Bab 83 Menul dihadang preman

3.5K 205 2
                                    

          Aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku dan Ayah sama-sama mudah tersinggung. Kenapa justru pertemuanku dan Ayah tidak seindah yang di bayangkan. Aku mulai kesal karena Ujang tidak mengajakku bicara.

"Kok diam saja? Aa capek? tidak suka menjemputku? kalau capek kenapa menjemputku? kalau tidak suka bilang saja! jangan diam saja!" tanyaku sangat kesal.

"Sudah marahnya?" jawab Ujang.

"Maksud Aa? kalau tidak suka jalan denganku sana pulang sendirian! aku bisa pulang sendiri?" ucapku ketus.

"Marahlah dulu, Aa akan dengar," jawab Ujang.

          Mendengar jawaban Ujang aku semakin marah, aku berjalan lebih cepat dari Ujang, tapi Ujang tidak mengejarku. Aku semakin marah dan semakin mempercepat jalanku. Tapi sayang, di perbatasan desa, ada beberapa pria yang menghadangku.

"Wah gadis cantik! anak mana nih, baru lihat, mau kemana Neng? mau saya temani?" ucap salah satu pria.

"Minggir! jangan halangi jalanku!" bentakku.

"Wih, galak sekali, kenalan dulu donk," ucap pria itu menyodorkan tangannya.

"Minggir!" bentakku menepiskan tangannya.

"Waw galaknya," ucap beberapa pria mendekatiku dan ingin menyentuh pipiku.

"Kamu kira saya takut sama kalian?, rasakan ini hiaatttt!" teriakku sambil memukul dan menendang perut pria itu.

"Wah kurang ajar ini gadis, mau main-main rupanya!" bentak teman pria yang aku hajar.

"Maju kalau kamu ingin rasakan pukulanku! Huh!" teriakku memukul pria itu karena berusaha menyentuhku.

          Akhirnya aku berkelahi, Ujang yang sudah sampai di perbatasan hanya menonton dan menghentikan aku berkelahi.

"Berhenti!" teriak Ujang.

"Kang... Kang, gadis itu memukulku Kang," ucap beberapa pria mengadu dan bicara dengan Ujang.

"Jangan ganggu dia," ucap Ujang santai.

"Baik Kang," jawab beberapa pria seperti segan dan takut pada Ujang.

          Aku yang melihat Ujang kenal dengan beberapa pria itu, langsung marah dan berlalu meninggalkan Ujang. Aku merasa kesal, kenapa Ujang tidak menghajar pria itu. Malam yang gelap, jalanan yang naik dan turun membuat langkahku terhenti dan pelan-pelan, jika tidak hati-hati aku bisa jatuh ke bawah. Ujang yang tiba-tiba ada di sebelahku meraih tanganku.

"Sini aku bantu naik," ucap Ujang pelan.

"Tidak perlu! aku bisa sendiri!" jawabku ketus.

"Dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa marah?" tanya Ujang yang ada lebih tinggi dariku.

          Ujang langsung menarik tanganku agar aku bisa naik ke atas, sampai di atas aku tepiskan tangannya, aku berjalan sendiri mendahului Ujang tanpa penerangan, dan akhirnya aku kesandung batu dan jatuh.

"Aww," teriakku terjatuh.

          Ujang langsung menghampiriku dan berusaha membangunkan tubuhku.

"Aw, aw, pelan-pelan!" teriakku kesakitan.

"Apa ada yang luka? ada yang sakit?" tanya Ujang khawatir.

"Kalau tidak sakit mana mungkin teriak!" jawabku masih kesakitan.

"Coba tidak marah-marah, tidak akan seperti ini," ucap Ujang mengejekku.

"Kalau tidak ikhlas tidak usah  menolongku!" jawabku ketus.

          Aku mendorong Ujang, dan aku berusaha melangkah, tapi ternyata kakiku terkilir, rasanya sangat sakit sekali.

"Ahhhhh," teriakku menahan sakit.

          Ujang mendekatiku dan menyorotkan senter ke kakiku yang terluka dan terkilir.

"Bengkak Nul, kakimu terkilir," ucap Ujang.

          Ujang tidak banyak bicara, menyerahkan senter kepadaku dan langsung membopong tubuhku.

"Aduh, kenapa di gendong sih! aku bisa jalan sendiri!" teriakku.

"Sudah diam, jangan marah terus, senterkan saja jalannya," ucap Ujang tenang.

"Perjalanan masih jauh, nanti Aa capek!" ucapku.

"Kalau kamu paksakan jalan, nanti kakimu tambah bengkak, sudah diam saja," ucap Ujang.

         Kadang aku tidak mengerti jalan pikiran Ujang, tadi diam saja dan cuek, tapi begitu melihatku terluka Ujang langsung khawatir.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang