Jilid 88

364 10 0
                                    

Hudapi meIenggong katanya kemudian: "Hal ini tidak pernah kupikirkan, Tapi perintah Khan tidak boleh dibangkang, akupun harus patuh dan tunduk kepada perintah guruku. Tapi sekarang kalian sudah jadi sahabatku, kelak kalau aku berhadapan dengan kau dimedan laga, aku tidak akan memusuhimu."

Usia Hudapi masih muda, sulit dia memikirkan kebenaran dan keadilan yang serba rumit dan ber-liku2 ini. Bahwa dia sudah bisa membedakan perbedaan rakyat dan serdadu, Bulim-thian-kiau sudah cukup senang, katanya:

"Terima kasih akan kebaikanmu, akupun tidak akan memusuhimu."

Berkata Hudapi serius: "Kalian adalah orang2 baik. Sekembaliku menemui suhu, aku akan mohonkan ampun bagi kalian "

Bu-lim-thian-kiau melengaki katanya tertawa geli: "saudara cilik, menyenangkan sekali kau ini, mau mintakan ampun apa bagi kami?"

Dengan nada kanak2 Hudapi berkata menarik muka: "Apa yang kau tertawakan? Kepandaian kalian lebih tinggi dari aku ini aku tahu- Tapi jika kalian kebentur guruku kalian pasti bukan tandingannya. suhuku mempunyai satu kebiasaan, lawan yang bukan tandingannya hanya bisa memilih dua jalan. menjadi budaknya seumur hidup, atau dibunuh olehnya. Terang kalian tidak mau menjadi budaknya, oleh karena itu jika kalian bertemu guruku, jiwa kalian pasti terancam bahaya.

Tapi guruku amat sayang kepadaku kalau aku minta ampun, kemungkinan dia sudi melanggar kebiasaannya."

Bu-lim-thian-kiau tertawa, katanya: "O, kiranya begitu, terima kasih akan kebaikanmu, Tapi selama hidupku paling tidak suka mohon ampun kepada orang lain, kalau ilmu silat gurumu benar setinggi apa yang kau katakan, aku malah ingin cari kesempatan untuk minta pengajaran kepadanya"

Hudapi kurang senang katanya: "Kau tidak percaya terserahlah, Guruku akan datang ke Tionggoan, suatu ketika kau pasti punya kesempatan bertemu dengan dia." habis bicara dia putar badan terus pergi,

Bu-lim-thian-kiau membunnya, katanya "Adik cilik, jangan kau marah. Walau aku tidak terima bantuanmu, aku tetap berterima kasih kepadamu. Kemana kau mau pergi, apakah mau pulang ke Mongol?" kiranya tujuan Hudapi kebetulan searah dengan mereka.

"Aku mau ke Ki-lian-san, kita berpisah saja disini." sahut Hudapi,

" Kebetulan kami juga mau ke Ki-lian-san," ujar Bu-limthian-kiau tertawa,

"tapi untuk apa kau pergi ke Ki-lian-san malah?"

"Ji-suhengku menyuruh aku menunggu dia dikaki Ki-liansan, karena menerima undangannya ini, maka aku menyerempet bahaya sampai hampir ditangkap oleh para serdadu itu."

"Bagus, kalau begitu kita masih bisa kumpul beberapa hari lagi marilah kita jalan bersama " ujar Bu-lim-thian-kiau.

Bu su-tun, Tam Ih-tiong dan Hong- lay-mo-li sama suka kepada Hudapi, orang dipandangnya sebagai sahabat kecil yang karib, sepanjang jalan mereka ngobrol tentang dunia persilatan dengan berbagai macam tokohnya yang aneka ragam, tak lupa ditanyakan pula keadaan dan pemandangan digurun pasir tidak sedikit pengetahuan yang menambah perbendaharaan kedua pihak.

Ditengah jalan tiba2 Hudapi menyinggung peristiwa kematian Huhansit Toa-suhengnya dikota raja Kim. katanya: " Guruku amat murka, dia bilang hendak menuntut balas bagi kematian TOa-suheng. Tapi aku tak berani tanya dia, entah siapakah yang membunuh Toa-suhengku?"

"Apa kau amat baik dengan Toa-suhengmu?" tanya Bu sutun.

" Hanya pernah melihatnya beberapa kali. Bicara terus terang, aku tidak menyukainya, dia terlalu gila pangkat dan gila hormat, tapi dia terbunuh oleh musuh, sudah tentu aku ikut berduka."

"Toa-suhengmu bunuh diri bukan dibunuh orang" ujar Bulim-thian-kiau, "aku tidak akan kelabui kau, kematian suhengmu sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan aku" lalu dia ceritakan pukul Lui-tai di kota raja Kim secara jelas dan terus terang kepada Hudapi.

Pendekar Latah (Tiao Deng Kan Jian Lu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang