Ch 20. Memendam Dendam

14 1 0
                                    

Mengapa bisa jadi begini?

Semuanya baik-baik saja sebelum ini.

Aku hanya orang pendiam yang tidak punya teman di sekolah.

Dirumahpun bagaikan neraka bagiku.

Ayahku selalu memukuliku ketika aku melakukan sesuatu yang salah atau saat dia marah dengan sesuatu.

Ibuku sudah meninggal sejak aku SD kelas satu jadi aku tidak terlalu ingat tentang dia.

Aku sangat ingin punya teman yang bisa ku ajak bicara dan bercanda seperti orang pada umumnya tapi aku tidak bisa.

Setiap kali aku ingin mengatakan sesuatu kepada seseorang, pasti pikiranku langsung kosong dan aku akan gugup saat mengatakannya, ditambah aku memakai kaca mata tebal sehingga orang-orang menganggapku sebagai kutu buku atau orang aneh.

Aku memakai kaca mata bukan karena aku ingin, sejak kecil mataku sudah harus memakai kaca mata supaya bisa melihat dengan jelas.

Melihat orang lain bercanda dan melakukan hal lain sesuka hati mereka membuatku sangat iri.

Aku tidak tau apa yang harus kulakukan, setiap hari aku dengan sekuat tenagaku belajar.

Karena ketika nilaiku turun sedikit saja maka ayahku akan menggunakan itu sebagai alasan supaya bisa memukuliku lagi.

Aku takut itu terjadi lagi.

Karena itulah melihat orang lain bahagia aku merasa iri.

Mengapa mereka bahagia sedangkan aku menderita?

Apa aku pernah berbuat salah? tidak, aku yakin kalau aku tidak pernah berbuat salah.

Tapi mengapa aku tetap di hukum? Sebenarnya aku melakukan apa sampai pantas di hukum seperti ini? 

Lalu mengapa kalian bisa tertawa dengan polosnya sedangkan aku menangis menderita? 

Tidak adil, tidak adil.

Aku ingin lari... Kemana? Aku tidak tahu.

 Aku ingin meluapkan semua isi hatiku.... Kesiapa? Aku tidak tahu.

Aku ingin semua penderitaanku berakhir.... Kapan? Aku tidak tahu.

Aku ingin menangis... tapi aku tidak bisa menangis lagi, air mataku tidak akan keluar lagi.

Setiap hari aku menjalani hidup bagaikan tubuh tanpa nyawa, seperti robot.

Aku sudah tidak kuat lagi, cukup.

Jika aku hidup hanya demi menjadi tempat dimana kau melampiaskan amarah tak berdasar itu, dimana tidak ada orang yang mau menolongku, dimana tidak ada orang yang mau mendengarkanku, lebih baik aku mati saja.

Lagi pula apabila aku mati tidak ada yang mencariku.

Kerabatku hanyalah ayahku seorang, aku tidak tahu aku punya kakek atau nenek karena ayahku tidak pernah membicarakannya. 

Dengan berfikir seperti itu, aku berjalan mengelilingi kota.

Aku mencari tempat yang cocok yang bisa kugukanan untuk bunuh diri sambil menikmati pemandangan perkotaan, walaupun apa yang kulihat hanya warna abu-abu dan hitam.

Lalu aku menemukan tempat yang bagus, tempat ini adalah bangunan terbengkalai yang masih dalam tahap pembangunan tetapi karena beberapa alasan tidak di selesaikan, jadi hanya kerangka luarnya saja.

[Ini tempat yang bagus.]

Itu adalah pendapatku dari dalam hati.

Gedung ini memiliki 6 lantai dan aku naik ke atas atapnya.

ReWorld : Pasukan PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang