Bab 77 Menul bermalam bersama Ujang

3.6K 205 0
                                    

          Malam itu benar-benar terasa sangat dingin, Ujang menyuruhku duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang timbul seperti kayu, bisa untuk duduk. Ujang menatapku seperti tidak tega,  aku menggigil dan gigiku gemeretak.

"Masih dingin Nul? sini tidurlah di pangkuanku," ucap Ujang memeluk bahuku, dan menyandarkan kepalaku di atas kakinya.

"Aa dingin? kenapa mau menemaniku di sini?" tanyaku pada Ujang.

"Aku tidak tega membiarkanmu sendirian Nul," jawab Ujang.

"Kenapa Aa selalu membelaku dan menuruti keinginanku?" tanyaku kembali.

"Asal bisa membuatmu tenang dan nyaman, apapun aku lakukan Nul," jawab Ujang.

"Sebesar apa cinta Aa padaku?" tanyaku penasaran.

"Kenapa kau tanyakan itu?" tanya Ujang heran.

"Kalau Aa cinta, kenapa tidak memperjuangkannya?" ucapku penasaran.

"Bukan tidak mau memperjuangankan Nul, Aa mau memperjuangkannya, jika kamu yang meminta, namanya memperjuangkan cinta, butuh dua orang yang saling percaya, bukankah kau memintaku menjauhimu?" jawab Ujang.

"Iya benar, lalu apakah secepat itu menjauhiku dan melupakan aku?" tanyaku kembali.

"Aku menjauhimu bukan berarti melupakanmu Nul, cinta tidak harus menuntut, cinta hanya butuh di rasakan, dan membuat orang yang kita cintai tenang dan tidak sedih," jawab Ujang dengan tenang.

"Kenapa Aa tidak bisa mencintai gadis lain?" tanyaku kembali karena sangat penasaran.

"Karena hatiku sudah terukir namamu, getaran cintaku hanya ada saat bersamamu, hasrat ada hanya ketika dekat denganmu, dan cuma kamu yang bisa mencuri pikiranku dan anganku," jawab Ujang tersenyum.

          Aku tersipu malu mendengar pengakuan Ujang, dia pandai sekali merangkai kata dan kalimat yang indah.

"Nul, bolehkan aku bertanya?" ucap Ujang.

"Ya silahkan, mau tanya apa?" jawabku santai.

"Kenapa kamu takut pada Ayahmu?" tanya Ujang.

"Dia memaksaku tinggal bersama Ayah, dan Ayah menyalahkan Nyai sudah salah mendidikku, padahal Nyai sudah berjasa mengasuhku sejak kecil, lagi pula aku tahu, istri Ayah sepertinya tidak menyukaiku," jawabku sedih.

"Sabarlah Nul, Aa hanya mau memberi saran, tidak baik gadis pergi dari rumah, apalagi malam, sangat bahaya Nul, kamu sudah besar, kamu bisa pulang kapanpun kamu mau jika tidak betah di rumah Ayahmu, cobalah mengerti perasaan Ayahmu yang sudah lama ingin sekali bertemu denganmu," ucap Ujang menasehati.

"Aku tidak tahu A, tapi aku tidak akan sanggup berpisah dengan Nyai, Aki dan Abah," jawabku sedih.

"Lalu sampai kapan kamu akan di sini?" tanya Ujang heran.

"Entahlah A, tapi Aa tahu aku di sini dari mana?" tanyaku penasaran.

"Perasaanku kamu pasti lari ke air terjun ini, tempat yang sepi dan tidak ada orang yang mau malam-malam ke sini, bukankah dari dulu jika kamu marah ke tempat ini?" jawab Ujang.

"Iya juga sih, hanya Aa, Nyai dan Aki yang tahu," ucapku malu.

          Hari semakin larut, tidak pernah aku sangka Ujang dan aku bermalam di air terjun. Dari kejauhan ada cahaya, aku dan Ujang terkejut, kami tidak menyadari saling berpelukan dan pipi kami saling menempel. Hatiku berdebar, takut di temukan Ayahku.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang