BAB 68 Menul dipermalukan Ibunya Ujang

3.5K 221 5
                                    


          Kepalaku sedikit pening karena tidak tidur, aku terus berdiri di depan cermin dan mencoba memakai kerudung pemberian Ujang. Aku ingin Ujang senang melihatku memakai kerudung pemberiannya. Aku bertekad ke rumah Ujang untuk meminta Ujang tidak pergi. Aku pamit pada Nyai, dalam langkahku terus berharap Ujang membatalkan kepergiannya setelah aku memintanya. Tapi belum sampai di depan rumahnya, Ibunya Ujang ada di depan halaman rumahnya sedang ngobrol bersama tetangganya. Ibunya Ujang sangat murka melihatku datang.

"Mau apa kamu kemari?!" tanya Ibunya Ujang marah.

"Aku mau bertemu Ujang Bu," jawabku jujur.

"Perempuan tidak tahu malu! kamu tidak laku ya! sampai mengejar-ngejar anakku!" teriak Ibunya Ujang.

          Bagai di sambar petir, ucapan Ibunya Ujang sangat menusuk hatiku.

"Owh kamu pakai kerudung supaya aku merestui kamu? sini kamu! ini kerudung pemberian Ujang kan?!" teriak Ibunya Ujang sambil menarik kerudungku.

          Semua tetangga melihatku dan hanya terdiam di tempatnya berdiri, Ujang yang mendengar teriakan Ibunya langsung keluar dan melihat Ibunya menarik kerudung yang aku pakai.

"Ibu, Ibu ini apa-apaan?, tidak baik menyakiti orang Bu," ucap Ujang membelaku.

"Jadi kamu membeli kerudung ini untuk Menul hah!" teriak Ibunya Ujang marah.

"Iya Bu, sudahlah Bu, aku sudah dewasa, tolong Bu jangan begini," ucap Ujang memohon pada Ibunya.

"Tidak Jang, Ibu tidak sudi kamu membelikan anak dukun itu kerudung, heh Menul pergi dari sini, pergi!" teriak Ibunya Ujang.

          Aku yang dari tadi diam menahan marah dan menahan tangis, langsung pergi dan lari. Aku sudah tidak peduli semua orang memandangku, aku lari sambil menangis. Ujang langsung mengejarku, dan aku terus berlari jauh.

"Nul tunggu, Nul!" teriak Ujang.

          Ujang berhasil menarik tanganku, dan aku tepiskan.

"Cukup A, sudah cukup! jangan membelaku lagi, jangan berbuat baik lagi, dan jangan dekati aku lagi!" teriakku pada Ujang sambil menangis.

"Nul, maafkan Ibuku, maafkan aku Nul," ucap Ujang sedih.

"Ibumu benar A, aku gadis yang tidak pantas dan sangat hina, aku anak seorang dukun! jauhi aku dan jangan pernah lagi muncul di hadapanku!" ucapku sambil menangis.

"Nul, sabar... jangan menangis terus, Aa jadi sedih Nul," ucap Ujang sambil melangkah maju menghampiriku.

"Jangan mendekat! pergi! pergi! aku tidak mau melihatmu lagi!" teriakku sambil mundur kebelakang, karena Ujang mendekatiku.

          Ujang terus maju dan tidak peduli dengan ucapanku, Ujang menarik tanganku dan memelukku.

"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan pelukan Ujang.

"Maafkan aku Nul, aku akan tanggung dosaku sudah menyentuhmu, aku tidak akan melepaskan pelukanku sebelum kau berhenti menangis," ucap Ujang menenangkan aku.

          Aku sudah tidak tahan lagi, di pelukan Ujang, tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Maafkan aku Nul, maafkan aku," bisik Ujang dengan suara serak.

"Lepaskan aku, Aa mau pergi kan? pergilah, dan jangan pernah kembali dan menemuiku lagi," ucapku dalam tangisan.

"Tidak Nul, aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan kamu sedih seperti ini, aku tidak akan pergi," bisik Ujang semakin erat memelukku.

"Lepaskan aku, kalau ada yang melihat, aku akan semakin di hina orang berpelukan dengan pria!" ucapku memohon.

"Baik, aku lepaskan, tapi kau harus berjanji tidak menangis lagi, dan jangan memintaku pergi yah?" jawab Ujang.

"Iya!" ucapku sambil mengangguk.

"Ayo, sini Nul, kita duduk dulu di sini, Aa mau tanya kenapa datang ke rumah?" tanya Ujang penasaran.

"Aku... aku... aku," jawabku gugup.

"Tenanglah Nul, aku janji tidak akan meninggalkanmu, Aa putuskan tidak jadi pergi, kamu harus tenang ya?" ucap Ujang menenangkan aku.

          Aku merasa heran, kenapa Ujang tahu, kalau aku datang ke rumahnya untuk meminta dia tidak pergi meninggalkan aku.

"Kok Aa tahu maksudku ke rumahmu?" tanyaku heran.

"Sudahlah, jangan pikirkan itu, yang penting Aa tidak jadi pergi yah," jawab Ujang sangat menjaga perasaanku.

          Aku tersipu malu, Ujang seperti tahu perasaanku, Ujang memandangku sambil tersenyum.

"Nah, begitu dong, kalau senyum tambah manis Nul," ucap Ujang memuji.

"Jadi kalau tidak senyum aku pahit?!" ucapku ketus.

"Kalau tidak senyum kamu tetap cantik Nul," jawab Ujang merayu.

"Sejak kapan Aa pandai merayu?" tanyaku mengejek Ujang.

"Sejak mengenalmu... " jawab Ujang singkat.

"Ya sudah aku mau pulang! aku mau ke pasar," ucapku sambil berdiri.

"Aku antar yah," ucap Ujang ikut berdiri.

"Tidak usah! nanti Ibumu tahu, marah lagi!" jawabku.

          Aku pergi meninggalkan Ujang, aku berlari kecil, tapi aku hentikan langkahku dan berbalik memandang Ujang yang masih berdiri memandangku.

"Aa janji tidak pergi kan?!" teriakku dari jauh.

"Iya!" teriak Ujang dari jauh.

          Aku tersenyum dan malu mendengar jawaban Ujang. Luka di hatiku karena Ibunya Ujang hilang begitu saja setelah Ujang menenangkan aku.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang