BAB 58 Ujang terus mengejarku

3.6K 234 2
                                    


          Pupus sudah merenda kasih dengan Ujang. Aku yang selalu setia menanti kedatangannya, aku bahkan menolak semua pria yang jatuh cinta padaku, karena aku merasa Ujang lebih baik dari pria manapun. Tapi kenapa jadi seperti ini akhirnya. Entah apakah ini cinta atau benci, apakah ini cinta pertama atau cinta terakhir untuk selamanya. Antara benci dan sedih menjadi satu, tidak ada lagi ruang di hati untuk bisa memupuk cinta. Saat aku mempersiapkan membuka warung, Ujang menghampiriku dan bertanya yang tidak masuk akal.

"Nul, apakah kamu benar-benar tidak mau menjadi calon istriku?" tanya Ujang  berdiri di depan warung.

"Apa?! maksudmu? kenapa Aa datang lagi? Aa tidak puas keluarga Aa sudah menghina keluargaku?!" jawabku marah.

"Aku hanya ingin tahu perasaanmu Nul, apakah kamu pernah sedikit saja mencintaiku?" tanya Ujang dengan wajah serius.

          Aku berpikir lama untuk menjawab, aku bingung ingin menjawab apa, aku sendiri tidak tahu apakah ini cinta atau bukan. Yang aku rasakan hanya pernah merindukan Ujang di kala dia tidak ada atau jauh, tapi setiap Ujang ada di depanku, justru aku selalu ingin marah. Bahkan saat Ujang bertanya serius, rasa benciku timbul pada Ujang, apalagi Ujang tidak pernah jujur akan menikah dengan Eci.

"Tidak! aku tidak tahu apa itu cinta!" jawabku tegas.

"Seandainya Nyai menjodohkan kamu dengan pria yang tidak kamu cintai, apa kamu akan menerimanya Nul?" tanya Ujang.

"Ya tidaklah! lagi pula Nyai bukan seperti Ibumu, Nyai lebih peduli perasaanku! sudah sana pergi! aku tidak mau bertambah masalah, jika Ibumu tahu Aa ke rumahku, pasti akan memarahiku lagi!" ucapku mengusir Ujang.

          Ujang menatapku dalam-dalam, Ujang tidak berani lagi bertanya, dia melangkah pulang dengan wajah sedih.

          Sementara itu, di Desaku berhembus gosip ada pesugihan babi ngepet. Warga curiga ada salah satu orang yang memuja pesugihan. Aku sendiri percaya tidak percaya, tetangga selalu bilang sering kehilangan uang. Tapi tidak dengan uang hasil penjualanku. Aku merasa utuh dan tidak pernah hilang.

"Nyai, apa benar ada babi ngepet? tadi ada pembeli, memperingatkan aku agar hati-hati menyimpan uang, katanya ada babi ngepet. Benarkah Nyai? apa itu babi ngepet?" tanyaku penasaran pada Nyai.

"Ya Nyai dengar berita itu Nul, tapi yang mengejutkan, warga mencurigai Ayahnya Siti," jawab Nyai.

"Ada apa dengan Ayahnya Siti, Nyai?" tanyaku heran.

"Dia sekarang kaya Nul, penampilannya sudah beda, tidak bekerja, tapi uangnya banyak Nul," jawab Nyai.

"Iya, tapi kita tidak boleh berburuk sangka dulu Nyai, siapa tahu itu uang dari hasil jual tanah, atau apapun itu, kita tidak boleh menuduh seseorang tanpa bukti," ucapku sedikit protes.

          Sudah lama sekali aku tidak melihat Siti, sejak Ibunya mati bunuh diri, Siti di bawa keluarga Ibunya. Entah kenapa aku jadi kangen pada Siti setelah Nyai menyebut nama Siti, bagaimanapun Siti pernah membelaku dengan berkata jujur ketika dulu aku di sidang di Balai Desa dengan tuduhan palsu dari Ayah Siti.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang