BAB 69 Nyai melarangku bertemu Ujang

3.6K 213 0
                                    


          Aku berlari menuju rumahku, dari kejauhan aku melihat Nyai, Abah dan Aki sudah menunggu di depan rumah. Wajah mereka tegang dan memandangku dengan wajah cemberut.

"Nul, duduk sini Nyai ingin bicara," ucap Nyai dengan nada sedikit tinggi.

"Iya Nyai, ada apa?" jawabku heran.

"Tadi Ibunya Ujang datang dan marah-marah, katanya kamu ke rumahnya dan memakai kerudung pemberian Ujang, dia marah dan meminta Nyai agar kamu tidak lagi berhubungan dengan Ujang. Dan keputusan Nyai, mulai hari ini kamu tidak boleh bertemu dengan Ujang lagi. Kalau Menul sayang Nyai, lupakan Ujang, dan jangan pernah mau bertemu dengan Ujang lagi," ucap Nyai serius.

"Iya Nyai," jawabku sedih.

"Ya sudah sana masuk sarapan dulu, terus ke pasar belanja Nul," perintah Nyai.

"Aku belum lapar Nyai, biar langsung ke pasar saja," jawabku sedikit malas berjalan.

          Aku berjalan melintasi kebun dan sawah menuju pasar, sengaja aku lewat lebih jauh menuju pasar, agar aku bisa berjalan di tempat sepi, agar tidak ada orang yang tahu aku sedang menangis. Perasaanku sangat sedih, hatiku bagai tercabik-cabik mendengar Nyai melarangku bertemu Ujang. Tapi aku sadar, ucapan Ibunya Ujang sangat menyakitkan hatiku. Aku tidak boleh egois hanya mementingkan perasaanku. Air mataku tidak terasa terus menetes, aku berjanji dalam hatiku saat itu, "aku tidak akan bertemu denganmu lagi A, aku akan melupakanmu, dan membuang jauh-jauh perasaan cintaku padamu A," ucapku dalam hati. Aku tidak menyadari dari kejauhan ada yang berlari dan mengejarku.

"Nul, tunggu!" teriak Ujang.

"Aa, mau apa menyusulku?" tanyaku sambil buru-buru mengusap air mataku.

"Nul, aku dengar dari Tanteku, Ibuku ke rumahmu ya, maafkan Ibuku ya Nul, apa dia menyakitimu?" tanya Ujang sedih.

"Iya, A...,  dia datang dan marah pada Nyai, Ibumu mengancam Nyai agar melarangku bertemu denganmu," jawabku lugas.

"Aku minta maaf ya Nul," ucap Ujang memohon.

"Aku maafkan A, dan ini terakhir aku dengar Aa minta maaf, aku tidak mau lagi bertemu denganmu, lupakan aku, dan jangan pernah ganggu aku lagi. Aku mohon A, aku tidak mau gara-gara Aa mencintaiku, banyak orang yang terluka dan marah. Pulanglah, hargai keputusanku," ucapku terasa berat.

"Tapi Nul," ucap Ujang sedih.

"Tolong jangan egois A! apa Aa senang tiap hari aku di maki Ibumu? aku di permalukan Ibumu? Aa senang?, lupakan aku A, tolong pergilah!" ucapku memohon.

"Nul... !" teriak Ujang.

"Pergi A! jangan buat aku marah lagi! sudah cukup pertemuan kita hari ini yang terakhir! aku tidak mau lagi dan tidak sudi terus di hina dan di caci maki Ibumu! pergi!" teriakku sambil melangkah pergi meninggalkan Ujang.

          Ujang berdiri menatap kepergianku, Ujang yang selalu membelaku dan menyayangiku dengan tulus, tapi semua sia-sia karena tidak ada yang mendukung kami. Hatiku hancur lebur, tidak ada gairah lagi dalam hidupku. Entah apakah ada pria yang lebih baik dari Ujang. Saat itu aku hanya fokus membantu Nyai. Hari-hariku terasa hampa, biasanya Ujang mengganggu, menggoda, merayu dan menghiburku. Nyai, Aki dan Abah merasa kasihan melihatku banyak melamun, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain demi kebaikanku, agar tidak terus di hina keluarga Ujang.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang