BAB 8 Menul pingsan

5.7K 276 1
                                    


Aku berlari seperti di kejar maling, aku terus berlari menuju pasar untuk mengabarkan Ayahku. Aku tidak perduli seberapa besar luka di lutut dan tanganku karena terjatuh. Aku terus berlari dan memanggil Ayah, ketika sampai di pasar.

"Ayah... ! Ayah... !" teriakku.

Aku sudah tidak ingat berapa kali aku memanggil Ayah dan akhirnya aku jatuh pingsan. Setelah siuman, aku berada dipangkuan Ayah. Mulutku terkunci tidak bisa berkata apa-apa. Kejadian demi kejadian membuatku tidak dapat bicara. Aku hanya memandang Ayah dan melihat Ayah menangis. Ayah memandangku dan sesekali memelukku dan menangis. Rupanya Ayah sudah tahu Ibuku tewas karena ular berbisa. Rosopun tewas di temukan warga di tengah jalan dengan mulut mengeluarkan busa. Aku di peluk Nenekku, aku tidak ikut ke makam di pembaringan Ibu yang terakhir. Mataku terus memandang kosong dan pikiranku terus berjalan mengingat kejadian yang menyakiti Ibuku. Dendamku membara ingin membalas kematian Ibuku.

Isti mulai sering ke rumah dan membawa makanan. Tiap kali melihatnya, mulutku terkunci dan tidak bisa teriak. Semua orang sudah menganggapku bisu karena kepergian Ibuku. Isti mulai beraksi dan mencampurkan makanan dengan sesuatu. Di depanku Isti merasa bebas dan tidak takut aku mengadu pada Ayah, karena aku tidak dapat bicara. Tapi Isti lupa, rekaman memori otakku terus berjalan dan mengingat tiap perbuatan kejinya. Isti seperti orang gila, kadang bicara sendiri dan mengumpat orang lain.

"Mungkin kamu kuat dan tidak mudah aku pelet Bara, tapi orangtuamu akan aku buat tunduk dan menuruti perintahku!" ucap Isti pelan.

Darahku mendidih dan semakin berkobar melihat sikap dan ucapan Isti. Ketika Kakek dan Nenek datang, Isti menyediakan makanan dan minuman yang sudah di campuri sesuatu.

"Bu, Pak... , selama ini aku belum menikah karena aku sangat mencintai Kang Bara, ijinkan aku menjadi istrinya, dan bujuklah Bara agar mau menikahiku, agar aku bisa menjaga Ambar," pinta Isti pada Kakek dan Nenek.

Aku melihat Kakek minum kopi, dan Nenek makan dengan lahapnya. Ingin sekali aku bicara tapi entah kenapa tenggorokanku seperti di bebani ribuan ton.

"Tenanglah Isti, aku akan bicara pada Bara, agar mau menikahimu, supaya Ambar ada yang mengurusnya. Kami tidak mungkin sering kemari karena jarak rumah yang jauh, kalau Ambar di bawa kami, nanti sekolahnya semakin jauh. Lagi pula Bara tidak mungkin mengijinkan Ambar ikut dengan kami," ucap Nenek.

Wajah Isti ceria penuh kemenangan, Isti pulang dengan wajah berseri-seri. Saat Ayah datang, Nenek langsung menegur.

"Bara, sudah waktunya kamu cari istri untuk dijadikan Ibunya Ambar," ucap Nenek membujuk Ayah.

"Aku bisa mengurus Ambar Bu, tidak perlu khawatir," jawab Ayahku sedikit ketus.

"Tidak bisa! kamu harus segera menikah! kamu tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan!" ucap Nenek marah.

"Saya belum punya calonnya Bu... ", jawab Bara heran.

"Ibu sudah punya calonnya," ucap Nenek penuh semangat.

"Siapa Bu?" tanya Bara penasaran.

"Isti... !" jawab Nenek tegas.

"Apa?! Isti? tidak Bu, saya tidak mau punya istri seperti dia," jawab Bara menolak.

"Kalau kamu masih menganggap aku Ibumu, turuti permintaan Ibu, sebelum Ibu meninggal!" jawab Nenek ketus dan mengancam Ayahku.

"Tapi Bu.., jangan Isti Bu... ", jawab Ayah sedih.

"Tidak ada tapi-tapian, keputusan Ibu sudah bulat, Isti yang harus jadi menantu Ibu, tidak seperti Istrimu! selingkuh! memalukan!" ucap Nenek sinis.

"Bu, tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal, belum tentu kenyataannya demikian Bu," ucap Ayah sangat sedih.

"Kalau kau masih anggap Ibumu, segera menikah! jika tidak, Ibu tidak mau lagi bertemu denganmu!" jawab Nenek sambil berdiri dan meninggalkan Ayah.

***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang