Bab 86 Rindu yang mendalam

7.1K 393 158
                                    

Beberapa hari aku tidak banyak bergerak, kakiku bengkak, hanya beberapa hari saja rasa rinduku pada Ujang semakin terasa. Rindu dan marah jadi satu, kenapa di saat aku rindu, Ujang tidak muncul, dia hanya muncul di saat aku sedang kesulitan. Aku jadi mudah marah dan tidak banyak bicara, apalagi ingat Nyai yang memaki Ujang, pasti Ujang tidak mau datang karena takut pada Nyai.

"Nul, akhir-akhir ini wajahmu murung dan sedih, kamu memikirkan apa Nul?" tanya Nyai.

"Tidak ada!" jawabku ketus.

"Rindu pada Ujang ya Nul?" ucap Abah menyindir.

"Mungkin Ujang sibuk Nul," ucap Aki menenangkan.

"Kamu rindu pada Ujang Nul?" tanya Nyai memelas mendekatiku.

"Tidak!" jawabku singkat.

"Kamu masih marah Nul?" tanya Nyai sedih.

"Tidak!" jawabku malas.

"Jangan cemberut begini Nul," ucap Nyai sedih

"Makanya jangan mudah marah, Ujang tidak salah kok di maki-maki," ucap Aki.

"Diam kau Aki ompong!" bentak Nyai.

"Tuh, baru saja aku bilang, jangan marah-marah, sudah tua makin tua nanti," ucap Aki mengejek.

"Kau juga sudah tua Aki ompong! kerjaanmu senang memperkeruh suasana!" ucap Nyai kesal.

"Aku hanya mengingatkan, biarkan saja mereka, namanya kalau sudah jodoh, biarpun dilarang pasti akan berjodoh juga," ucap Aki.

"Aku hanya tidak ingin Menul terus di sakiti Ibunya, itu saja! apa salahku?" ucap Nyai.

"Sudah, sudah! jangan ribut dan jangan bahas Ujang!" ucapku marah.

Aku pergi meninggalkan ruangan menuju kamarku. Rasanya sunyi sekali, tidak ada yang bisa aku ajak ngobrol. Aku membuka buku pemberian Frank dengan judul Kehormatan Wanita. Tidak aku sangka aku bisa bicara Bahasa Inggris, satu jam sudah aku membaca buku, tiba-tiba Nyai menghampiriku.

"Nul, ada tamu yang ingin bertemu denganmu," ucap Nyai membelai rambutku.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Temui saja dulu nanti juga tahu," ucap Nyai sambil meninggalkan aku.

Rasanya malas sekali berjalan, tapi aku penasaran siapa tamu itu, ketika sampai di ruang tamu, aku terkejut melihat Ujang sudah duduk.

"Aa...?" sapaku terkejut.

"Assalamu'alaikum Nul," sapa Ujang.

"Wa'alaikum salam," jawabku sambil duduk.

Aku merenung sesaat, kenapa Nyai tidak marah pada Ujang, justru Nyai menyuruhku menemui Ujang. Aku tidak melihat Nyai, Aki dan Abah.

"Nul, gimana kakimu? sudah baikan?" tanya Ujang mengagetkan aku.

"Sudah!" jawabku singkat.

"Sedang mikirin apa Nul?" tanya Ujang sambil menatapku.

"Tidak!" jawabku gugup.

"Tadi Nyai memintaku datang menjengukmu Nul, katanya kamu rindu?" tanya Ujang menyindirku.

"Nyai? memintamu datang? apa aku tidak salah dengar?" jawabku merasa heran.

"Iya mungkin tidak tega melihatmu sakit karena rindu Nul," ucap Ujang mengejekku.

"Siapa yang rindu? tidak kok!" jawabku ketus.

"Jadi benar tidak rindu? ya sudah Aa pulang lagi saja," ucap Ujang menggoda.

"Kalau mau pulang ya pulang saja! aku tidak butuh di tengok orang yang merasa terpaksa!" ucapku marah

"Kenapa marah?" tanya Ujang heran.

"Siapa yang marah? kalau mau pulang ya pulang saja!" ucapku gemas.

"Sebenarnya dari kemarin Aa ingin sekali menengokmu, tapi pekerjaan Aa banyak, Aa harus cepat menyelesaikan, katanya mau di antar ke makam Ibumu? karena itu Aa sengaja menyelesaikan pekerjaan dan mengirim barang lebih awal ke kota Nul," ucap Ujang menjelaskan.

Mendengar penjelasan Ujang, aku sedikit tenang, tapi aku berpikir kenapa aku jadi marah pada Ujang, padahal beberapa jam lalu aku benar-benar rindu ingin ketemu Ujang.

"Nul...? kenapa diam? masih sakit?" tanya Ujang mengagetkan aku.

"Aku... aku... " jawabku terputus-putus.

"Kenapa Nul? ada yang kau pikirkan? kata Nyai kamu banyak melamun, ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Ujang.

"Tidak ada!" jawabku singkat.

"Kapan mau ke makam Ibumu?" tanya Ujang.

"Lusa, pagi-pagi berangkat," jawabku.

"Baiklah, Insyaa Allah lusa pagi aku datang, aku permisi dulu ya, masih ada kerjaan, ini ada buah-buahan buatmu," ucap Ujang.

Ujang pamit pulang, aku masih duduk di ruangan, aku masih tertegun melepas kepergian Ujang. Aneh rasanya ketika jauh aku merindukannya, tapi jika dekat aku mudah tersinggung.

***

Cerita ini masih sangat panjang, jika dijadikan sinetron, setiap episodenya sangat seru ya. Terimakasih untuk pembaca setia.

Terimakasih
Salam hangat

Mamah Ranggi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang