Setelah selesai berbelanja, Eis mengantarkan aku pulang, Eis sangat baik dan mau jadi sahabatku. Tidak di sangka gadis yang kuliah di kota, mau bersahabat denganku, padahal aku hanya seorang gadis kampung. Ternyata Tuhan sangat adil, meskipun banyak cacian yang aku terima dari tetangga, masih ada manusia yang berakhlak baik. Aku semakin semangat menjalani hari-hariku. Tiap hari aku mulai membaca kamus lagi, aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri ketika mengucapkan Bahasa Inggris. Sampai pada waktunya tiba, aku bersiap-siap memakai baju dan sepatu baru. Nyai, Aki dan Abah tidak berhenti memuji dan terus memandangku."Wah, anak Nyai cantik sekali, seperti bukan kamu Nul, kamu cocoknya jadi orang besar Nul," ucap Nyai memuji.
"Yaiyalah, Menul memang cantik, Ibunya pasti cantik ya Nul," ucap Aki mengejek Nyai.
"Heh Aki ompong, apa maksudmu! tidak senang aku jadi Ibunya Menul?!" teriak Nyai.
"Bukan itu maksudku Nyai," jawab Aki menahan tawa.
"Bukan itu, bagaimana? mulutmu itu sudah tua masih saja kebablasan kalau bicara! dulu kamu mengejar-ngejar aku karena aku cantik kan? ngaku saja Aki ompong!" ucap Nyai marah.
"Ya cantik, sekarang sudah keriput," ucap Aki senang sekali mengganggu Nyai.
"Aki ompong! sadarkah kamu juga sudah keriput! sudah ompong! lihat gigiku masih utuh tidak sepertimu Ompong!" ucap Nyai sambil memamerkan giginya di depan Aki.
"Kenapa jadi kalian yang ribut?" ucap Abah menengahi.
"Biasa itu Nyaimu kan cepet naik darah, buatkan aku kopi Nyai," pinta Aki.
"Bikin saja sendiri!" jawab Nyai cemberut.
"Kalau cemberut makin cantik istri Aki, apalagi kalau sambil buatkan kopi," rayu Aki Setu.
"Tidak usah merayu! buat sendiri sana!" ucap Nyai masih jengkel.
"Semakin marah tambah cantik saja Nyai, jadi ingat masa pacaran, kalau datang pasti di sediakan kopi," ucap Aki masih merayu.
"Dasar Aki ompong! sudah mencela, memuji! ada maunya saja!" ucap Nyai sambil melangkah membuatkan kopi.
Aku yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum, Aki memang kadang senang menggoda Nyai. Aku pamit berangkat menuju lapangan Balai Desa, di tengah jalan, tiba-tiba sosok pria menghadangku.
"Benarkah yang aku lihat ini Menul?" tanya Ujang.
Ternyata Ujang berdiri di depanku. Kami saling berpandangan, wajah Ujang sedikit berbeda, lebih kurus, Ujang menatapku seperti marah.
"Permisi aku mau lewat," ucapku ketus.
"Tunggu Nul, aku pikir kamu sudah berhijab, ternyata belum," sapa Ujang.
"Apa urusanmu mengatur hidupku?" jawabku marah.
"Bukan urusanku Nul, hanya mengingatkan," ucap Ujang pelan.
"Lalu? maumu apa? mau memakiku karena aku berpakaian seperti ini?" tanyaku sinis.
"Nul, aku tidak mau semua mata lelaki memandangmu dengan nafsu Nul, kamu terlalu seksi memakai baju seperti ini," ucap Ujang menasehati.
"Ach bilang saja cemburu!" ucapku spontan.
"Ya Nul, aku cemburu, karena aku sayang kamu Nul," jawab Ujang Jujur.
Darahku berdesir mendengar kejujuran Ujang, jantungku berdegup kencang. Aku salah tingkah lagi di depannya, tapi aku mencoba menepis semua perasaanku, dan aku dorong Ujang dan melanjutkan perjalananku. Seperti mimpi aku bertemu dengan Ujang, perasaan itu kenapa masih ada, selalu berdebar-debar ketika dekat dengan Ujang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Saksi Kematian (SK)
Misterio / SuspensoDewasa 18++ SK (Saksi Kematian) Part 1 Sebuah kisah perjalanan gadis kecil yang menyaksikan penderitaan Ibunya, diperkosa dan dibunuh. Ibunya tewas di patuk ular berbisa dalam keadaan telanjang. Gadis kecil yang didorong Ibu tirinya sampai jatuh ke...