Chapter 48

2.4K 526 22
                                    

Oliver menyusul Peter yang sedang meneliti pintu kamar. "Kita harus mencari kuncinya." Peter memandang berkeliling. "Kalau di film-film, biasanya orang akan menyembunyikan kunci seperti itu di bawah keset atau di ...." Pemuda bertubuh jangkung itu menghampiri pot berisi kaktus di dekat mereka. Dia berusaha mengangkat pot berukuran besar itu tapi tampak kesulitan, jadi Oliver bergegas membantunya. Begitu mereka berhasil memindahkan pot itu, mereka menemukan sebuah kunci di bawahnya.

Oliver mencoba memasukkannya ke lubang kunci yang tersedia, kemudian memutarnya. Terdengar bunyi 'klik', kemudian dia mendorong pintu hingga terbuka. Di baliknya, terdapat sebuah kamar yang dindingnya dicat biru muda. Oliver bergeser untuk memberi tempat bagi Alice, yang langsung memasuki kamar dengan langkah-langkah lebar, disusul oleh Peter tepat di belakangnya.

Oliver mengikuti mereka masuk dan melayangkan pandang ke seantero kamar yang tak seberapa luas itu. Di sana ada sebuah tempat tidur--yang dari ukurannya diperuntukkan bagi anak kecil, sebuah kotak putih di sudut ruangan, rak kayu yang dipenuhi oleh sejumlah piala, lemari pakaian, satu set meja belajar, dan kamar mandi di sebelah kiri.

Oliver berjalan ke rak kayu dan menyapukan jari ke rak. Tidak ada debu sama sekali. Semua piala juga tampak mengilat--bukti kalau kamar tersebut memang rutin dibersihkan. Dengan tertarik, pemuda berambut cokelat itu mengamati jajaran piala yang terpajang rapi. Piala-piala itu hasil dari berbagai macam lomba; lomba mewarnai, menghias kue, menghitung cepat, spelling bee, dan beberapa lomba lainnya. Berdasarkan nama yang tertera di semua piala itu, jelas kalau kamar itu dulunya ditempati oleh seorang anak laki-laki bernama Alexander Moore.

"Ini memang kamar saudaraku," sahut Alice yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelah Oliver. Matanya berkeliaran memandangi piala-piala di rak dengan sorot kagum. "Astaga, dia pasti anak pintar. Tapi ... kenapa nama belakang kami berbeda?"

"Alice, lihat ini," panggil Peter. Dia telah membongkar kotak besar di sudut ruangan dan kini mengacungkan sebuah tablet sepuluh inci. Setelah Alice dan Oliver mendekat, dia menyalakan tablet itu lalu memeriksa isinya. Ternyata, di dalamnya terdapat sejumlah foto dan video yang mengabadikan momen dua orang anak sejak mereka masih bayi hingga berusia enam atau tujuh tahun.

"Ini ...." Mata Alice langsung berkaca-kaca sewaktu memandangi salah satu foto. Dalam foto itu ada empat orang; dua orang dewasa dengan dua anak bayi. Oliver mengenali wanita dalam foto sebagai ibu Alice--yang tampak jauh lebih muda. Pria tinggi berambut pirang yang tersenyum lebar di sebelahnya pasti Nick Sheridan, dan itu artinya dua anak bayi yang masing-masing mereka gendong adalah Alice beserta saudara kembarnya.

Jari Alice dengan cepat menggeser layar terus-menerus. Gambar di layar silih berganti memperlihatkan dua anak laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas. Makan, bermain bola, belajar. Salah satu video merekam momen ketika Alice kecil sedang belajar berjalan. Ayahnya menunggu beberapa meter di depannya sementara Alice tertatih-tatih mendekat. Ketika gadis kecil itu hampir tiba di tempat tujuannya, Nick Sheridan mengulurkan tangan untuk memegangi kedua tangan Alice, tapi gadis itu malah terjatuh ke dalam pelukan sang ayah, yang langsung memeluknya erat.

"Dad ... ini Dad," bisik Alice dengan suara tercekat. Matanya tampak berkaca-kaca sementara jarinya menyusuri wajah ayahnya di layar dengan penuh kerinduan. "Ayahku kelihatan sangat keren, ya kan?"

Video lain merekam pesta ulang tahun Alice dan saudaranya. Acaranya hanya dirayakan di rumah dengan kue tart dan hiasan balon warna-warni memenuhi dinding. Alice kecil dan saudaranya meniup lilin berbentuk angka tujuh di atas kue berbarengan, lalu ibu Alice memotong kue dan memberi mereka masing-masing sepotong. Oliver merasa heran melihat betapa sederhananya pesta itu--bahkan tidak terlihat satu pun tamu undangan--padahal biasanya keluarga dengan status ekonomi seperti keluarga Sheridan akan mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran.

"Kami tidak mirip sama sekali," gumam Alice, matanya menatap lurus ke layar. Sementara Alice berambut pirang dengan mata cokelat, saudaranya memiliki rambut cokelat muda dengan mata sebiru laut.

"Tidak akan ada yang menyangka kalau kalian saudara," timpal Peter.

"Menemukannya akan sulit," keluh Alice, menghela napas berat. "Wajahnya pasti sudah berubah, kan?"

Itu benar, pikir Oliver. Foto yang dimiliki keluarga Sheridan hanyalah foto Alex saat berusia tujuh tahun. Wajahnya kini pasti sudah tak lagi sama, apalagi kalau dia mengganti warna rambut atau menggunakan kontak lens. Tak heran Mrs. Sheridan belum berhasil menemukannya bahkan setelah sembilan tahun berlalu.

"Kau tak ingin tahu bagaimana ceritanya dia bisa menghilang?" tanya Oliver.

"Kepingin sih, tapi itu tergantung apa ibuku mau menceritakannya. Aku juga penasaran apa Gramps tahu tentang semua ini. Jika benar, mereka berdua benar-benar aktor yang hebat." Suara gadis itu terdengar geram.

"Lalu, mau kau apakan semua ini?" Peter menunjuk barang-barang dalam kotak. Selain tablet tadi, masih ada beberapa mainan dan baju anak-anak, serta robot berbentuk anak anjing.

"Lebih baik dibiarkan saja di situ. Sejujurnya, aku tak yakin apa reaksi Mom kalau tahu aku masuk ke sini. Aku tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah keruh."

"Benar." Oliver mengiakan. "Sebaiknya kita juga mengembalikan kuncinya ke tempat semula."

Peter tampak tidak mendengarkan. Dia masih berjongkok di depan kotak, tatapannya tertuju ke dalam kotak putih itu, nyaris seperti melamun. Kemudian dia mengulurkan tangan dan meraih robot anjing dari dalam kotak, lalu mengamat-amatinya. Jenisnya mirip corgi, dan bulu cokelat-putih artifisialnya terlihat lembut seperti bulu asli. Mereka pasti akan mengiranya anjing sungguhan kalau bukan karena label yang terpasang di ekor robot itu. Label itu berbunyi : Jangan dicuci dengan air--RavenCorp Technology.

"Itu pasti peliharaan Alex," komentar Alice. Sebagian besar masyarakat Andromeda City--umumnya anak-anak--memang lebih senang memelihara anjing atau kucing dalam bentuk robot. "Apa kira-kira masih bisa dinyalakan, ya? Pasti sudah sembilan tahun sejak baterainya terakhir diisi ulang."

Peter tak merespons. Dia sibuk memeriksa robot tersebut; membolak-baliknya seakan tengah mencari di mana tempat untuk mengisi ulang baterainya. Beberapa menit kemudian, kelihatannya dia menyerah dan sudah hendak mengembalikannya ke kotak ketika Oliver melihat mata robot anjing itu yang tadinya menutup tiba-tiba terbuka.

"Dia menyala," serunya, sedikit terkejut. Robot anjing itu menyalak keras dan menjilat-jilat wajah Peter dengan riang. Persis seperti anak anjing. Oliver menatap robot itu terheran-heran. Bagaimana mungkin robot yang sudah sembilan tahun tidak dinyalakan masih bisa menyala dengan sendirinya tanpa diisi ulang?

Peter tertawa geli. "Hei, tenang, sobat." Dia meletakkan robot anjing itu, yang langsung berlari-lari mengitari kamar. "Dia pasti sudah lama sekali tidak berlari seperti itu." Peter menyusul robot itu sambil menggeleng-geleng lalu menggendongnya dengan dua tangan, seperti menggendong anak bayi. "Maaf, tapi aku harus mematikanmu lagi," ujarnya, menekan sebuah tombol di punggung robot anjing tersebut, kemudian memasukkannya ke kotak sambil menyunggingkan senyum simpul.

Oliver melirik tablet di tangan Alice yang masih mengulang rekaman pesta ulang tahun Alice dan saudaranya. Mrs. Sheridan tengah mengangsurkan piring berisi potongan kue pada anak yang lain—seorang bocah lelaki dengan rambut kecokelatan yang tengah memalingkan wajah dari kamera. Oliver mengerutkan kening, tak menyangka ada tamu yang diundang di pesta tersebut. Mereka pasti tak melihatnya tadi. Oliver menatap layar lekat-lekat. Siapa anak itu? Kemudian anak itu menoleh ke kamera hingga wajahnya tampak jelas.

Jantung Oliver nyaris berhenti berdetak ketika melihatnya. Matanya melebar dan selama beberapa detik dia tak dapat mengalihkan pandangan dari layar. Lalu, setelah kesadarannya kembali, dengan tangan gemetar dia menarik lengan Alice.

"Anak ini--siapa orang tuanya?" tanyanya, sedikit terbata-bata. Alice mengarahkan tatapan ke layar, lalu mengangkat bahu dengan raut wajah aku-bahkan-tak-tahu-siapa-dia. Oliver lantas mencengkeram lengan gadis itu sambil berbicara tanpa bernapas, "Ibumu ... dia pasti tahu. Bisa tolong tanyakan padanya, please? Ini penting. Sangat penting."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang