BAB 52 Bertemu dengan Ayah

3.7K 233 0
                                    


Aku berpikir keras bagaimana bisa aku mengalahkan lima orang yang membawa senjata. Jantungku berdegup kencang, aku merasa sudah tidak berdaya dan pasrah, hanya memohon pertolongan Allah dan keajaiban buatku saat itu.

"Kenapa kalian ingin mengeroyokku? apa salahku?" tanyaku gemetar sambil mundur.

"Salahmu? salahmu itu terlalu cantik dan seksi, hahahaha," jawab pemuda itu.

"Kalian mau apa?" tanyaku dengan menggenggam tas Sekolahku erat-erat.

"Mau apa? nanti kamu akan tahu, kita akan terbang melayang ke surga," jawab pemuda itu sambil menenggak minuman.

"Tunggu! kalian tidak perlu mengeroyokku dan memperkosaku, aku akan melayani kalian tapi satu-satu," ucapku sambil berpikir keras.

"Benarkah? tumben sekali kamu tidak teriak dan melawan," jawab salah satu pemuda.

"Ya, karena aku tidak mau mati sia-sia, tapi bolehkan aku memilih siapa dulu yang akan bercumbu denganku?" tanyaku dengan siasat.

Lima pemuda itu saling berpandangan dan akhirnya berebut ingin lebih duluan.

"Aku dulu!" jawab pemuda yang lebih tinggi.

"Aku dulu!" jawab pemuda yang lain.

"Kalian jangan berebut, satu-satu, semua akan ada gilirannya!" ucapku menenangkan mereka.

"Baiklah, begini saja, biar kamu yang pilih, kalau bisa pilih aku dulu ya," jawab pemuda itu.

"Kamu, ya kamu duluan, kamu lebih tampan dari yang lain!" ucapku berbohong.

"Aku? hahaha aku duluan, yang lain mundur dulu...," jawab pemuda itu sangat girang.

"Ayo Kang, kita cari tempat sepi," rayuku pada pemuda itu.

"Ayo sayang...," jawab pemuda itu merangkulku.

Rasanya ingin sekali memukul dia habis-habisan, bau tuak dan badannya membuatku mual. Aku sengaja sedikit menjauh dan memilih semak-semak.

"Woy! jangan lama-lama ya!" teriak empat pemuda dari jauh.

Setelah sedikit jauh, aku berusaha mendekati yang sekiranya ada kayu ranting atau batu.

"Disini saja Kang," ucapku sambil duduk dan menyimpan tas di tanah, aku berbaring dan tanganku meraba batu. Pemuda itu mulai melepas celana dan mulai merangkak, dengan gesit aku tendang alat kelaminnya dan aku pukul belakang kepalanya sampai pingsan. Aku berpikir keras, apa yang harus aku lakukan. Aku ingat ular, aku pernah menangkap ular bersama Nyai. Aku segera menyibak tiap batu dan lobang untuk menemukan ular berbisa. Lima menit aku masih mendengar empat pemuda berteriak agar mereka mendapat giliran. Aku berhasil menangkap ular, aku bawa dua ular berbisa dan langsung menghampiri empat pemuda itu.

"Kawanmu sudah meninggal dipatuk ular ini, apa kalian masih ingin menggangguku?" teriakku menggertak mereka.

"Kamu? kamu membunuh teman kami?" jawab pemuda itu.

"Mau coba? sini mendekat!" jawabku.

"Dasar wanita gila!" teriak pemuda itu lari meninggalkan aku.

Aku segera melangkah ke arah gadis yang akan diperkosa. Pemuda itu ganas menciumi wanita itu dan sudah melepas celananya. Aku langsung menendang pantat pemuda itu sampai dia tersungkur mencium tanah.

"Heh! apa-apaan kamu!" teriak pemuda itu sambil mencari teman-temannya yang sudah pergi.

"Kamu mau tidur dengan ular ini?" jawabku ketus.

"Tidak! ampun... ampun... " teriak pemuda itu lari tanpa menggunakan celana.

"Ayo bangun, pakai bajumu," ucapku pada gadis itu, dan aku lempar ular-ular berbisa ke semak semak.

"Terimakasih kau sudah menolongku," ucap gadis itu menangis.

"Kamu kenapa ada di sini?" tanyaku heran.

"Aku dipaksa dan diancam ikut, saat pulang mencari kayu bakar, mereka jahat," jawab gadis itu menangis.

"Sekarang pulanglah yah, sudah aman," perintahku pada gadis itu.

"Baiklah, sekali lagi terimakasih," ucap gadis itu.

Badanku mulai tidak enak, rasanya seperti panas terbakar, aku berlari agar cepat sampai rumah, tubuhku seperti dipanggang, aku baru sadar jariku sempat dipatuk ular. Di persimpangan jalan aku bertemu dengan Ayahku.

"Kamu kenapa Nak?, wajahmu pucat sekali," tanya Ayah.

"Sudahlah ayo kita pulang, jangan urusi anak orang!" ucap istri Ayah.

Tega sekali istri Ayah, dia tidak tahu kalau aku adalah anaknya. Kepalaku mulai pening, rasanya berat sekali aku berjalan, aku paksakan berlari, semakin berat kepalaku, sampai di depan warung Nyai, nafasku sudah sesak dan aku jatuh pingsan.

***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang