BAB 17 Makan ari-ari

4.9K 282 3
                                    


           Ujang terus menghapal, dan telingaku semakin sakit. Jana entah pergi kemana, dia kabur mendengar Ujang mengaji.

"Diam! jangan baca surat Al Kahfi terus!" bentakku pada Ujang.

"Kamu? kamu tahu apa yang aku baca?" tanya Ujang keheranan.

"Ya tahulah! aku lebih hapal daripada kamu!" jawabku dengan sombong.

          Aku mulai tenang setelah Ujang berhenti dan membuka lembaran Kitab Al Qur'an.

"Kalau benar hapal, coba Ayat 35 bunyinya bagaimana?" tanya Ujang mengejekku.

"Wadakhala jannatahu wahuwa zhaalimun linafsihi qaala maa azhunnu an tabiida haadzihi abadaan!" aku langsung menjawab dengan dada yang terasa sesak.

"Artinya apakah kamu tahu Nul?" tanya Ujang penuh heran.

"Dan dia memasuki kebunnya, sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri, ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya," jawabku sambil cemberut.

"Kamu hebat Nul, kamu belajar di Pesantren mana?" tanya Ujang kagum.

          Ujang masih memandangiku, tapi aku cuek saja tidak menjawab pertanyaannya. Aku ingat Ibuku tiap malam Jum'at selalu membaca Surat Al Kahfi, bahkan Ibu sering melantunkannya. Ayah yang sering membacakan arti dari Ayat-ayat Al Qur'an. Aku terbiasa mendengar dan sangat cepat hapal. Meskipun aku sekolah saat usia 7 tahun, sejak usia 4 tahun aku sudah mampu membaca, karena Ibuku sering mengajarkan aku membaca dan berhitung.

          Air mataku mengalir deras, aku teringat kembali masa-masa indah bersama orangtuaku. Semuanya hancur berantakan karena ulah Isti. Tangisanku membuat Ujang merasa bersalah dan dia menenangkan aku. Suara bayi terdengar dari dalam rumah, dan 30 menit kemudian Nyai keluar dan mengajakku pulang. Sampai rumah Nyai menyimpan gumpalan daging ke baskom.

"Nyai itu apa?" tanyaku.

"Ini ari-ari, yang akan membuat tubuhmu semakin kuat dan kebal," jawab Nyai  tersenyum.

          Entah kenapa tiba-tiba perutku sangat lapar dan ingin sekali mencicipi darah segar dan daging itu. Aku memegang daging itu, dan melahapnya dengan rakus. Nyai memandangiku dengan senyum puas, tapi beda dengan Aki yang langsung menegur Nyai.

"Kau suruh apa lagi pada Menul?!" tanya Aki membentak Nyai.

"Sudah diam saja! aku akan melindungi Menul! tidak akan aku biarkan siapapun menyakiti Menul! dia harus kuat dan sakti!" jawab Nyai marah.

          Perutku sudah terasa kenyang dan aku langsung tidur tanpa membasuh mulutku yang penuh darah.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang