BAB 46 Menul marah

3.7K 238 1
                                    

Semua warga terkejut dan terus memandangku, mereka menundukkan kepala ketika aku melewati mereka. Nyai dan Aki berjalan berdampingan denganku. Aku diam seribu bahasa, tidak bergairah untuk bicara dan bercanda. Hari itu begitu sangat melelahkan.

"Nul, maafkan Nyai," ucap Nyai merayu.

"Aki bangga sekali padamu Nul, kamu tegas dan tidak lemah, jarang diusiamu yang masih muda, berani menghadapi orang banyak," ucap Aki Setu.

Aku diam dan tidak menjawab ucapan Nyai dan Aki, aku terus melangkah sampai rumah.

"Nul, Nyai benar-benar minta maaf, Nyai tidak akan mengulanginya lagi, Nyai janji, besok akan Nyai kembalikan semua pemberian mereka," ucap Nyai memelas.

Aku masuk kamar dan langsung merebahkan diri dan tidur. Saat menjelang Subuh aku bangun dan melihat Nyai duduk di bawah dipan.

"Nyai? kenapa duduk di bawah?" tanyaku pada Nyai.

"Nul, maafkan Nyai ya, Nyai tidak mau berpisah denganmu, jangan tinggalkan Nyai Nul," rayu Nyai sambil menggenggam tanganku.

"Siapa yang akan meninggalkan Nyai dan Aki? aku masih di sini," jawabku sambil membangunkan Nyai dari duduknya.

"Kamu janji kan Nul? kamu janji akan selalu ada di samping Nyai sampai ajal menjemput Nyai?" ucap Nyai sedih.

"Iya Nyai, aku janji, kita siap-siap Sholat yuk?" ajakku pada Nyai.

          Nyai menyiapkan air panas untuk mandi, aku mengingat kembali kejadian semalam, aku memikirkan Siti, aku takut Siti menjadi pelampiasan kemarahan Ayahnya. Nyai mengagetkan lamunanku.

"Nul, boleh Nyai tanya Nul?" tanya Nyai serius.

"Nyai mau tanya apa?" jawabku pelan.

"Kenapa tidak kau ceritakan dari awal kebusukan Ayahnya Siti dan rentenir itu Nul?"

"Aku takut Nyai akan marah dan bisa membunuh mereka," jawabku jujur.

"Nul, Nyai membunuh karena terpaksa Nul, untuk membela diri, dan Nyai sudah berjanji tidak akan marah lagi bukan?" ucap Nyai sedih.

"Aku mandi dulu ya Nyai," ujarku sambil meninggalkan Nyai.

          Pagi tiba udara sangat sejuk, embun pagi begitu segar, aku menyapu halaman, tiba-tiba Ujang datang dan tepat di hadapanku.

"Hemmm kamu lagi! mau minta maaf untuk orang lain lagi? mau menggangguku lagi?!" ucapku ketus sambil melanjutkan nyapu halaman.

"Kamu hebat Nul, aku kagum sekali dengan caramu yang selalu bisa menyelesaikan masalah," jawab Ujang.

"Tidak butuh di puji! sudah sana pulang! nanti aku bisa kena fitnah lagi gara-gara calon suami orang main ke rumahku!" ucapku ketus dan meninggalkan Ujang.

          Ujang langsung menarik tanganku, dan langsung aku tepis.

"Bukan muhrim! jangan pernah sentuh aku!" hardikku.

"Astagfirullah, maaf Nul, aku hanya ingin pamit," jawab Ujang.

"Ya sudah sana! tunggu apa lagi?! aku mau siap-siap sekolah!" ucapku masih ketus.

          Aku masuk ke kamar untuk memakai seragam, aku sudah mulai ujian dan akan melanjutkan ke SMA, saat aku pulang sekolah Nyai memberikan bungkusan.

"Apa ini Nyai?" tanyaku dengan gembira.

"Itu bingkisan dari Ujang Nul, katanya hadiah buatmu," jawab Nyai.

Aku masuk kamar dan menyimpan hadiah dari Ujang di lemari. Aku masih malas membuka hadiah dari Ujang. Hari berganti begitu cepat, bulan berganti aku sudah lulus dari SMPN. Aku mulai menyadari, tidak ada orang yang biasa menghibur dan menggangguku. Biasanya Ujang selalu menghadangku ketika aku hendak ke air terjun.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang