BAB 9 Ayah menikah dengan Isti

5.7K 276 1
                                    


          Dalam beberapa hari Ayah terlihat kusut dan murung. Ingin sekali aku bicara pada Ayah tapi selalu gagal. Setiap ingin bicara dengan Ayah, aku ingin menangis dan menahannya, hingga sakit tenggorokanku. Nenek berhasil mengancam dan membujuk Ayah untuk menikahi Isti. Baru 100 hari kematian Ibuku, Nenek memaksa Ayah menikahi Isti. Tidak ada pilihan bagi Ayah selain menikahi Isti, karena Ayah sangat berbakti pada Nenek. Pernikahanpun terjadi, dan seperti terkoyak dan tercabik jantungku melihat Isti menjadi istri Ayah.

          Mulai saat itu, aku bukan hanya membenci Isti, tapi juga membenci Ayah yang terlalu cepat mengambil keputusan. Dalam beberapa minggu Isti mulai cemberut dan marah, selama menikah, Ayah tidak mau menyentuhnya. Ayah memilih tidur bersamaku.

          Setiap Ayah pergi ke pasar, aku menjadi pelampiasan kemarahan Ibu tiriku, aku dilarang ke sekolah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah. Di depan Ayah Ibu tiriku sangat manis, tapi di belakang Ayah, pahitnya melebihi empedu. Ayah mulai tidak betah di rumah, dan akan berdagang kembali ke luar Kota. Aku mendengarnya sangat sedih. Bagaimana tidak, ada Ayah saja aku disia-sia, bagaimana jika Ayah jauh?

          Ayah mulai mempersiapkan bekal untuk pergi, Isti masih melayani dan membantu Ayah Packing barang jualan. Saat Ayah pamit, Ayah memelukku sangat lama, dan memberi pesan pada Isti.

"Tolong titip anakku, jaga anakku baik-baik," pinta Ayah pada Isti.

"Jangan khawatir Kang, aku akan menjaganya seperti menjaga anakku sendiri", jawab Isti.

          Ayah melepaskan pelukanku, dan pergi meninggalkan aku, entah kenapa tiba-tiba spontan aku memanggil Ayah.

"Ayah... ," suaraku memanggil Ayah.

          Isti terkejut mendengar aku bisa bicara, langkah Ayahku terhenti dan berbalik memandangku dan mengahampiriku.

"Ambar... kau bisa bicara Nak? Alhamdulillah," bisik Ayah sambil memelukku.

"Ayah...  dia... ," ucapku sambil menunjuk jariku kearah Isti.

          Isti yang mengetahui aku akan bicara pada Ayah, langsung menghampiriku dan memelukku.

"Ambar... kau bisa bicara? aku senang sekali Ambar... ", ucap Isti sambil memelukku, dan menekan tanganku dengan kencang.

"Kang, berangkatlah, biar Ambar bersamaku," perintah Isti pada Ayah.

          Ibu tiriku tidak memberikan kesempatan aku bicara, Ayah pergi berlalu begitu saja tanpa bertanya apa yang ingin aku sampaikan. Aku semakin membenci Ayah.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang