BAB 16 Sahabat baru

5K 286 4
                                    


Akhirnya Nyai kembali setelah membawa ular keluar, Nyai langsung menyambut tamu yang sudah duduk di atas tikar.

"Ada Ujang? kapan datang? apa sedang liburan?" tanya Nyai pada Ujang.

"Iya Nyai, Pesantren libur dua minggu Nyai," jawab Ujang ramah.

"Ada apa kemari? ada perlu dengan Nyai atau Aki?" tanya Nyai kembali.

"Perlu dengan Nyai, Tante mau melahirkan Nyai, dia sudah mulas perutnya," jawab Ujang.

"Ya baiklah, kamu pulang saja dulu, Nyai siapkan semuanya, nanti Nyai menyusul ya," ucap Nyai.

Ujangpun pulang, ternyata namanya Ujang, lumayan tampan, wajahnya bersinar. Aku jadi ingat Ayah, dulu Ayah juga pernah mondok di Pesantren. Nyai mengobati luka di kakiku dengan tumbukan daun pete cina.

"Nul, kamu ikut Nyai ya ke rumah tantenya Ujang," ucap Nyai sambil berkemas.

"Iya Nyai... ," jawabku.

Jana mengikuti aku dan Nyai dari belakang, aku sudah tidak takut lagi dengan Jana karena sudah terbiasa melihat. Aku punya sahabat baru yang bisa diajak ngobrol, meskipun dia jin. Sampai rumah Tantenya Ujang, aku melihat Ujang terus memandangiku dengan heran. Nyai masuk ke dalam rumah dan aku menunggu di teras rumah. Ujang memberiku air minum dan makanan ringan khas Desa, opak, rengginang dan tape ketan.

"Silahkan diminum dan dimakan," ucap Ujang dan duduk disampingku.

Ujang memandangku semakin heran ketika melihatku tersenyum dan bicara dengan Jana.

"Siapa namamu?" tanya Ujang.

"Am... Menul!" jawabku hampir menyebut nama Ambar.

"Kamu kenapa sering tersenyum dan tertawa sendiri?" tanya Ujang membuatku tersinggung.

"Maksudmu? aku sedang bicara dengan sahabatku Jana!" jawabku tersinggung.

"Tapi di sini tidak ada siapa-siapa, kalau orang melihatmu, nanti dikira gila lho?" ucap Ujang mengejekku.

"Aku tidak gila! kamu yang gila!" jawabku marah.

"Jana! ini tangkap!" perintahku pada Jana.

Aku melempar rengginang ke arah Jana, dan Ujang terkejut dan mengejekku.

"Wah, kamu bisa sulap? rengginangnya terbang!" ucap Ujang keheranan.

Entah kenapa aku mudah marah sekali, padahal Ujang tidak bersalah, tapi ucapannya membuatku semakin benci pada Ujang. Jana mengingatkan aku agar tidak banyak bertanya dan bicara. Akhirnya aku hanya diam sambil memandangi bintang yang bertaburan di langit lewat celah-celah ranting pohon yang rindang.

"Hey, jangan melamun," Ujang mengagetkan aku.

"Diam! jangan ganggu aku!" hardikku pada Ujang.

Ujang menghindar dan menjauh, dia memegang Kitab dan menghapal salah satu surat Al Kahfi. Telingaku terasa panas, darahku mendidih, dadaku panas mendengar alunan Ayat-ayat suci Al Qur'an. Biasanya setiap mendengar alunan Ayat suci jiwaku terasa sejuk dan bergetar. Tapi malam itu berbeda.

***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang