BAB 33 Aki menasehati Nyai

4K 248 6
                                    

          Aku seperti mengenal pria itu, tapi entah dimana. Aku melangkah pergi untuk pulang, pria yang membelaku mengejarku.

"Nul, mau pulang?" tanya pria itu.

"Kamu tahu namaku?" jawabku ketus sambil melangkah jalan.

"Aku Ujang, kamu lupa?" ucap Ujang mengikutiku.

"Oh, ya aku ingat!" jawabku masih ketus.

"Kamu mau aku ajari ngaji dengan indah Nul?" tanya Ujang.

"Tidak perlu!" jawabku masih ketus.

"Kamu tidak ikut lomba lainnya?" rayu Ujang.

          Aku berhenti berjalan dan menoleh pada Ujang.

"Lomba apa saja?" tanyaku pada Ujang.

"Ada lomba balap karung, makan krupuk, menyanyikan lagu Indonesia Raya, makan sendok ada kelerengnya, tarik tambang, hadiahnya lumayan lho? kalau mau ikut nanti aku daftarkan," jawab Ujang.

"Kenapa kamu peduli sama aku?" tanyaku heran.

"Supaya kamu ada teman dan bisa bergaul Nul," jawab Ujang.

"Boleh, kalau aku menang, Nyai pasti senang," ucapku melambung menghayal menang.

"Kamu pasti menang Nul, kamu kuat, pasti bisa," ucap Ujang menyemangati aku.

"Yaudah aku mau pulang!" ucapku meninggalkan Ujang.

          Aku pulang ke rumah masuk sambil cemberut, aku masuk kamar dan berbaring. Nyai dan Aki heran melihat wajahku cemberut dan tidak menyapa mereka.

"Nul, ada apa?" tanya Nyai masuk ke kamarku.

"Nyai, apa benar yang di ucapkan Aki? gara-gara ada jin dalam tubuhku, aku tidak bisa ngaji? aku malu Nyai! tadi saat mau di tes Panitia, tenggorokanku panas, dadaku panas dan sesak. Aku malu Nyai! untung ada Ujang  yang membelaku dan aku bisa ikut lomba, tapi bagaimana nanti saat lomba itu tiba Nyai? aku malu jika aku benar-benar tidak bisa ngaji!" ucapku kesal.

"Sabarlah Nul, kamu pasti bisa Nul, percayalah, Nyai jamin kamu pasti bisa saat lomba tiba, kamu tidak akan panas dan sesak," ucap Nyai menenangkan.

"Tapi aku juga ingin ngaji di rumah Nyai, aku ingin belajar sebelum lomba!" jawabku marah.

          Nyai keluar kamar menemui Aki dan memarahinya, aku merasa tidak enak sudah marah pada Nyai. Padahal Nyai yang sudah menolong dan membesarkan aku. Aku bangun dari tempat tidur ingin minta maaf, tapi langkahku berhenti mendengar Nyai memarahi Aki.

"Gara-gara ucapanmu Aki ompong! Menul jadi menyalahkan aku!" bentak Nyai.

"Duduklah Nyai, aku ingin bicara, Menul itu sudah besar, kita semakin tua, entah sampai kapan kita bisa mendampingi Menul. Apa kamu tidak kasihan jika kelak dia menikah suaminya tahu dia makan daging mentah, pasti Menul akan di ceraikan. Ingat! Menul anak seorang Ustad, dia anak yang baik, jangan kau jadikan Menul seperti setan Nyai, lepaskan jin itu, kasihan Menul akan dipermalukan orang banyak, dan dia akan sedih. Kamu sayang Menul bukan? kamu ingin Menul bahagia bukan?" ucap Aki sangat bijak.

"Dunia ini keras dan kejam Ki, buktinya Ibunya dia saja tewas di tangan orang jahat!" jawab Nyai.

"Tapi penjahatnya sudah mendapat balasan bukan? Allah itu adil, tidak akan membiarkan penjahat terus berkeliaran di muka bumi ini, Ibunya Menul sudah bahagia, sudah mendapatkan surga. Sudahlah cukup aku saja yang mengikuti segala kemauanmu, dan itu semua karena aku sayang kamu Nyai," ucap Aki sedih.

"Apa kau menyesal hidup denganku? kau menyesal dengan caraku yang sesat?" tanya Nyai sedih.

"Kalau aku menyesal, aku sudah meninggalkanmu sejak dulu, aku sudah berjanji, cukup menikah satu kali, yaitu denganmu Nyai," jawab Aki Setu.

"Aku seperti ini karena terlalu banyak menghadapi orang jahat Ki," ucap Nyai sedih.

"Kamu sebenarnya baik, aku mencintaimu karena aku tahu kamu orang yang baik, tapi nasiblah yang membuat kita begini, jangan bersedih lagi ya," ucap Aki Setu.

          Aku tak sadar mendengarkan ucapan mereka membuatku terharu dan menangis. Aki begitu sayang pada Nyai dan masih setia meskipun Nyai kadang jahat.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang