Bab 84 Ujang cemburu

3.6K 197 2
                                    

Aku tidak tega melihat Ujang membopongku, aku memintanya berhenti dan ganti posisi di gendong. Sebenarnya aku tidak tega, tapi malam semakin larut, dan kakiku semakin nyeri. Mendekati pancuran Ujang berhenti, Ujang sepertinya haus dan minum dari air pancuran, Ujang ambil air wudhu dan Sholat di atas batu. Aku sebenarnya kagum dan tersentuh dengan sikap Ujang. Tapi entah kenapa aku mudah sekali tersinggung dan marah. Selesai Sholat Ujang menghampiriku dan duduk disisiku.

"Masih sakit Nul?" tanya Ujang.

"Kalau tidak sakit, aku sudah lari dan sudah sampai rumah!" jawabku ketus.

"Masih marah?" tanya Ujang pelan.

Aku tidak menjawab pertanyaan Ujang, hanya diam sambil cemberut.

"Nul, boleh Aa menasehatimu?" tanya Ujang sambil menatapku.

"Bicara saja! aku dengar kok!" jawabku ketus.

"Aku tahu kamu masih marah pada Ayahmu dan Ibu tirimu, tapi ucapanmu pada mereka itu tidak baik Nul," ucap Ujang menasehati.

"Aa membela mereka?" tanyaku heran.

"Tidak, bukan membela mereka, tapi ingatlah, bagaimanapun mereka adalah orangtuamu, jika menurutmu, mereka membuatmu sakit hati, bukan berarti kamu harus membalasnya Nul," ucap Ujang pelan.

"Aku tahu aku salah, tapi seharusnya mereka juga mengerti perasaanku, kalau aku tidak melawan, Ayah akan semena-mena terhadapku," jawabku marah.

"Aku tahu Ayahmu Nul, tidak mungkin akan semena-mena," jawab Ujang menasehati.

"Jadi aku harus patuh? itu maksud Aa?" tanyaku pada Ujang.

"Sebagai anak memang seharusnya begitu Nul," ucap Ujang.

"Kalau begitu, kenapa Aa tidak patuh pada Ibumu saat di jodohkan dengan Eci?" tanyaku kembali.

"Karena pernikahan itu tidak main-main, aku akan jadi pemimpin dalam keluarga Nul, kalau aku tidak mencintai istriku, bagaimana aku bisa jadi imam yang baik?" jawab Ujang jujur.

"Baiklah kalau menurut Aa aku harus patuh, besok-besok kalau Ayah datang, aku akan katakan pada Ayah, aku menerima tawaran Ayah dan Yai untuk mencari jodoh untukku, Ayah dan Yai sedang ta'aruf dengan anak Ustad, dia tampan, soleh dan punya pekerjaan," ucapku menguji Ujang.

"Apa? Ayahmu sedang mencarikanmu jodoh?" tanya Ujang terkejut.

"Iya! kata Ayah, supaya aku tidak tinggal dengan Nyai dan aku harus tinggal bersama suamiku nanti," jawabku.

"Kamu menerimanya Nul?" tanya Ujang.

"Awalnya menolak, tapi karena Aa menasehatiku agar aku patuh pada Ayah, ya aku akan patuh, bukankah wanita tidak boleh menolak ketika di lamar pria yang soleh?" jawabku lugas.

"Kamu tega meninggalkan aku Nul? secepat itukah melupakan aku?" tanya Ujang cemas.

"Lho? katanya aku harus patuh?" jawabku sambil menahan tawaku.

"Iya, tapi bukan soal jodoh Nul," ucap Ujang sedih.

"Lalu? apa aku harus melawan Ayahku dengan menolak?" tanyaku menguji.

"Aku tidak tahu Nul, pantas saja saat Ayahmu bertanya apakah aku pilihanmu, kamu tidak mau menjawab dengan jujur," jawab Ujang cemas.

"Kata Nyai, jodoh itu tidak akan kemana, tidak perlu di kejar, di dekati dan di jauhi," ucapku pada Ujang.

Ujang terdiam dan seperti berpikir tentang apa yang aku ucapkan.

"Kok diam?" tanyaku mengagetkan Ujang.

"Kamu cantik dan pintar Nul, kalau Ayahmu menjodohkan dengan pria anak Ustad, aku yakin tidak ada pria yang menolakmu," ucap Ujang sedih.

"Aa cemburu ya?" tanyaku mengejek.

"Kenapa harus kau tanyakan berulang-ulang apakah aku cemburu?" tanya Ujang.

"Mau tahu saja, perasaan itu bisa saja berubah bukan?" ucapku menguji Ujang.

"Rasanya perasaan itu tidak akan berubah Nul, terlalu sulit melupakan dirimu, kecuali aku mati," ucap Ujang.

"Stop! sudah jangan bicara kematian! aku tidak suka!" bentakku pada Ujang.

"Ya sudah kita lanjutkan perjalanan, sebentar lagi sampai, naiklah ke punggungku," ucap Ujang sambil berjongkok.

Seandainya saja Ujang tahu, aku menolak di jodohkan Ayah, tapi aku lebih senang melihat Ujang cemburu, ternyata Ujangpun banyak menolak gadis.

"Aa, apakah tidak jadi mencari pekerjaan di kota?" tanyaku memecah keheningan.

"Tidak Nul, aku sedang mengurus kebun cengkeh dan jagung, lumayan penghasilannya Nul," jawab Ujang.

"Apa Ibumu masih marah?" tanyaku penasaran.

"Tidak, Ayahku memarahi Ibuku agar tidak mengganggumu lagi, apalagi setelah Ayahku tahu kamu anak Ustad, Ayah melarang Ibuku marah lagi," ucap Ujang.

"Aku sudah lama sekali tidak menengok makam Ibu, apakah Aa mau menemaniku ke makam Ibuku?" tanyaku kembali.

"Boleh, asal ke sana di saat Aa sudah selesai mengurus cengkeh yang akan di kirim ke kota ya Nul," jawab Ujang senang.

"Baiklah, aku juga sudah kangen dengan rumahku yang dulu," ucapku sambil mengenang masa lalu.

"Ya, akan Aa temani, ingat! jangan di temani pria yang akan di jodohkan Ayahmu ya?" ucap Ujang menyindir.

"Hahahahaha, Aa cemburu ya?" ucapku sambil tertawa.

"Nul?" bisik Ujang sambil menoleh ke arah belakang.

"Kenapa? kok berhenti?" tanyaku heran.

"Baru kali ini aku mendengarmu tertawa," jawab Ujang heran.

"Hemmmm Aa mengalihkan pertanyaanku ya?! akui saja Aa cemburu tuh!" ucapku mengejek.

"Iya, iya Aa ngaku tuan putri? Aa cemburu? sudah puas?!" jawab Aa spontan.

"Kok puas? Aa yang cemburu kenapa aku yang puas? biasa aja tuh!" jawabku mengelak.

"Iya, apalagi selain marah, senang sekali melampiaskan kemarahanmu pada Aa kan?" ucap Ujang mengejek.

"Ya memang pantas di marahi! aku marah pasti ada sebabnya!" ucapku membela diri.

"Tidak ada sebabpun, kamu senang sekali marah Nul," jawab Ujang.

"Jadi tidak suka aku marah?" tanyaku ketus.

"Kalau tidak suka, mana mungkin mau menggendongmu Nul," jawab Ujang menghibur.

"Iya sih, nanti pulang-pulang sakit pinggang, jangan salahkan aku ya!" ucapku menggoda Ujang.

"Tidaklah, aku tidak akan salahkan kamu Nul, tapi kamu yang harus mengobatiku hehehe," ucap Ujang bercanda.

Tidak terasa dalam perjalanan bersama Ujang di warnai marah dan bercanda, bersama Ujang selalu saja dia mengalah dan berakhir bahagia, waktu selalu terasa singkat saat dimana aku merasa bahagia bersama Ujang.

***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang