BAB 61 Aku menyamar jadi laki-laki

3.7K 222 0
                                    


          Aku berjalan cepat dan masuk rumah, Nyai heran melihatku cemberut.

"Nul... darimana?"  tanya Nyai.

"Main di kebun Nyai," jawabku berbohong.

"Makanlah Nul, dari pagi Nyai belum melihatmu makan," perintah Nyai.

"Iya Nyai, nanti aku makan," jawabku melangkah ke dapur.

          Hatiku tidak tenang, entah kenapa masih terus memikirkan Siti. Percakapan aku dan Ujang tadi siang menjadi bahan renunganku. Benar kata Ujang, aku tidak boleh bertindak sendiri, aku harus membawa saksi. Tapi pikiranku buntu, siapa yang akan aku ajak ke rumah rentenir itu, sedangkan alamatnya saja tidak tahu. Sebenarnya ingin mengajak Ujang, tapi takut ketahuan orangtuanya jika aku berjalan dengan Ujang, pasti mereka akan marah. Aku tidak mungkin melibatkan Nyai, Aki dan Abah. Aku tidak tega pada mereka yang sudah tua. Aku kembali ke warung dan menyuruh Nyai untuk istirahat, beberapa jam kemudian Ujang tiba-tiba datang.

"Nul... ," sapa Ujang di depan warung.

"Aa?" mau apa?" jawabku terkejut.

"Maaf Nul... ," ucap Ujang ragu.

"Cuma mau minta maaf? ya ampun deh!" ucapku sambil geleng-geleng kepala.

"Bukan itu Nul, aku tahu alamat rentenir itu, tapi bolehkan aku temani kamu kesana? dan kalau boleh tahu ada urusan apa Nul?" tanya Ujang tegang.

"Ssssstttttt jangan kencang-kencang bicaranya... ," jawabku pelan.

"Iya maaf," jawab Ujang.

"Maaf lagi?!" ucapku heran.

"Aku harus bagaimana?" tanya Ujang pelan.

"Aa ke sini setelah warung tutup yah? ingat jangan sampai orangtua Aa tahu!" ucapku pelan.

"Baiklah, aku akan kembali lagi nanti ya," jawab Ujang.

"Tunggu aku di balik jendela ya," ucapku sangat pelan.

"Iya... ," jawab Ujang pelan.

          Tidak ada cara lain akhirnya aku setuju Ujang mengantarkan aku. Setelah warung tutup, aku menunggu Nyai, Aki dan Abah tidur. Aku masuk kamar dan mengunci kamarku. Tapi aku bingung, kalau ada warga yang melihatku jalan tengah malam, pasti akan berpikir lain. Aku keluar kamar dan masuk ke kamar Nyai, aku buka lemari dan mengambil celana kolor panjang Aki, dan baju panjang. Nyai dan Aki begitu pulas tidur karena lelah. Aku kembali ke kamar dan memakai pakaian Aki, rambut aku sanggul dan aku pakai kupluk, aku ambil sarung untuk menutupi dadaku. Pelan-pelan aku buka jendela dan menutupnya kembali.

"Nul... kamu?" bisik Ujang.

"Ssssttttt, jangan berisik! ayo kita pergi dari sini!" bisikku ke telinga Ujang.

"Nul, rumah rentenir itu lumayan jauh, mungkin bisa pagi kita pulang Nul," ucap Ujang pelan.

"Tidak masalah, apa Aa ngantuk?" tanyaku.

"Tidak Nul, jalan denganmu mana bisa ngantuk Nul," jawab Ujang tersipu malu.

"Kalau begitu jangan banyak bertanya, kita jalan lewat kebun saja, jangan melewati rumah-rumah," ucapku pelan.

"Kenapa kamu berpakaian seperti ini Nul? sebenarnya ada apa?" tanya Ujang heran.

"Kalau aku pakai rok, nanti ketahuan kalau ketemu orang, bisa ngadu ke orangtuamu aku jalan dengan Aa," jawabku ketus.

"Lalu ke rumah rentenir malam-malam ada apa Nul?" tanya Ujang heran.

"Aku mau tahu A, apakah Siti ada di rumah rentenir itu atau tidak!" jawabku.

"Apa?!" ucap Ujang heran.

          Dari kejauhan ada beberapa pria yang akan berpas-pasan dengan kami, Ujang langsung mematikan senter, begitu tahu dari kejauhan ada obor menyala.

"Sini Nul!" teriak Ujang pelan sambil menarik tanganku.

          Ujang menarik tanganku dan kami bersembunyi di balik pohon. Tubuh Ujang sangat dekat, bahkan dia tidak sadar memelukku. Irama jantung kami berdegup kencang, udara dingin dan angin sepoi-sepoi menambah detak irama jantung kami semakin berpacu. Sesaat kami terlena dalam perasaan yang aneh, rasa yang tiba-tiba muncul begitu saja. Bulu kuduk kami meremang, nafas kami tertahan, batin berontak berusaha menepis segala rasa yang timbul begitu saja. Daun kering berjatuhan di kepala kami seperti menjadi saksi kebisuan kami berdua. Kami berdua seperti tidak bisa bergerak. Gelora asmara timbul begitu saja, bisikan para setan mungkin sedang memburu menggoda kami, sampai beberapa orang itu lewat dan jauh dari kami, barulah kami sadar dan sama-sama mengucapkan, "Astagfirullah."

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang