BAB 38 Lomba Ngaji

3.9K 271 5
                                    


          Beberapa menit aku dan Ujang tak sadar saling berpandangan. Aku langsung sadar dan melepaskan dekapan Ujang, aku berlari kecil meninggalkan Ujang tanpa sepatah kata. Aku mulai belajar membaca Al Qur'an, aku ingat-ingat bagaimana Ibu dan Ayahku mengaji dengan lantunan yang sangat indah. Aku kembali menangis teringat Ibu dan Ayah. Hidup begitu singkat, sudah bertahun-tahun aku tidak menengok makam Ibu. Tak terasa air mataku mengalir, aku membuka lemari dan memilih baju Ibu dan kerudung Ibu yang aku bawa dari rumah. Selama ini aku tidak punya kerudung, hanya Nyai yang punya kerudung, tapi tidak mungkin aku memakai kerudung Nyai. Gamis Ibu sangat indah, Ibu selalu memakai jilbab, tapi kenapa aku belum terpanggil untuk memakai jilbab. Malam semakin larut aku terus membaca buku Ayah dan mempelajari bagaimana membaca Al Qur'an dengan baik, semua aku pelajari dan aku hapalkan. Menjelang pagi setelah sholat Subuh aku membantu Nyai memasak air.

"Nyai... apa aku bisa menang ya dalam lomba ngaji?" tanyaku ragu.

"Kamu pasti bisa Nul, setiap mendengar kamu ngaji, Nyai dan Aki sangat tersentuh. Apalagi Nyai sudah banyak melakukan kejahatan Nul, kadang Nyai menangis saat mendengar kamu ngaji Nul," jawab Nyai sedih.

"Tapi Nyai, lawanku semuanya pintar ngaji, kata Panitia mereka lulusan dari Pesantren dan Mts Nyai," ucapku sangat ragu.

"Sejak kapan kamu menyerah Nul? biasanya kamu menyukai tantangan, kamu tidak boleh menyerah, meskipun kamu tidak menang, kamu harus buktikan kalau anak Nyai juga bisa ngaji yah?" jawab Nyai sambil mengelus pundakku.

          Aku menanti datangnya waktu lomba sudah tidak sabar, aku ingin tahu siapa saja yang ikut, setelah sholat Isya, Nyai, Aki dan aku menuju balai Desa. Sudah banyak orang yang datang dan duduk. Pertama kalinya aku memakai gamis dan kerudung. Aku sangat kikuk dan tidak betah, aku merasa aneh dan gatal di kepalaku. Saat Nyai mencari tempat duduk, orangtua Ujang dan seorang gadis menyapa Nyai.

"Nyai, apa khabar?" sapa Ibunya Ujang.

"Baik, kamu nonton lomba juga?" jawab Nyai.

"Iya Nyai, saya ingin lihat calon mantu saya ngaji di lomba ini, dia pasti menang, dia sudah sering juara," jawab Ibunya Ujang.

"Oh, jadi ini calonnya Ujang? sebentar lagi mantu ya?" ucap Nyai menoleh kearah calon istri Ujang.

          Calon istri Ujang memberi salam pada Nyai, aku jadi ragu apakah aku ikut lomba atau tidak, setelah mendengar calon istri Ujang sering juara, aku sedikit pesimis. Nyai dan aku duduk di belakang kursi orangtua Ujang.

"Calonnya biasa saja, tidak secantik kamu Menul," bisik Nyai di telingaku.

          Aku tidak mengerti kenapa Nyai berkata seperti itu, dan berbisik di telingaku. Lombapun di mulai, semua peserta lomba sudah maju satu persatu, tapi namaku belum di panggil juga, dan akhirnya Panitia memanggilku.

"Inilah peserta terakhir kita sodari Menul, akan membacakan surat Ar-Rahman ayat 7 sampai 10, kami persilahkan untuk sodari Menul untuk maju ke depan," ucap Panitia melalui speaker.

          Ada yang aneh, kenapa aku disuruh membaca surat yang lain, aku merasa Panitia itu ingin menguji dan mengejekku. Apalagi saat aku lihat Al Qur'an tertutup agar aku mencarinya sendiri. Emosiku mulai naik, aku memegang mik dan tidak membuka Kitab suci Al Qur'an.

"Sodari Menul! silahkan buka Al Qur'annya dan cari suratnya ya, cepat ya sudah malam," ucap Panitia sedikit menghinaku.

"Tidak perlu! aku hapal surat ini!" jawabku ketus.

          Panitia itu memandangku dengan sinis, aku mulai menarik nafas dan hatiku berkata: "Ibu, doakan aku bisa Bu," aku mulai mengangkat mik dan aku dekatkan mik di bawah bibirku.

Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

A’uudzu bil-laahi minas syai-thaanir ra-jiim

Bismillahirrahmanirrahim

Wassamaa-a rafa'ahaa wawadha'al miizaan...

Alaa tathghau fiil miizaan...

Wa-aqiimuul wazna bil qisthi walaa tukhsiruul miizaan...

Wal ardha wadha'ahaa lil-anaam...

Artinya:

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)

Supaya kamu jangan melampaui batas, tentang neraca itu

Dan tegakkanlah timbangan dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi neraca itu

Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhlukNya

Wassalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

          Aku selesai membaca dan sengaja aku bacakan artinya agar Panitia itu malu, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Nyai dan Aki berteriak kegirangan dan menyebut namaku dengan keras. Panitia memandangku dengan wajah heran, dia sudah gagal mempermalukan aku, dan aku tidak peduli lagi menang dan kalah. Aku segera menghampiri Nyai dan Aki mengajak pulang, aku tidak peduli Ujang memberi selamat dan terus memandangku.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang