BAB 64 Membuat rencana baru

3.6K 231 0
                                    


          Siti terlihat lelah, dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan langsung terlelap. Aku memandangi wajah Siti, jiwaku berkobar mengingat pria bejad itu meraba Siti dan hendak memperkosanya. Aku sangat lelah tapi tidak bisa tidur, aku memikirkan mayat siapa yang sudah di kubur. Aku teringat kembali perjalanan bersama Ujang, tidak di sangka semalaman aku di temani Ujang, kadang aku tersenyum sendiri jika mengingat rayuannya. Kadang aku merasa malu membayangkan ketika Ujang memelukku. Suara pintu kamar Nyai terdengar, tandanya Nyai sudah bangun. Nyai mengetuk pintu kamarku, membangunkan aku. Nyai tidak tahu kalau aku belum tidur. Tidak ada pilihan lagi, aku harus jujur pada Nyai tentang keberadaan Siti.

"Nul, bangun... Sholat dulu Nul," teriak Nyai dari balik pintu.

"Iya Nyai," jawabku dari dalam kamar.

          Aku langsung keluar dari kamar menuju kamar mandi. Aki dan Abah sudah menungguku untuk Sholat berjamaah. Selesai Sholat aku meminta mereka mendengarkan ceritaku. Aku ceritakan semua perjalananku dengan Ujang untuk menyelamatkan Siti, dan sampai membawa Siti.

"Nul? kenapa kamu nekad sekali? kenapa Abah tidak di ajak?" tanya Abah heran.

"Aku tidak mau merepotkan Abah," jawabku singkat.

"Hemmm tidak mau di repotkan, apa karena ingin berduaan dengan Ujang?" sindir Abah mengejekku.

"Abah? apaan sih? ya tidaklah Bah!" jawabku malu.

"Ya sudah, sementara Siti di sini sampai situasi tenang, dan jangan sampai Siti keluar dari kamar dulu Nul," ucap Aki Setu ikut bicara.

"Iya Ki," jawabku.

"Ya sudah Nul, sekarang istirahat saja dulu di kamar, warung biar Nyai dan Abah yang jaga," ucap Nyai.

"Ya Nyai, aku tidur sebentar ya, rasanya capek sekali," ucapku sambil menguap.

"Ayo sana tidur Nul! mulutmu sudah nguap terus," perintah Abah.

          Aku belum berdiri pintu depan ada yang mengetuk, jantungku langsung berdebar kencang, aku takut Ayahnya Siti yang datang. Aki, Nyai dan Abah saling berpandangan, Abah berdiri dan membuka pintu.

"Ujang? pagi-pagi sekali sudah main? bukankah semalaman sudah berduaan?" ucap Abah mengejek Ujang.

"Abah... ," jawab Ujang tersipu malu.

"Ayo masuk!" perintah Abah.

"Ada apa Jang?" tanya Nyai pada Ujang.

"Ada perlu dengan Menul Nyai," jawab Ujang.

"Ada apa A?" tanyaku heran.

"Nul, apa Nyai dan Abah sudah tahu?" tanya Ujang merasa heran.

"Sudah A, ada apa kemari?" jawabku.

"Begini Nul, aku hanya khawatir kamu akan bertindak sendiri ke rumah rentenir itu, aku harap kamu jangan kesana lagi, biar masalah ini menjadi urusan Aa saja, kamu jangan bilang apapun pada Ayahnya Siti atau tetangga. Rencananya aku akan menghubungi temanku yang Dinas di Polsek, nanti biar kita serahkan pada Polisi untuk menyelidiki mayat wanita yang di kubur itu Nul. Aku tidak mau kamu terlibat dalam masalah ini," ucap Ujang menjelaskan.

"Kamu baik sekali Jang!" ucap Aki Setu mengagumi Ujang.

"Ya sudah kalau rencananya begitu, sekarang Aa pulang saja, aku tidak mau menambah masalah lagi, kalau Aa di sini, takut orangtua Aa marah," ucapku mengusir Ujang.

"Orangtuaku sedang ke Cirebon Nul, tenang saja, ya sudah aku pamit, aku mau istirahat dulu," ucap Ujang pamit.

"A... !" teriakku memanggilnya.

"Ya Nul... " jawab Ujang menoleh ke arahku.

"Terimakasih yah sudah membantuku," ucapku sedikit malu.

"Iya Nul, sama-sama," jawab Ujang tersenyum manis.

          Entah kenapa melihatnya pergi jantungku berdebar-debar, apalagi melihat senyumnya, membuatku terasa damai. Entah perasaan apa, baru saja bertemu, begitu Ujang pulang, wajahnya terus muncul di pelupuk mataku. Aku senyum sendiri, tidak menyadari Aki, Nyai dan Abah memandangku dan mereka ikut tersenyum.

"Sepertinya ada yang jatuh cinta... ," ucap Abah menggodaku.

"Abah, biasa deh terus ngejek aku?" ucapku malu.

"Nul, jarang lho ada pria sopan, baik, ganteng, dan pintar, ya Ujang itu Nul! kamu harus bersyukur bisa di cintai pria sebaik Ujang Nul, yang suka sama dia banyak lho Nul," ucap Nyai menyemangatiku.

"Sudah ach mau tidur dulu!" ucapku menghindar dari jawaban Nyai.

          Aku melangkah ke kamar, Siti masih tertidur pulas. Aku merenungi kembali ucapan Nyai dan Abah. Seharusnya aku menjadi wanita yang paling bahagia di cintai Ujang, tapi entah kenapa aku tidak mau berharap pada Ujang, apalagi jika mengingat ucapan Ibunya Ujang yang sangat menyakitkan.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang