BAB 56 Patah hati

3.6K 243 3
                                    


          Menjelang pagi tingkahku sedikit aneh, aku banyak bercermin dan melihat wajahku sendiri. Aku senyum sendiri dan tertawa sendiri. Apalagi jika ingat keusilan Ujang.

"Anak Nyai lagi senang ya?, hemmmm senyum terus? pasti karena Ujang datang kan?" ucap Nyai mengejekku.

"Tidak kok, aku sedang gembira saja, tapi Nyai tahu dari mana Ujang datang?" tanyaku pada Nyai.

"Tadi pagi Nyai ketemu dengan Ibunya Ujang, katanya Ujang sudah pulang, dan sebentar lagi katanya Ujang akan menikah dengan Eci," jawab Nyai.

          Bagai disambar petir di siang hari mendengar ucapan Nyai. Jantungku rasanya berhenti seperti tertusuk pisau tajam. Semua angan musnah, harapan palsu membuatku marah besar pada Ujang. Kebencianku saat itu juga muncul, ingin rasanya menampar Ujang yang sudah berani merayu dan memberi harapan palsu padaku.

"Kamu kenapa Nul? kok diam? kamu sedih Nul?" tanya Nyai.

"Sedih? tidak Nyai, Ujang dan aku hanya berteman, tidak ada alasan marah Nyai," jawabku berbohong.

          Rasanya ingin marah, tapi marah pada siapa, apakah itu yang di namakan patah hati. Jiwaku terus berontak dan bertanya-tanya, kenapa pria selalu mudah mempermainkan wanita. Aku pamit pada Nyai hendak ke pasar. Aku berjalan menatap jalan dengan tatapan kosong, seperti terbang separuh jiwaku. Kesedihan yang mendalam sangat terasa. Di belakangku tiba-tiba ada suara memanggilku.

"Nul... , Nul... tunggu!" teriak Ujang.

          Mendengar suaranya ingin sekali aku tumpahkan kemarahanku.

"Tunggu Nul, aku temani ke pasar yah? kata Nyai kamu mau ke pasar?," ucap Ujang.

"Tidak perlu! jangan ganggu aku lagi!" jawabku marah.

"Kenapa Nul?" tanya Ujang pelan.

"Apa Aa mau, aku dihina dan di caci maki keluargamu dan calon istrimu?! Aa mau menikah bukan? jadi jangan pernah dekati aku dan ganggu aku!" jawabku dengan nada keras.

"Nul, itu bukan rencanaku, aku mencintaimu Nul, ini yang akan aku bicarakan denganmu, jika kamu mau menerima lamaranku, akan aku batalkan perjodohan aku dan Eci," jawab Ujang.

"Jahat sekali pikiranmu A! jadi kamu mau menyakiti Eci hanya demi aku? kenapa dari awal tidak kau batalkan? aku tidak pernah mau hidup dengan pria yang tidak punya pendirian!" ucapku sambil meninggalkan Ujang.

"Nul, tunggu dulu, aku sengaja pergi bertahun-tahun untuk menghindari perjodohanku, aku kira Eci bisa melupakan dan akan menemukan pria lain dan sudah menikah. Tapi ternyata dia masih menungguku," ucap Ujang sambil mengejarku.

"Jelas saja Eci masih berharap karena Aa masih memberi harapan! pergi! aku tidak mau melihatmu lagi!" ucapku mengusir Ujang.

          Aku lari sambil menangis, aku tidak tahan menghadapi Ujang. Pria yang aku anggap baik dan sering membelaku akan menjadi milik orang lain.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang