BAB 62 Melihat mayat

3.7K 232 0
                                    


          Kami sama-sama menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Kami sama-sama tersipu malu.

"Maafkan aku ya Nul, aku tidak sengaja memelukmu," ucap Ujang malu.

"Sudah biasa mendengar maafmu!" jawabku sedikit malu.

"Apa kamu lelah Nul?" tanya Ujang.

"Tidak! Aa capek?" jawabku dan bertanya pada Ujang.

"Tidak ada capek kalau berjalan dengan gadis kesayangan Aa," jawab Ujang merayu.

"Bisa-bisanya merayu dalam kegelapan ya!" ucapku ketus.

"Tidak juga, kalau kamu mau, aku bisa mengatakannya dengan terang-terangan Nul," jawab Ujang tegas.

"Eci gadis yang baik kok, cantik, lulusan Pesantren, kenapa Aa tidak mau menerima dia?"

"Ya dia cantik, baik, tapi perasaan itu tidak bisa di paksa Nul, aku takut dia tidak bahagia hidup denganku," jawab Ujang.

"Tidak mungkin dia tidak bahagia, pasti Eci bahagia, apalagi Aa baik, pasti bisa membahagiakan Eci!" ucapku membela Eci.

"Aku takut dia tidak bahagia karena aku pasti memikirkan dirimu terus Nul, kamu kok jadi seperti Ibuku? kenapa memaksaku menikah dengan Eci?!" jawab Ujang sedikit kesal.

"Bukan begitu A, lagi pula kita tidak mungkin bersatu A, orangtuamu tidak menyukaiku," ucapku menenangkan Ujang.

"Siapa bilang tidak mungkin Nul, kalau kamu mau, aku akan perjuangkan untuk mendapatkan restu orangtuaku. Kalau tidak mau, aku tetap tidak mau menikah dengan Eci," ucap Ujang serius.

"Aa tidak kasihan pada Eci kalau menggagalkan pernikahan kalian? Eci akan sedih dan malu A," ucapku menasehati Ujang.

"Lebih baik sedih dari sekarang Nul, daripada hidup dengan pria yang tidak mencintainya, lagi pula kami sudah putuskan perjodohan kok, meskipun resikonya orangtua Eci jadi memusuhi orangtuaku," jawab Ujang.

"Hah? di gagalkan? pasti orangtuamu marah dan menuduhku sebagai penyebabnya!" ucapku terkejut.

"Ya marah, tapi aku yakin, suatu saat orangtuaku memenuni keinginanku untuk meminangmu. Kamu tahu tidak siapa yang membelaku?" tanya Ujang.

"Siapa?" jawabku penasaran.

"Tanteku, yang dulu melahirkan di bantu Nyai," ucap Ujang.

"Kenapa Tante membelamu?" tanyaku heran.

"Karena Tante juga ternyata tidak suka dengan orangtuanya Eci yang sedikit sombong," jawab Ujang.

"Sssstttt ada orang A," bisikku pada Ujang.

"Nul, itu beberapa meter dari sini yang rumahnya besar itu, rumah rentenir, kenapa banyak yang jaga ya?" bisik Ujang.

          Aku dan Ujang berjalan pelan dan mendekati rumah rentenir. Mata kami terbelalak ketika melihat seseorang di seret dengan baju penuh darah. Seorang wanita memakai kebaya dan kain terbunuh dan di seret dua pria. Aku dan Ujang pelan-pelan mengikuti mereka. Jantung kami berdegup kencang ketika melihat wanita itu sudah menjadi mayat dan di kubur. Ujang menutup mulutku dengan tangannya, Ujang takut aku berteriak, Ujang menarik tubuhku dan membalikkan tubuhku menghadap dada Ujang, Ujang memeluk tubuhku dengan erat.

"Tenanglah Nul, kamu jangan lihat ini, sangat berbahaya Nul, jangan teriak," bisik Ujang sangat pelan di telingaku.

          Mereka menggali lobang tanah beberapa meter dari rumah rentenir itu. Tubuhku sangat gemetar, aku melihat kematian dan di kubur dengan tidak layak membuatku ingin teriak dan marah. Pikiranku melayang ingat Siti, aku berdoa tiada henti agar Siti baik-baik saja. Perasaan kalut, marah dan nyaman jadi satu berada di pelukan Ujang.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang