Bab 76 Ayah Menul marah

3.5K 201 1
                                    

          Beberapa saat kami semua terdiam, Ibu tiriku hanya diam tidak bicara, aku yakin dia tidak menginginkan aku pulang bersama Ayah, tapi Ayah justru menyalahkan Nyai.

"Nyai, beginikah mendidik anakku? kenapa Ambar jadi melawan pada Ayahnya? apa Nyai sudah mempengaruhinya?" tanya Ayah pada Nyai.

          Mendengar Ayah berkata seperti itu membuatku sangat marah.

"Cukup Ayah! sejak kapan Ayah jadi orang yang buruk sangka? Ibu selalu mengajarkan aku untuk tidak berburuk sangka pada orang lain!" ucapku marah.

"Ayah tahu Ambar, tapi melihatmu melawan pada Ayah, pasti Nyai mendidik dengan cara yang salah!" jawab Ayah marah.

"Salah bagaimana Ayah?  aku bisa sekolah karena jasa Nyai, aku bisa menghapal Al Qur'an karena jasa Nyai, yang terus menemaniku belajar, kenapa Ayah menyalahkan Nyai? seharusnya Ayah berterimakasih pada Nyai!" ucapku marah dan meninggalkan Ayah di ruang tamu.

          Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarku. Ayah mengejarku dan mengetuk pintu.

"Ambar, buka pintunya, Ayah belum selesai bicara, buka pintunya Ambar!" teriak Ayah.

"Tidak Ayah! aku tidak mau pulang bersama Ayah!" jawabku dari kamar.

"Buka pintunya Ambar! melihatmu seperti ini, Ayah semakin yakin kamu harus ikut Ayah, kamu harus di didik Ayah dengan baik! buka Ambar, atau Ayah dobrak pintunya!" ucap Ayah dari luar.

          Mendengar Ayah akan mendobrak pintu, aku sangat panik, aku ambil jaket dan keluar dari jendela. Aku lari ke arah kebun, entah kenapa aku jadi takut pada Ayah. Aku penasaran apakah benar Ayah mendobrak pintu kamarku, aku diam-diam kembali ke rumah dan mendengar dari samping rumah, ternyata benar, Ayah sedang memarahi Nyai.

"Jadi inikah hasil didikan Nyai? anakku pergi dari jendela dan melawanku? Nyai sudah bicara apa pada Ambar sampai dia melawanku dan tidak mau ikut denganku?" bentak Ayah pada Nyai.

"Aku tidak tahu Bara, kamu lihat sendiri dari tadi aku hanya diam saja!" jawab Nyai.

"Baiklah, aku akan menyuruh orang-orang mencari Ambar malam ini juga! dan aku akan bawa Ambar secara paksa kalau dia tidak mau," ucap Ayah marah.

          Aku mendengar kemarahan Ayah jadi timbul rasa benci, kenapa justru setelah tahu aku masih hidup, Ayah begitu keras. Ayah tidak main-main dengan ucapannya. Ayah menyuruh pemuda-pemuda dan Bapak-bapak mencariku. Aku lari ke arah air terjun, tempat sepi yang tidak mungkin orang akan ke air terjun, karena sejak kematian Isti di air terjun, orang-orang menganggap angker jika malam tiba. Sudah dua jam aku di sisi air terjun, aku duduk di batu besar, udara sangat dingin menusuk tulang. Malam itu aku menggigil, rasa lelah teramat sangat membuat tubuhku semakin kedinginan. Dari jauh aku melihat cahaya dari senter, aku bangun dan menyelinap di balik pohon.

"Nul... Nul... apa kamu disini?" suara pria seperti aku kenal.

          Aku memandang dari jauh, pria itu sendirian, dalam cahaya bulan, aku masih bisa melihat dengan samar-samar, ternyata Ujang yang datang mencariku.

"Nul... Nul... ," suara Ujang terus memanggil dan berjalan ke arahku bersembunyi.

          Aku masih terdiam sampai aku yakin Ujang sendirian, begitu Ujang sangat dekat dengan tempat persembunyianku, aku menarik tangan Ujang.

"Astagfirullah, siapa kamu!" teriak Ujang.

"Ssssssttttttttt, aku Menul," ucapku berbisik.

"Nul? Alhamdulillah kamu ketemu, semua warga mencarimu Nul, Ayahmu yang menyuruh warga mencarimu," ucap Ujang.

"Sssstttt diamlah, aku tidak mau pulang bersama Ayah," jawabku pelan.

"Nul, tanganmu dingin sekali, mukamu pucat, pakai sarungku ya," ucap Ujang.

          Rupanya saat aku menarik Ujang, dia merasakan telapak tanganku sangat dingin. Ujang memakaikan sarung, tapi hawa masih terasa sangat dingin, Ujang tidak tega melihatku kedinginan.

                    ***

         

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang