BAB 41 Rentenir kejam

3.8K 242 3
                                    


          Setelah warga tahu aku bisa membaca Al Qur'an dan menjadi juara pertama, banyak anak-anak yang datang ingin belajar. Orangtua mereka juga ada yang tidak malu memintaku mengajarkan anaknya. Rumah kami setiap sore jadi ramai anak-anak. Ujang diam-diam memperhatikan dan menyumbang buku turutan untuk anak-anak. Aki membuatkan meja kecil untuk anak-anak. Aku memperhatikan salah satu anak yang ikut ngaji, usianya 7 tahun, namanya Siti, aku jadi teringat masa kecil, seusia Siti aku sudah ditinggal Ibu. Siti banyak melamun dan tidak konsentrasi. Setelah semua selesai aku mencoba bicara dengan Siti.

"Siti? kenapa banyak melamun? kamu sakit?" tanyaku pada Siti.

"Tidak Teteh Menul, aku hanya memikirkan Ibu," jawab Siti.

"Ibumu kenapa? apa dia sakit?" tanyaku lagi.

"Iya Teh Menul, Ibu sering di tindih orang jahat, tapi Teteh jangan bilang siapa-siapa ya?" jawab Siti.

"Iya, tenang saja, rahasia kita berdua yah, Ibumu di tindih? apa Ibumu luka?" tanyaku penasaran.

"Aku tidak tahu Ibu luka atau tidak, tapi Ibu jadi sering menangis Teh, orang jahat itu sering membuka baju Ibu dan menindihnya," jawab Siti polos.

          Darahku berdesir mendengar Siti bicara seperti itu, tidak salah lagi pasti Ibunya Siti diperkosa laki-laki jahat, Siti memanggilku Teteh, di Desaku berbahasa Sunda, panggilan Teteh ini seperti panggilan terhadap Kakak perempuan. Aku sebenarnya malas menghadapi orangtua Siti, Ayahnya Siti seorang pemabuk dan penjudi, Ibunya juga pernah menghinaku. Tapi aku merasa kasihan pada Siti, ingin sekali rasanya menolong Siti.

"Siti, ayo aku antar pulang yah," ucapku pada Siti.

          Sampai rumah Siti aku melihat seorang pria sedang memarahi Ayahnya Siti, aku dan Siti bersembunyi di samping rumah.

"Saya tidak mau tahu!! kamu harus segera membayar hutang-hutangmu! bunganya saja belum kamu bayar! apalagi hutangmu!" teriak pria itu.

"Ampun juragan, ampun, setelah rumahku terjual aku akan segera membayar juragan," jawab Ayahnya Siti.

          Aku dan Siti bersembunyi di samping rumahnya.

"Teteh Menul, itu orang yang suka menindih Ibu, kata orang dia itu rentenir Teh Menul," bisik Siti.

          Aku mengutuk pria itu dalam hatiku: "Dasar tua bangka sudah bau tanah! kejam sekali kamu! jalanmu saja harus dibantu tongkat, tapi masih kejam!" Aku terus menggerutu dalam hati, sampai pria itu pergi, Siti langsung masuk ke dalam rumah.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang