BAB 66 Orangtua Ujang marah

3.5K 228 1
                                    

          Beberapa meter lagi akan sampai di rumahku, langkahku pelan seolah tidak ingin cepat sampai rumah dan berpisah dengan Ujang.

"Nul? kamu capek?" tanya Ujang penuh perhatian.

"Aku, aku... tidak kok," jawabku gugup.

"Sebentar lagi sampai Nul, oh iya, apa kamu masih menyimpan kerudung yang aku berikan dulu Nul?" tanya Ujang.

"Iya, ada kok, kenapa?" jawabku heran.

"Kamu sudah dewasa Nul, kapan mau pakai jilbab?" tanya Ujang.

"Belum tahu A," jawabku bingung.

"Aa yakin, kamu pasti tahu kewajiban wanita muslim harus berpakaian bagaimana bukan?" ucap Ujang menasehati.

"Iya tahu!" jawabku ketus.

"Jangan marah Nul, Aa hanya mengingatkan," ucap Ujang menghela nafas.

           Baru sampai di belakang rumah, aku mendengar suara orang marah-marah.

"Aku yakin Ujang bersama Menul! mana Menul!" teriak suara wanita marah.

"Nul, itu seperti suara Ibuku," bisik Ujang di telingaku.

"Aku harus bagaimana?" bisikku ke telinga Ujang.

"Kita hadapi saja, apa kamu takut?" tanya Ujang sambil memandangku.

"Tidakkkkk," jawabku pelan sambil menggelengkan kepala.

          Aku dan Ujang berjalan dan memberi salam.

"Assalamu'alaikum," sapa kami di depan pintu.

"Wa'alaikum salam," jawab Nyai, Aki dan Abah.

          Ibunya Ujang langsung menatapku dengan mata melotot, wajahnya tegang seperti ingin menerkamku.

"Heh Menul! sudah aku bilang, jangan pernah dekati Ujang! gara-gara kamu, Ujang tidak jadi menikah dengan Eci! tapi ingat dengan ucapanku! aku tidak akan membiarkan Ujang mendekati kamu lagi! jangan bermimpi kamu jadi mantu saya!" bentak Ibunya Ujang sangat murka.

"Jangan asal bicara kamu! tamu tidak sopan! berani sekali kamu memarahi Menul!" teriak Nyai pada Ibunya Ujang.

"Kalau anakmu tidak mau aku marahi, jaga dia! jangan sampai ketemu dengan Ujang!" jawab Ibunya Ujang sambil menarik tangan Ujang.

          Rasanya aku ingin marah, tapi melihat wajah Ujang sedih dan pucat, aku merasa kasihan. Ujang di paksa Ibunya di bawa pulang. Nyai memandangku penuh rasa iba.

"Sabar ya Nul, kalau jodoh tidak akan kemana Nul, tapi melihat perangai Ibunya Ujang begitu, Nyai jadi ragu," ucap Nyai.

"Maksud Nyai?" tanyaku heran.

"Ya Nyai ragu saja, jika kamu menikah dengan Ujang, pasti tiap hari kamu di marahi mertuamu terus," jawab Nyai sedih.

"Aku tidak berpikir sejauh itu menikah dengan Ujang Nyai, aku tahu siapa aku, hanya gadis hina di mata mereka," ucapku sedih.

          Aku masuk kamar dan membuka jendela, aku pandangi langit yang begitu indah dengan bintang-bintang di angkasa, warnanya berkelap kelip sangat indah, bulan sabit mewarnai langit yang begitu luas, desir angin membelai rambutku, daun-daun bergoyang seolah merasakan kepedihanku. Sudah dua jam aku memandangi langit, rasa rindu pada Ayah, Ibu dan Ujang silih berganti menyapa relung hatiku. Tidak terasa air mata keluar menjadi saksi kebisuan malam itu, dalam lamunan yang tiada henti, aku di kejutkan suara Ujang.

"Nul...," sapa Ujang.

"Astagfirullah!" ucapku terkejut.

"Kamu nangis Nul?" tanya Ujang mendekatiku.

"Tidak, Aa mau apa malam-malam begini datang?" tanyaku heran.

"Aku mau minta maaf atas perlakuan Ibuku Nul," jawab Ujang sedih.

"Aa tidak bosan minta maaf? besok kan bisa A?" jawabku sedih.

"Aku tidak bisa tidur Nul, aku tidak mau melihatmu sedih, maafkan aku kalau mengganggumu malam-malam ya Nul," ucap Ujang sedih.

"Iya, tidak apa-apa, Aa pulang saja, di luar dingin," ucapku terharu pada perhatian Ujang.

"Aku kira kau akan marah Nul, besok aku akan pergi ke Cirebon Nul, orangtuaku memaksa aku ikut," ucap Ujang sedih.

          Mendengar Ujang akan pergi, entah kenapa tiba-tiba air mataku deras mengalir, Ujang memandangku tiada henti, mata Ujang berkaca-kaca, kami tidak bisa berkata sepatah katapun lagi, hanya meratapi perpisahan. Hatiku bagai di sayat-sayat, rasanya sangat berat sekali berpisah dengan Ujang.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang