BAB 65 Siti keluar kota

3.6K 236 0
                                    


          Lamunanku terlalu jauh, terasa sakit jika memikirkan aku dan Ujang tidak mungkin bersatu. Aku terlelap membawa hati yang gundah dan sedih. Tidak terasa sudah pukul 14.00 wib, aku bangun dan melihat Siti duduk di sisi tempat tidur.

"Siti? sudah makan?" tanyaku pelan.

"Sudah Teh Menul, tadi Nyai membawakan makanan ke kamar," jawab Siti pelan.

"Sementara kamu tidak boleh keluar dulu sampai aman yah?" ucapku pada Siti.

"Iya Teh Menul, aku juga takut ketemu Ayah dan rentenir itu," jawab Siti sedih.

"Apa yang di perbuat Ayahmu dan rentenir itu Siti?" tanyaku penasaran.

"Ayah menjualku pada rentenir itu Teh Menul, aku di paksa melayani rentenir jahat itu," jawab Siti berlinang air mata.

"Sabarlah, Aa Ujang sedang mengurus semuanya, supaya mereka di tangkap Polisi," ucapku menenangkan Siti.

"Iya Teh Menul, aku rela Ayah di penjara dari pada berbuat jahat," jawab Siti sedih.

"Oh iya Siti, Teteh melihat ada wanita terbunuh, apa kamu mengenal dia?" tanyaku masih penasaran.

"Wanita itu bunuh diri Teh Menul, dia tidak mau melayani rentenir tua itu," jawab Menul.

"Oh, jadi bukan di bunuh, Teteh kira di bunuh pengawal itu," jawabku.

          Aku keluar kamar, samar-samar seperti mendengar suara Ujang di ruang tamu, aku melangkah ke ruang tamu.

"Sudah bangun Nul?" tanya Abah.

"Sudah Abah," jawabku singkat.

"Makanlah Nul, kamu belum makan dari pagi," ucap Abah.

"Belum lapar Abah," jawabku malas.

"Makan dulu Nul, nanti kamu sakit," ucap Ujang ikut bicara.

"Aa sendiri sudah makan belum? sudah tidur? kok ada di rumahku?" tanyaku heran.

"Aku kemari membawa kabar baik Nul, kata Polisi akan bertindak dan menyelidiki rentenir itu tanpa melibatkan kita lagi," jawab Ujang.

"Syukurlah kalau begitu," jawabku senang.

"Oh iya Nul, aku juga sempatkan ke rumah saudara almarhum Ibunya Siti, rencananya malam ini diam-diam akan membawa Siti ke luar kota, supaya tidak di ganggu Ayahnya lagi Nul," ucap Ujang.

"Luar kota?" jawabku heran.

"Iya di rumah Uwanya Siti, katanya di sana lebih aman Nul," ucap Ujang.

          Tiba-tiba Nyai datang menyapaku.

"Nah Menul sudah bangun, ayo makan! sekalian ajak Ujang," ucap Nyai yang baru masuk.

          Siang itu pertama kalinya aku makan bersama Ujang. Seandainya saja seperti ini terus pasti rasanya bahagia. Tapi lagi-lagi aku buang harapan dan khayalan indah yang semu. Aku tidak mau berharap banyak yang akhirnya akan lebih menyakitkan.

          Malam tiba, Siti sudah bersiap pergi, saudara Siti datang dan langsung memeluk Siti dan menangis. Aku dan Ujang mengantar Siti sampai ke Desa tetangga. Malam udara begitu dingin, padahal baju tebal sudah membalut tubuhku. Ujang banyak diam dan tidak banyak bicara, wajahnya terlihat lelah dan pucat.

"Aa capek ya?" tanyaku cemas.

"Tidak Nul," jawab Ujang singkat.

"Aa sakit?" tanyaku kembali.

"Tidak Nul," jawab Ujang.

"Tapi Aa kelihatan pucat!" ucapku gelisah.

"Kalau aku sakit apa kamu akan khawatir?" tanya Ujang tersenyum.

"Ya khawatir A, kalau Aa sakit, nanti tidak ada lagi yang menggangguku!" jawabku menggoda Ujang.

"Nul, maukah kau berjanji?" tanya Ujang.

"Janji apa?" jawabku penasaran.

"Aku minta kau jangan pernah keluar malam sendirian, kecuali dengan Aa, dan jangan bertindak ceroboh Nul," ucap Ujang serius.

"Iya!" jawabku cuek.

"Janji?" tanya Ujang.

"Iya!" jawabku singkat.

"Terimakasih ya Nul," ucap Ujang.

          Entah kenapa malam itu rasanya tidak ingin berlalu begitu cepat. Rasanya ingin terus berjalan dengan Ujang. Aku baru menyadari malam itu, Ujang begitu sopan dan lemah lembut. Ujang selalu mengalah, rasa sedih menghampiriku, entah kenapa malam itu tiba-tiba berat berpisah dengan Ujang.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang