Bab 82 Bara melarang Menul Pulang

3.6K 212 4
                                    

          Yai dan Ujang ngobrol menggunakan Bahasa Arab, tapi Ayah tetap terlihat tidak suka.

"Siapa namamu?" tanya Ayah pada Ujang.

"Saya Ujang Pak," jawab Ujang.

"Keperluanmu kemari ada apa?" tanya Ayah.

"Aku hanya memenuhi permintaan Menul untuk menengoknya," jawab Ujang dengan bijak.

          Aku tidak menyangka Ujang tidak menyebut nama Nyai yang menyuruhnya, tapi Ayah langsung marah.

"Namanya bukan Menul, dia Ambar!" ucap Ayah dengan nada tinggi.

"Iya Pak," jawab Ujang sopan.

"Ayah, aku pamit pulang," ucapku tidak sabar.

"Apa?! Pulang?! ini sudah malam Ambar! nanti saja!" jawab Ayah.

"Ayah lupa janji Ayah? aku mau pulang, aku tidak bisa tidur kalau tidak di kamarku sendiri!" jawabku ketus.

"Ini sudah malam Ambar, tidak baik kamu berjalan berdua dengan pria yang bukan muhrim!" ucap Ayah.

"Ayah, Ujang tidak akan berbuat macam-macam, aku sudah mengenalnya dengan baik, dia juga lulusan Pesantren kok," jawabku lugas.

"Apa masalahnya dengan lulusan Pesantren? justru orang yang sudah jadi Santri harusnya tahu batas! tidak berjalan dengan perempuan berduaan mau siang atau malam!" jawab Ayah.

"Tidak Ayah, aku tetap pulang malam ini juga," ucapku mulai kesal.

"Kamu tidak patuh pada Ayah?" ucap Ayah sedikit sedih.

"Aku patuh Ayah, tapi aku harus pulang, aku tidak bisa tidur di tempat lain," jawabku.

"Ambar, ini malam, kalau ada orang jahat bagaimana?" tanya Ayah khawatir.

"Ayah, aku sudah menghadapi orang jahat sejak kecil, bahkan orang yang terlihat baik justru dia adalah pembunuh! aku percaya pada Allah yang selalu melindungiku dari kecil," ucapku melunak.

"Sudahlah Bara, aku kenal Ujang, dia anak yang baik, dia tidak mungkin berbuat macam-macam," ucap Yai menengahi.

"Yai kenal dimana?" tanya Ayah.

"Banyak orangtua yang minta ta'aruf menikah dengan dia, tapi dia menolak karena dia sudah punya pujaan hati, mungkin pujaan hatinya itu Ambar," ucap Yai.

"Apa kamu serius mencintai anakku?" tanya Ayah pada Ujang.

"Iya Pak," jawab Ujang sopan.

"Kamu janji akan menjaga Ambar, dan tidak menyentuhnya sebelum halal?" tanya Ayah.

"Insyaa Allah, aku selalu menghormati Ambar dan akan menjaganya dengan baik," jawab Ujang.

"Dan kamu Ambar? apa Ujang pilihanmu?" tanya Ayah.

          Aku bingung mau menjawab apa, aku takut jika aku bilang iya, Ayah akan menyuruh orangtua Ujang melamarku. Sedangkan Ibunya Ujang masih marah.

"Ayah, sudahlah, aku belum berpikir untuk pilihan, aku pulang dulu Ayah," jawabku.

"Baiklah, nanti Ayah akan menengokmu kesana, hati-hati di jalan," ucap Ayah.

          Ayah memelukku sangat lama, aku melirik Ibu tiriku hanya cemberut dan mukanya sangat asam. Aku menghampiri Ibu tiri dan menyalaminya.

"Ibu, aku pulang, oh iya, kalau boleh aku beri saran, Ibu akan semakin cantik jika tersenyum, apalagi senyum itu ibadah Ibu, dan jangan takut aku akan merebut Ayah," ucapku kesal.

"Ambar? tidak sopan bicara begitu pada Ibu," ucap Ayah.

"Aku hanya memberi saran sedikit Ayah, karena yang aku ingat, dulu Ibu Ami selalu murah senyum dan manis sekali," jawabku mengejek Ibu tiri.

"Ambar?!" bentak Ayah.

"Iya Ayah, tidak usah marah, sepertinya Ayah sudah tertular galaknya ya," ucapku menyindir.

"Kamu nyindir aku Ambar?! tanya Ibu tiri marah.

"Ibu merasa tersindirkah? apa Ibu mengakui galak?" tanyaku menahan tawaku.

"Kamu!" teriak Ibu tiri menghentikan marahnya.

"Ambar, minta maaf pada Ibu," perintah Ayah.

"Minta maaf? apa salahku Ayah?, aku benar kan Ayah? aku lihat dia sering marah pada Ayah, dulu Ibu Ami tidak pernah marah!" ucapku jengkel.

"Ambar?!" ucap Ayah bingung.

"Iya maaf!" ucapku menatap Ibu dan berlalu dari hadapannya.

          Aku dan Ujang melangkah keluar, Ujang terdiam dan tidak banyak bicara, aku bingung mau mengawalinya darimana, aku berpikir pasti Ujang marah saat aku ditanya Ayah apakah Ujang pilihanku, tapi aku mengalihkan pertanyaan Ayah.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang