Sejak kejadian aku hampir diperkosa, Abah selalu mengantarkan aku ke Sekolah dan menjemputku. Kadang aku malu pada teman-teman, tapi mereka maklum karena perjalanan pulang ke rumahku memang rawan. Dua bulan kemudian saat aku dan Abah hendak pulang, aku bertemu enam pemuda yang pernah menggangguku."Wah... wah... masih berani lewat sini ya... sekarang ada Satpamnya yang jaga hahahaha," ucap pemuda itu mengejek aku dan Abah.
"Mulut dan tingkahmu seperti kotoran!" jawab Abah marah.
"Huaaaa, tua bangka ini berani menghina kita!" ucap pemuda dengan memamerkan golok yang di bawanya.
"Aku urus tua bangka ini, kamu urus gadis itu!" ucap pemuda memberi komando pada kawannya.
Aku tidak merasa gentar sedikitpun di dekat Abah, entah kenapa aku merasa tenang, aku melirik tangan Abah memegang sabuk besar dan diam-diam melepaskan kepala sabuk yang mengkaitnya.
"Nul, apa kita coba olah raga dengan mereka? kamu belum pernah menghajar orang kan?" ucap Abah berbisik.
"Boleh Bah!" balasku pelan.
Aku mulai melepas tas dan aku pegang ujung tali tas, mereka maju dengan menghunus golok ke arah Abah, tapi Abah dengan sigap menangkis dengan sabuk, dan memukul kepala sabuk ke wajah para pemuda itu, aku yang sudah risih dengan tingkah pemuda itu, aku ikut berkelahi dan menghajar mereka. Aku tidak menyangka bisa mengalahkan mereka bersama Abah.
"Ayo ikut! kamu harus di bawa ke balai desa biar kapok di hajar masa!" gertak Abah.
"Ampun Mbah, ampun, kami tidak akan mengulanginya lagi, ampun Mbah," ucap semua pemuda sambil bersimpuh di kaki Abah.
"Pulang sekarang!" bentak Abah.
"Iya Mbah," jawab enam pemuda sambil lari.
Aku dan Abah sepanjang jalan tertawa puas. Meskipun mereka bilang jera, Abah tetap saja mengantarkan aku ke Sekolah. Waktu berjalan begitu cepat, kadang aku banyak di hina tetangga karena aku anak seorang dukun dan gadis yang galak, tapi di Sekolah aku di puja, semua teman dan Guru menyukaiku karena prestasiku. Banyak pemuda yang kirim surat cinta dan hadiah, tapi entah kenapa, bagiku surat Ujang, tulisannya lebih indah dan jujur. Wajah Ujang terbayang lagi di pelupuk mataku, tiga tahun berlalu aku tidak bertemu dengannya. Orangtuanya memilih tinggal di Cirebon, Ujang ke Desa hanya untuk menengok Tantenya dan membersihkan rumah orangtuanya. Nyai dan Aki sangat bahagia melihat kelulusanku. Aku tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Aku tidak tega meninggalkan Nyai dan Aki. Tiga tahun belajar beladiri, aku semakin matang dan kuat. Hari-hariku hanya menunggu warung dan melayani pembeli. Warung kami semakin ramai di kunjungi, apalagi warung kami memperbolehkan warga hutang dengan bayar mencicil, atau bayar setelah panen. Banyak warga yang membeli di warung kami karena harganya murah, tapi tidak sedikit pula yang iri karena jualan kami laris. Saat warung hendak tutup karena sudah sepi, datang seorang pria membeli, tapi aneh dia menutup wajahnya dengan sarung yang di lipat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Saksi Kematian (SK)
Bí ẩn / Giật gânDewasa 18++ SK (Saksi Kematian) Part 1 Sebuah kisah perjalanan gadis kecil yang menyaksikan penderitaan Ibunya, diperkosa dan dibunuh. Ibunya tewas di patuk ular berbisa dalam keadaan telanjang. Gadis kecil yang didorong Ibu tirinya sampai jatuh ke...