BAB 48 Abah Jenong datang

3.7K 247 2
                                    


          Diam-diam Nyai mencari Ayahku, Nyai merasa sudah sangat tua dan tidak ingin melihatku sendirian ketika Nyai tiada. Aku sendiri sudah lupa bagaimana Ayah sekarang, pasti usianya semakin bertambah. Untuk membantu Nyai, aku sering membuat keripik singkong dan aku titipkan di warung. Tenaga Nyai sudah tidak sekuat dulu, aku mencari kayu bakar, kadang membelahnya sendiri. Aki Setu juga semakin tua, aku selalu berdoa pada Tuhan agar memberikan umur panjang untuk Nyai dan Aki. Siang itu datang pria yang usianya di bawah Aki Setu.

"Assalamu'alaikum," ucap salam pria itu.

"Wa'alaikum salam, wah Jenong?" jawab Aki terkejut.

"Apa khabar Kang, sudah lama sekali aku tidak bertemu," jawab pria itu yang dipanggil Jenong.

"Sejak kau menikah dengan gadis dari luar Jawa, kamu sudah lupa sama kami! tidak pernah ada khabar darimu" ucap Aki bercanda.

"Ini siapa?" tanya pria itu.

"Ini Menul anakku," jawab Aki Setu.

"Sudah besar anakmu, cantik lagi!" jawab pria itu.

"Menul, kenalkan ini adik laki-laki Aki, panggil saja Abah Jenong.

"Iya Ki," jawabku memberi salam.

"Kok Abah?, paman dong," jawab Abah Jenong.

"Halah, Paman terlalu muda, kamu sudah tua hahahaha," jawab Aki berkelakar.

"Terserah saja Kang, Nyai mana?" tanya Abah Jenong.

"Biasa sedang keliling, urut perempuan yang hamil dan mau melahirkan," jawab Aki Setu.

          Aku membuat minuman untuk Aki dan Abah, mereka begitu bahagia dan tertawa terus. Nyai yang baru datang melihat Abah Jenong langsung gembira dan menyalami.

"Jenong? mimpi apa aku semalam, tiba-tiba kamu datang, mana istrimu? tidak di bawa?" tanya Nyai.

"Istriku sudah wafat dua bulan lalu, aku sudah pensiun, makanya aku kembali ke sini untuk membuka usaha, di sana sepi tidak ada yang menemaniku" jawab Abah sedih.

"Tinggallah di sini saja, supaya rumah ini jadi ramai, anakmu bagaimana? punya anak berapa Nong?" tanya Nyai serius.

"Kami selama menikah tidak di karuniai anak Nyai, kami mengangkat anak dan dia sudah menikah," jawab Abah.

"Kalau begitu tidak ada alasan menolak, kau harus tinggal di sini saja.
Nul, lihat Jenong ini jago karate, kamu bisa belajar dengannya Nul," ucap Nyai girang.

"Apa aku tidak mengganggu jika tinggal di sini?" tanya Abah Jenong.

"Ya tentu saja tidak, kami senang kalau kamu tinggal di sini," jawab Nyai.

          Tambah satu keluarga lagi, aku belum terlalu dekat dengan Abah, tapi dia terlihat baik. Bahkan Abah sekarang melarangku mencari kayu bakar.

"Nul, sudah letakkan kayu itu ya, kamu tidak boleh mencari kayu bakar lagi, biar Abah nanti yang mencari kayu," ucap Abah.

"Iya Abah," jawabku.

          Abah membeli papan dan bambu, Abah membangun gubuk kecil depan rumahku.

"Abah, gubug ini untuk apa? apakah untuk tidur Abah? di dalam masih ada kamar, kenapa tidur di luar?" tanyaku heran.

"Bukan Nul, ini bukan untuk tidur Abah, ini warung Nul, kamu tidak perlu keliling jualan lagi, nanti kakimu kasar jika berjalan terlalu lama, warung ini buatmu, nanti kita belanja di pasar bersama Nyaimu ya," jawab Abah.

          Aku gembira sekali Abah membuatkan warung, sejak ada Abah, kami sangat berkecukupan. Bahkan Abah sedikit demi sedikit memperbaiki rumah kami. Pagi itu di hari libur, Abah dengan semangat mengajak kami ke pasar.

"Ayo semuanya ikut, kita ke pasar membeli keperluan barang, supaya besok warung sudah bisa di buka," ajak Abah.

"Kamu punya uang banyak ya Nong?" tanya Nyai.

"Sudah ikut saja, warung ini nanti gantian Nyai dan Menul yang jaga, supaya Nyai tidak keliling lagi memijit," jawab Abah.

"Terimakasih ya Nong, kamu sudah perhatian sama iparmu, aku sudah tua tidak bisa berbuat banyak untuk Nyai dan Menul," ucap Aki ikut bicara.

"Sudahlah kalian ini saudaraku, cuma kalian yang aku miliki saat ini, jadi jangan bilang terimakasih, anggap saja balasan karena aku sudah pergi bertahun-tahun tanpa mengabari, dan tidak pernah memberi apapun untuk kalian,"  ucap Abah sedih.

           Kami berempat ke pasar dengan canda riang, kadang terselip kesedihan jika ingat Ayah dan Ibu, jika tidak ada mereka aku tidak sebahagia ini. Abah membeli banyak barang, aku di belikan tas, sepatu dan baju. Mataku tertuju pada penjual kain, aku seperti mengenalnya, rambutnya putih dan memakai kopiah. Aku mengingat lagi siapakah yang aku lihat, aku penasaran mendekati penjual itu.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang