kukira dia bakal berteriak marah dan memaki-makiku atau sebagainya. Maksudku, itulah yang akan dilakukan oleh seorang Sofia. Tapi setelah kuperhatikan lebih saksama, ekspresinya bukan memancarkan kemarahan.

Dia takut--padaku.

Ini pertama kalinya aku melihat ekspresi semacam itu di wajahnya. Tak pernah tebersit sekali pun dalam benakku bahwa Sofia Jarrett akan ngeri melihatku. Sama halnya seperti aku tak pernah mengira kalau sesuatu yang kulakukan tanpa pikir panjang dapat mengakibatkan dampak yang serius terhadap seseorang, baik mental maupun fisik.

Sofia berusaha bergerak, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Jadi dia hanya mengerut di tempatnya dengan ekspresi penuh kengerian terlukis di wajahnya yang tirus.

Aku menelan ludah dan maju satu langkah. "Hei, aku--"

"Jangan mendekat!" Dia berteriak dengan suara gemetar. "Pergi!"

Sial. Ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kubayangkan. Aku mencoba lagi, "Dengar, aku tidak berniat menyakitimu ...."

"PERGI!" jeritnya histeris dengan suara melengking yang memekakkan telinga. Tangan kanannya terulur ke samping, berusaha menggapai tombol merah di atas meja. "Aku akan memanggil petugas keamanan!"

"Tenanglah, aku cuma ingin minta maaf." Dia tidak terlihat mendengarkan. Matanya masih terus menatapku dengan penuh ketakutan, bahkan kini dia mulai terisak pelan. Ini tidak akan berhasil. Akhirnya aku menghela napas lalu berkata, "Baiklah, baiklah, aku pergi."

Sambil berjalan di sepanjang koridor, otakku terus memainkan kejadian barusan. Bagaimana cara Sofia memandangku, ekspresi wajahnya yang diliputi ketakutan, suaranya yang bergetar .... Aku tak dapat mengenyahkan semua itu dari benakku. Tatapannya persis seperti cara Hayley Adams menatapku. Seperti melihat monster.

Kakiku berhenti melangkah. Aku bersandar di dinding lalu mengamati kedua tanganku dengan tatapan kosong. Tangan yang secara ajaib mampu menggerakkan benda-benda tanpa menyentuhnya. Apa kami--para Anak Spesial--memang monster? Aku memejamkan mata, mencoba untuk menemukan jawabannya. Tapi yang muncul di benakku malah kata-kata yang dulu pernah diucapkan Oliver. Menurutku, masalahnya terletak pada bagaimana kita menggunakan kemampuan yang kita miliki, untuk kebaikan atau sebaliknya. Jika kita menggunakan kemampuan kita untuk melakukan hal yang buruk, apa bedanya kita dengan pembunuh berantai Andromeda City?

Dia benar. Hanya karena kau terlahir dengan sesuatu yang berbeda dari orang lain bukan berarti kau adalah monster. Bukan kekuatanku yang salah, melainkan caraku menggunakannya. Aku menarik napas dalam-dalam lalu membuka mata. Dari dulu aku selalu memandang kekuatan kami sebagai sesuatu yang istimewa, tapi barangkali aku salah. Kekuatan yang kami miliki bukan sesuatu yang spesial, melainkan ujian.

Masalahnya, ujian tersebut hanya memiliki satu pertanyaan, yaitu bagaimana kau akan menggunakan kekuatanmu. Dan jawaban yang kau berikan itulah yang akan menentukan apakah kau adalah monster atau bukan.

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang